Tristan Bagaskara kisah cintanya tidak terukir di masa kini, melainkan terperangkap beku di masa lalu, tepatnya pada sosok cinta pertamanya yang gagal dia dapatkan.
Bagi Tristan, cinta bukanlah janji-janji baru, melainkan sebuah arsip sempurna yang hanya dimiliki oleh satu nama. Kegagalannya mendapatkan gadis itu 13 tahun silam tidak memicu dirinya untuk 'pindah ke lain hati. Tristan justru memilih untuk tidak memiliki hati lain sama sekali.
Hingga sosok bernama Dinda Kanya Putri datang ke kehidupannya.
Dia membawa hawa baru, keceriaan yang berbeda dan senyum yang menawan.
Mungkinkah pondasi cinta yang di kukung lama terburai karena kehadirannya?
Apakah Dinda mampu menggoyahkan hati Tristan?
#fiksiremaja #fiksiwanita
Halo Guys.
Ini karya pertama saya di Noveltoon.
Salam kenal semuanya, mohon dukungannya dengan memberi komentar dan ulasannya ya. Ini kisah cinta yang manis. Terimakasih ❤️❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melisa satya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Paris kota cinta
13 jam duduk di pesawat membuat bokong Dinda terasa kebas, saat pesawat akan mendarat gadis itu merasa sangat bersyukur.
"Apa ini artinya kita sudah sampai?" Tristan menatapnya lelah. Tapi energi Dinda justru baru terisi.
Pramugari mengumumkan bahwa sebentar lagi penumpang di persilahkan keluar.
Pesawat mendarat mulus di Bandara Internasional Charles de Gaulle pada pukul 08.00 pagi waktu Paris.
Udaranya dingin meski matahari bersinar terang. Dinda mengintip dari jendela dan tak sabar untuk turun.
"Bos! Ayo, buruan."
Tristan bangkit dan tak mengeluh mendengar panggilannya. Dia menganggap Dinda memang seperti itu.
Penumpang satu per satu meninggalkan pesawat Dinda pun ikut keluar dan mengandeng bosnya.
"Ah, Paris!" Dinda menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskannya.
"Welcome to Paris, kota cinta." Tristan membuatnya terpanah. Dinda tahu selogan itu namun saat Tristan yang mengatakannya, ada sesuatu yang berbeda.
Pemuda itu melangkah turun dan Dinda segera mengejarnya. Gadis itu sangat berhati-hati dan senyumnya merekah sempurna.
"Bos, ini menakjubkan."
"Kamu belum lihat semuanya."
Tristan meraih tangan Dinda dan segera menuju ke Baggage Claim. Bandara itu sangat menakjubkan dan Dinda senantiasa terpukau menatap sekeliling.
"Ayo pergi."
Setelah mengambil koper, saat melewati pintu keluar, seorang lelaki datang menyambut Tristan dengan senyum hangat.
"Tuan Tristan."
"Hay, apa kabarmu?"
"Baik, Tuan."
Dinda menatap mereka dalam diam.
"Kenalkan, teman saya, Dinda."
Lelaki tua itu tampak takjub mendengarnya.
"Teman?"
"Ya, kenapa? Tidak percaya?" Tristan merangkul Dinda seolah mereka benar-benar teman akrab.
"Percaya, Tuan. Halo Nona Dinda, saya Jaya tapi panggil saya Jey, biar terdengar keren."
Dinda tersenyum.
"Oho, halo, Pak Jey."
"Jangan pakai, 'Pak' Jay saja."
"Oke Jey!" Dinda tertawa kecil dan itu terlihat menggemaskan.
"Mari Nona, silahkan masuk saya akan membawa anda berkeliling kota Paris."
"Thank you."
Tristan bermaksud untuk membukakan pintu mobil, namun pergerakan Jay lebih cepat dan mendapatkan senyum manis Dinda yang begitu tulus.
"Mari Tuan."
Tristan masuk dan duduk berdampingan dengan sang asisten.
"Selamat datang di Paris, Nona!"
Mobil melaju mengitari kota, Dinda menatap setiap monumen dibalik jendela mobil. Gadis itu tampak begitu ceria namun tak berani membuka jendela.
"Menawan, luar biasa."
Tristan tersenyum mendengarnya.
"Indah sekali, Jey. Terima kasih sudah mengajakku berkeliling."
Lelaki tua itu mengangguk.
Tristan menatap Dinda yang kini menyentuh jendela kaca dengan tangannya. Gadis itu terpukau lantas menoleh untuk menyapa bosnya, jarak Tristan yang begitu dekat membuat Dinda tercekat.
"Oh Sorry, Bos." Dinda berusaha menjauh tapi Tristan sedang jahil dan menggodanya.
"Kenapa dengan Pak Jaya kamu bisa lancar memanggilnya dengan nama. Tapi denganku, sulit bagimu untuk bersikap biasa saja."
Dinda mendongak, kini hidungnya menyentuh wajah sang Bos.
"Emmm Tristan."
"Lihat ke depan," bisik lelaki itu.
Dinda menatapnya bingung.
"Berbalik dan lihat ke depan."
Dinda menoleh dan takjub.
"Wah, ini menara Eiffel. Menakjubkan."
Dinda terpukau melihat keindahan. Pak Jaya ikut senang saat gadis itu menikmati perjalanannya.
"Kita menuju apartemen, apa Tuan dan Nona ingin singgah ke suatu tempat?"
Dinda lantas menatap Tristan.
"Tidak, kami akan langsung ke rumah untuk istirahat."
Dinda tersenyum ceria meski hanya melihat menara Eiffel dari jauh.
