🔥"Tanaya — Jiwa dari Zaman Purba”
Tanaya, gadis modern yang hidup biasa-biasa saja, tiba-tiba terbangun di tubuh asing—berkulit gelap, gemuk, dan berasal dari zaman purba yang tak pernah ia kenal.
Dunia ini bukan tempat yang ramah.
Di sini, roh leluhur disembah, hukum suku ditegakkan dengan darah, dan perempuan hanya dianggap pelengkap.
Namun anehnya, semua orang memanggilnya Naya, gadis manja dari keluarga pemburu terkuat di lembah itu.
>“Apa... ini bukan mimpi buruk, kan? Siapa gue sebenarnya?”
Tanaya tak tahu kenapa jiwanya dipindahkan.
Mampukah ia bertahan dalam tubuh yang bukan miliknya, di antara kepercayaan kuno dan hukum suku yang mengikat?
Di dalam tubuh baru dan dunia yang liar,
ia harus belajar bertahan hidup, mengenali siapa musuh dan siapa yang akan melindunginya.
Sebab, di balik setiap legenda purba...
selalu ada jiwa asing yang ditarik oleh waktu untuk menuntaskan kisah yang belum selesai.
📚 Happy reading 📚
⚠️ DILARANG JIPLAK!! KARYA ASLI AUTHOR!!⚠️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyx Author, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
|Mencoba Peralatan Baru...
4 hari berlalu…
Akhirnya, sebagian besar alat-alat yang Tanaya gambar di batu sudah berhasil mereka selesaikan. Masih ada beberapa yang tertunda—yang lebih rumit, dan membutuhkan bahan lebih kokoh, atau memerlukan ketelitian tinggi untuk membuatnya.
Tapi untuk tahap awal, semua ini sudah lebih dari cukup. Jika mereka memaksakan untuk membuat semuanya sekaligus, mungkin butuh waktu seminggu penuh tanpa tidur.
Di depan gua, sudah ada hasil kerja keras itu terhampar rapi.
Ada tiga wajan besar buatan Tharen telah terbentuk dengan sempurna—halus, ringan, dan berwarna coklat muda yang cantik. Beberapa peralatan berburu juga sudah jadi, diasah setajam mungkin. Kuali dan mangkuk untuk empat orang pun ikut selesai, bentuknya begitu rapi hingga bahkan menyerupai perabotan modern yang pernah Tanaya lihat karena serat pohon Lera yang dipoles berulang kali oleh tangan Tharen dan Yaren.
Tak heran pekerjaan ini menghabiskan empat hari penuh. Tanaya tahu betul betapa sulitnya alat penggergajian didunia ini—bahkan jauh berbeda dari alat di dunia modern.
Namun, tetap saja… hasilnya menakjubkan.
Bentuk-bentuk itu tampak begitu sempurna.
Alat-alat dari kayu Lera itu sudah bukan lagi sekadar potongan kayu yang dipahat seadanya. Semuanya mulus, proporsinya tepat, ujung-ujungnya rapi—mengingatkan Tanaya pada peralatan modern yang pernah ia gunakan di dunia sebelumnya. Yang membedakannya hanya warna coklat muda dan serat khas kayu Lera yang kuat hampir menyamai besi.
Selama itu, Tanaya juga berusaha memperkenalkan alat-alat itu pada keluarganya. Ia mengajarkan beberapa nama-namanya pelan-pelan, dan bagaimana cara memakainya—demonstrasikan, membersihkan, merawat, hingga menyimpannya pun ia jelaskan dengan sabar.
Ia bahkan menunjukkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan agar alat-alat itu tetap awet. Tidak berbeda jauh dengan cara neneknya sendiri dulu mengajarinya merawat peralatan dapur di dunia lamanya.
Gerakannya cekatan namun hati-hati, penuh keyakinan dan pemahaman yang jauh melampaui usianya di mata mereka.
Pada saat itu, ketiga orang yang kini paling berharga bagi Tanaya melihatnya dengan cara baru—bukan hanya sebagai anak atau adik yang membutuhkan perlindungan, melainkan seseorang yang membawa cahaya perubahan ke dalam kehidupan mereka.
"Paman Tharen… Paman Tharen…"
Siang itu, tanaya dan Yaren yang baru saja keluar dari gua, berniat menuju hutan, langsung menghentikan langkah mereka saat melihat seorang pemuda berlari kecil mendekati halaman gua mereka.
"Jiangwa? Ada apa kau kemari?" tanya Yaren—heran sambil menatap pemuda itu penuh tanya.
Jiangwa menunduk sebentar, mencoba mengatur napasnya. "E-emm… Kak Yaren, aku sedang mencari Paman Tharen. Beliau dipanggil ke balai suku sekarang."
Setelah menyampaikan pesan itu, matanya berpindah cepat ke arah Tanaya—sekilas saja, namun penuh kewaspadaan seolah takut disentuh angin oleh nafas gadis itu.
Maklum saja.
Karna Tanaya terkenal di suku sebagai gadis yang sering mendekati para pemuda-pemuda tampan. Banyak dari mereka yang akhirnya memilih menjaga jarak… termasuk Jiangwa.
“Ya—ya… katakan sebentar lagi aku akan ke sana.”Tharen akhirnya muncul dari dalam gua, suaranya berat namun tenang.
“Baik, Paman. Aku akan menyampaikannya.”
Jiangwa langsung mengangguk cepat, lalu berlari pergi seperti sedang menghindari sesuatu.
Tanaya yang melihat itu hanya mendengus pelan. Ia menatap punggung pemuda itu yang menghilang di balik pepohonan. Ia tahu persis kenapa Jiangwa bisa setegang itu, karna semua pemuda di suku ini juga selalu bersikap begitu ketika ia ada.
Tharen menatap arah Jiangwa pergi sebelum akhirnya kembali pada anaknya.“Aku harus ke balai suku. Setelah kau mengantar Naya pulang, pergilah menyusul. Sepertinya ini tentang suku Selakra lagi.”
“Hm. Baiklah,”Yaren mengangguk singkat.
Tharen kemudian berseru ke dalam gua,“Istriku, aku pergi dulu ke balai suku. Tetaplah di rumah.”
“Ya, baiklah…” terdengar suara Sira dari dalam.
Lalu ia berbalik pada Tanaya, sorotnya melunak. “Naya, hati-hatilah. Kalau bocah nakal ini sampai membuatmu terluka, bilang saja pada Ayah.”
Tanaya tertawa kecil, ia menepuk ringan lengan ayahnya itu. “Tentu, Ayah. Nanti akan aku laporkan. Hati-hati di jalan”
Ia menatap kepergian Tharen sampai sosok itu menghilang di jalan setapak.
Setelah itu, Tanaya dan Yaren kemudian melanjutkan langkahnya. Hari ini ia sangat bersemangat karena ingin menanam sesuatu. Ia sudah meminta izin dari kedua orang tuanya, dan mereka setuju.
Di halaman gua mereka memang luas dan kosong, jadi Tanaya bebas memilih tempat di mana pun untuk berkebun dan mulai membangun kehidupannya yang lebih teratur.
Dengan peralatan baru yang sudah mereka buat, perjalanan menuju hutan terasa lebih ringan. Tanaya sudah membayangkan tanaman apa yang ingin ia kembalikan ke dunia ini.
...>>>>>>...
Wusshh…
Di sana, sebuah anak panah melesat cepat, menembus udara dengan suara halus sebelum akhirnya menancap tepat di batang pohon. Ujungnya bersisian rapat dengan panah lain yang sudah tertancap sebelumnya—punya Tanaya.
“Woaaah!! Kakak, kau hebat!!”
Dari kejauhan Tanaya berseru senang dengan mata berbinar, suaranya memantul ringan di antara pepohonan.
Ya, mereka menyempatkan untuk berlatih menguji satu per satu peralatan pemburu yang baru selesai dibuat dua hari terakhir. Hutan sunyi menjadi saksi betapa seriusnya mereka mengukur ketajaman dan keakuratan alat-alat itu.
Yaren yang melihat itu perlahan menurunkan busurnya, sudut bibirnya terangkat tipis memandangi dua panah yang berdiri sejajar—bidikannya yang sempurna, bersih, tepat, dan stabil.
Taktik yang Tanaya ajarkan tadi—cara menstabilkan tangan, menarik napas dengan ritme tertentu, dan fokus pada satu titik—ternyata benar-benar bekerja. Dan kali ini, ia harus mengakui… adiknya benar-benar jenius dalam menciptakan sesuatu. Panah buatan mereka bisa saja menjadi senjata berburu paling penting untuk suku mereka.
“Sepertinya kau benar,” ujar Yaren, tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya. “Alat ini mungkin akan jadi senjata andalanku saat berburu nanti.”
Tanaya mengangguk cepat, puas sekaligus senang melihat kakaknya mulai percaya bahwa inovasi kecil mereka bisa mengubah cara mereka bertahan hidup.
Cukup lama Yaren berlatih hingga akhirnya ia menoleh, hanya untuk mendapati Tanaya sudah bergerak lebih jauh dari perkiraannya. Seketika rahangnya mengeras.
“Adik! Jangan terlalu jauh!” serunya, nada tegurnya lebih tajam dari sebelumnya.
Tanaya menoleh sambil melambaikan tangan, senyumnya lembut namun tetap meyakinkan.“Baik kak! Aku cuma mencari beberapa tanaman. Kakak lanjut saja… aku nggak akan jauh.”
Yaren tidak membalas, tapi matanya mengikuti Tanaya sampai gadis itu berhenti. Baru setelah itu ia kembali menarik busurnya—meski fokusnya kini terbagi dua.
Sementara itu, Tanaya bergerak perlahan di antara semak dan rerumputan. Hutan purba yang penuh kehidupan selalu memberi kejutan, namun yang satu ini… membuatnya berjongkok spontan.
“Eh, tunggu… Ini kayaknya nggak asing?”bisiknya pada diri sendiri.
Ia menunduk, mendekat, dan matanya langsung membesar kagum saat melihat beberapa deretan tanaman merambat dan semak berdaun lembut itu tampak sangat familiar.