"Apa kita akan kesana sebelum pulang?" serunya dengan suara kecil.
"Jika pekerjaan kita beres, aku akan membawamu."
"Janji?"
"Janji!" Dinda menautkan jari kelingkingnya dengan Tristan.
"Apa-apaan ini, kamu kayak anak kecil saja."
"Bos, ini harus. Awas kalau ngga di tepati."
***
Residence Paris Suite Grenelle
Apartemen pribadi milik Tristan dan letaknya tak jauh dari menara Eiffel, Tristan dan Dinda baru saja tiba dan langsung menuju ke suitenya.
Pak Jaya mengantarkan sampai di depan pintu.
"Selamat istrahat Tuan Tristan dan Nona Dinda."
"Terimakasih Jey!"
Lelaki tua itu tersenyum. Tristan menutup pintu dan menatap Dinda sekali lagi.
"Ada apa?"
"Tidak ada."
Dinda melihat ke sekeliling dan menyibak tirai, wajahnya kembali takjub melihat pemandangan di depan mata.
"Menakjubkan, pantas pak bos selalu ingin kembali dan kembali ke sini. Semuanya di tempat ini pasti sangat menakjubkan."
"Ya, kau benar."
Tristan menuju ke sofa dan merebahkan badan. Dinda melihat ke sekeliling dan mulai merasa canggung saat bosnya itu menyadari situasinya.
"Kamarmu di sini, dan kamarku di sana."
"Oh, syukurlah." Dinda segera bernafas lega.
"Ada apa? Kau tidak berpikir jika kita akan tidur bersama kan?"
Dinda segera menggelengkan kepala.
"Tidak, Bos. Saya mana berani memikirkan hal sejauh itu." Sikap Dinda begitu mengemaskan.
"Kamu masih memanggilku, Bos?"
"Emm, maksudku Tristan. Jadi ini kamarku?"
Dinda bergegas menarik kopernya menuju ke sebuah kamar.
"Emm hari ini kita ngga kemana-mana kan?"
Tristan menoleh sembari bersandar malas di sofa.
"Kamu mau keluar?"
Dinda terdiam mendengarnya. Berbagai praduga hinggap di hatinya.
"Bukankah dia buru-buru ke Paris demi masa lalunya? Demi Nana, dan hatinya yang patah?"
"Jangan bercanda, aku mana tahu jalan."
"Aku temani," seru Tristan membuat Dinda terpaku.
"Nggak deh, aku akan istrahat saja. Bye bye!" Dinda segera masuk ke kamarnya dan Tristan tersenyum di tempatnya.
Dia hanya menggoda gadis itu, tak benar-benar berniat untuk mengajaknya jalan.
Sekarang dia sudah di Paris dan ultah Nana menghitung jam.
Tristan penasaran dan mengecek ponselnya, dia dan Nana berteman di Instagram.
Benar saja, setelah melihat ponselnya. Nana telah mengupdate bagaimana keluarga kecilnya bersemangat menyiapkan perayaan ulang tahun.
Suaminya, dan kedua putranya tampak bahagia, ada Abang dan juga kakak iparnya yang turut riuh menyiapkan pesta.
Tristan meletakkan ponselnya lalu menutup mata.
Apa yang dia lakukan sekarang. Kekonyolannya baru dia sadari setelah Dinda datang ke hidupnya.
"Bos!" Dinda keluar setelah menyusun barang-barangnya. Mendapati Tristan tidur di sofa, gadis itupun menghampirinya.
"Bos, ngapain tidur di sini. Pindahlah ke kamar."
"Bos."
Tristan membuka mata dan pandangan mereka pun bertemu.
"Maaf, sebaiknya bos tidur di kamar."
"Aku lelah." Tristan menghela nafas namun tetap menatap Dinda.
"Apa yang bisa saya bantu?"
Tristan menggelengkan kepala.
"Tidak ada yang bisa membantuku." Dinda melihat layar ponsel yang masih menyala. Dia pernah melihat foto Nana sekali, hanya sekali tapi dia tak bisa melupakannya.
"Bos benar, tidak ada yang bisa membantu selain diri anda sendiri."
Tristan terpejam namun Dinda kembali bangkit.
"Aku di sini untuk urusan pekerjaan, bukan untuk melihat orang yang merana karena patah hati."
"Apa kau pernah patah hati?"
"Tentu saja, pernah."
"Lalu, bagaimana caramu untuk move-on?"
"Jika dia melupakan aku, aku juga akan melupakannya. Simpel saja."
Tristan terdiam.
"Cinta yang suci akan aku perjuangkan untuk orang yang juga memperjuangkan aku. Hidup ada timbal baliknya, dia bisa bahagia dengan kehidupannya apa aku harus menangis sendirian sepanjang hidupku melihat dia berhasil menata hatinya? No! Nggak akan!"
Tristan tersenyum kecut.
"Itu artinya kau tidak benar-benar mencintainya. Jika kau mencintainya kau tidak akan bisa melakukan apapun tanpanya."
"Bos bego banget sih, cinta itu mengiklaskan. Apa menurut bos, dia bahagia kalau lihat bos terluka seperti ini?"
"Kau tahu masalahku?" tanya Tristan.
Dinda memalingkan wajah dan enggan membahasnya.
"Dinda."
"Enggak, aku nggak tahu apa-apa."
lnjut thor
kalau bos mu tak bisa melindungi ya sudah kamu pasang pagar sendiri aja ya
kejar dia, atau justru anda yg akan d tinggalkan lagi
bikin ketawa sendiri, makin rajin upnya ya thor,