Pengalamannya di dunia medis modern membuatnya mudah mengenali bentuk khas dan aroma samar tanaman-tanaman tersebut.
Melihat itu, Tanaya langsung berbinar. Di hadapannya tumbuh beberapa tanaman obat yang ia pelajari di kampus:
• Daun Sawa (mirip gotu kola / pegagan) – biasanya digunakan untuk mempercepat penyembuhan luka, memperkuat stamina, dan menenangkan peradangan.
• Akar Biru Laru (mirip akar manis / licorice) – berguna untuk mengurangi batuk, menjaga daya tahan tubuh, dan sebagai anti-infeksi alami.
• Rumput Teralin (mirip lemongrass / sereh liar) – digunakan untuk meredakan demam, mengusir serangga, dan menurunkan rasa nyeri.
• Daun Hiri (mirip daun sirih liar) – antibakteri kuat, bisa dipakai untuk membersihkan luka atau mengatasi infeksi ringan.
“Astaga… Ini kan…” Tanaya hampir kehilangan kata-katanya.
Tangannya refleks bergerak cepat. Ia memetik beberapa daun dan akar yang di temukan nya dengan hati-hati, memastikan tidak merusak akar utama agar tanaman tetap tumbuh.
Semuanya ia masukkan ke dalam keranjangnya satu per satu, napasnya masih bergetar karena girang.
Sementara jauh di belakangnya, Yaren berhenti lagi. Tatapannya mengeras ketika melihat adiknya membungkuk terlalu lama di satu titik—wajahnya menunjukkan antara khawatir… dan rasanya ingin menempel terus di dekat Tanaya.
“Kakak lihat, aku menemukan ini!”
Tanaya segera berlari kecil menghampiri Yaren, napasnya sedikit memburu karena terlalu bersemangat. Ia mengangkat keranjangnya tinggi-tinggi seolah sedang memperlihatkan harta karun.
Yaren menghentikan latihannya. Ia menurunkan busur dan menatap keranjang itu dengan alis mengernyit, mencoba menebak-nebak isinya.
“Apa itu? Sesuatu yang bisa dimakan?”
Tanaya terkekeh, matanya berbinar.“Ya, mungkin bisa dimakan… tapi ini jauh lebih berguna daripada makanan biasa.”
Sebelum Yaren sempat bertanya lebih jauh, Tanaya langsung menarik lengan bajunya ringan dan menunjuk ke arah barat—ke arah di mana angin terasa lebih asin dan suara ombak samar-samar terdengar.
“Kak, apa kau sudah selesai? Aku ingin pergi ke sana!” ujarnya penuh antusias.
Yaren menoleh ke arah yang ditunjuk adiknya, lalu kembali menatap Tanaya. Ada sedikit kerutan khawatir di sudut matanya—ia tak pernah suka Tanaya mendekati pantai seorang diri. Namun, melihat gadis itu begitu bersemangat, Yaren akhirnya mengangguk perlahan. Ia meraih panahnya, dan menggantungkannya di punggungnya.
"Hm, Baiklah ayo kita kesana..."tutur Yaren mengiyakan.
Tanaya langsung berjalan cepat lebih dulu, keranjang di tangannya bergoyang sedikit saat ia menapaki tanah lembab di antara semak dan pepohonan.
Yaren mengikutinya dari belakang, langkahnya lebih panjang dan terkontrol, selalu memastikan jarak aman antara mereka namun tetap dekat agar bisa segera menahan jika terjadi sesuatu.
Suara ombak mulai terdengar samar, seiring mereka keluar dari hutan dan menuruni bukit kecil. Angin laut membawa aroma asin yang menyegarkan, menyapu rambut Tanaya dan membuat pipinya sedikit memerah. Ia tersenyum lebar, menikmati hembusan angin dan bunyi alam yang jarang ia rasakan di dunia lamanya.
Pasir putih perlahan muncul di bawah kaki mereka, bercampur dengan batu-batu kecil di tepi pantai. Tanaya berhenti sejenak, lalu berjongkok untuk merasakan tekstur pasir hangat di tangannya, matanya berbinar saat melihat air laut yang berkilau diterpa sinar matahari sore.
"Wahhh, disini indah sekali..."ujar Tanaya, rambutnya terurai tertiup angin pantai, sambil memilih beberapa kerang cantik dan menaruhnya ke dalam keranjang.
Ia berencana membuat pernak-pernik cantik dari kerang itu.
Sedangkan Yaren berdiri di belakangnya, matanya menatap setiap gerakan adiknya dengan serius. Ia tahu Tanaya penuh rasa ingin tahu, dan di tempat seperti ini, bahaya bisa muncul dari mana saja—entah itu gelombang yang lebih tinggi, bebatuan licin, atau bahkan makhluk laut yang tidak terduga. Namun ia membiarkan Tanaya menikmati momen itu, meski matanya tak lepas dari setiap langkahnya.
"Kalian disini?"
Deg!
...>>>To Be Continued......
tapi klo di pake trs Tanaya selamat ya ceritanya ga bakal sesuai sihh