Azura Eliyena, seorang anak tiri terbuang. Ibu dan Ayahnya bercerai saat usia Azura masih tiga tahun. Bukan karena ekonomi, melainkan karena Ibunya tak sudi lagi bersama Ayahnya yang lumpuh. Ibunya tega meninggalkan mereka demi pria lain, hidup mewah di keluarga suami barunya. Menginjak remaja, Azura nekat kabur dari rumah untuk menemui Ibunya. Berharap Ibunya telah berubah, namun dirinya justru tak dianggap anak lagi. Azura dibuang oleh keluarga Ayah tirinya, kehadirannya tak diterima dan tak dihargai. Marah dan kecewa pada Ibunya, Azura kembali ke rumah Ayahnya. Akan tetapi, semua sudah terlambat, ia tak melihat Ayah dan saudaranya lagi. Azura sadar kini hidupnya telah jatuh ke dalam kehancuran. Setelah ia beranjak dewasa, Azura menjadi wanita cantik, baik, kuat, tangguh, dan mandiri. Hidup sendirian tak membuatnya putus asa. Ia memulai dari awal lagi tuk membalas dendam pada keluarga baru Ibunya, hingga takdir mempertemukannya dengan sepasang anak kembar yang kehilangan Ibunya. Tak disangka, anak kembar itu malah melamarnya menjadi Istri kedua Ayah mereka yang Duda, yang merupakan menantu Ayah tirinya.
“Bibi Mackel… mau nda jadi Mama baluna Jilo? Papa Jilo olangna tajil melintil lhoo… Beli helikoptel aja nda pake utang…” ~ Azelio Sayersz Raymond.
“Nama saya Azura, bukan Bibi Masker. Tapi Ayah kalian orangnya seperti apa?” ~ Azura Eliyena.
“Papa ganteng, pintel masak, pintel pukul olang jahat.” ~ Azelia Sayersz Raymond.
“Nama kalian siapa?”
“Ajila Ajilo Sales Lemon, Bibi Mackel.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13. ANAK TIRI TERBUANG MENJADI ISTRI TANGGUH DUDA KILLER
Suara melengking dari ponsel di atas nakas memecah keheningan kamar Joeson. Deringan itu terdengar nyaring, berulang, memaksa masuk ke dalam mimpi-mimpi si pemilik ponsel yang masih terlelap. Joeson sedikit menggeliat, berusaha mengabaikan, namun suara itu terus berlanjut, semakin mendesak.
Satu tangan Joeson terulur ke meja, ia mengambil benda pipih itu. Dengan mata masih mengantuk, ia mengecek nama pemanggil. Kedua matanya menyipit perlahan.
“Bibi Azura?”
“Ck, ganggu tidur saja,” desis Joeson sambil meletakkan ponsel itu di bawah bantal. Ia kembali memejamkan mata, mencoba terlelap. Namun, Joeson segera beranjak duduk dan mengecek ulang nama si pemanggil.
“Sudah kuduga, dia pasti akan meneleponku. Tapi ini terlalu kepagian, bodoh!” gerutunya, melirik jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.30 pagi. “Ck, ternyata aku yang kesiangan!”
Joeson berdiri dan menoleh ke belakang, namun anak kembarnya sudah tak ada di tempat tidur. Ia menarik napas sejenak, merapihkan rambut lalu memastikan suaranya stabil, lalu menekan tombol hijau. Mendadak, panggilan itu diputus Azura. Joeson mengernyit heran.
“Haisshh… perempuan ini, apa dia sedang bermain-main denganku? Kenapa malah diputusin?” gerutu Joeson, rasanya ingin membanting ponselnya, namun tak jadi. Ia duduk bersila di kasur.
“Papaaa!” pekik Azelia dan Azelio yang sudah lengkap dengan seragam sekolah. Kedatangan mereka membuat Joeson yang sedang mengumpulkan jiwa dulu merasa terganggu.
“Papa? Napa belum mandi? Ayo buluan mandi, ental Jila sama Kak Jilo nda masuk sekolah,” rengek Azelia sambil menarik-narik tangan ayahnya.
“Tunggu Papa selesai ngumpulin jiwa,” ringis Joeson tak mau beranjak dari tempat tidurnya. Ia duduk bak petapa kura-kura yang sedang bersemedi di atas batu karang.
“Haha, Papa lucu…” Azelia tertawa, lalu Joeson membuka mata.
“Udah, Papa?” tanya Azelio polos.
“Hm, sekarang Papa mau antar kalian,” jawab Joeson.
“Nda mandi dulu?” tanya Azelia.
“Mandi nanti saja habis pulang sekolah,” jawab Joeson berdiri mengambil jaket.
Cepat-cepat, dua bocah itu menarik tangannya. “Papa nda boleh pelgi kalau nda mandi dulu!” Mereka memekik, memaksa dan mendorong bokong Joeson masuk kamar mandi.
Joeson terpaksa menurut daripada ribut pagi ini. Pria itu segera mandi, sementara si kembar duduk menunggu di kasur. Tiba-tiba, ponsel Joeson berdering lagi.
“Bibi, napa pagi-pagi telpon? Lindu Papa Jila, ya?” tanya Azelia yang mengangkat panggilan itu.
“Bu-bukan, Bibi cuma mau bicara sama ayah kalian.”
“Mau bicala apa, Bibi? Nanti Jilo yang kasih tahu,” ucap Azelio menyahut.
“I-itu… Bibi… mau jadi ibu pengganti kalian,” jawab Azura terbata-bata.
“Bibi mau jadi mama balu Jila sama Kakak Jilo?” tanya mereka terkejut tak percaya.
“I-iya, Bibi mau,” jawab Azura sambil mengatur nafas, berusaha tetap tenang.
Azelia dan Azelio tersenyum sumringah, lalu mereka buru-buru ke pintu kamar mandi. “Papa! Papa! Bibi mau jadi mama baluna Jila. Papa telima nda?” teriak Azelia di samping Azelio yang menutup telinganya karena suara cempreng adiknya bak klakson tanpa rem.
“IYA! PAPA TERIMA!” jawab Joeson berteriak dari dalam kamar mandi.
Azelia melompat kegirangan, mengubah panggilan suara itu menjadi video call. Tiba-tiba pipi Azelia yang bagai bakpau memenuhi layar ponsel Azura. Matanya melotot nyaris membuat Azura melempar ponselnya, kaget.
“Bibi… napa Bibi mau sama Papa Jila?” tanya Azelia ingin tahu, begitu pula Azelio yang penasaran.
'Tentu saja aku ingin balas dendam pada ayah tiriku dengan memanfaatkan Papa kalian! Tapi alasan itu tidak harus kalian dengar,' batin Azura.
“So-soalnya mahar nikahnya lumayan banyak,” jawab Azura, teringat mahar yang tertera di surat perjanjian: uang tunai Rp500 juta. Uang sebanyak itu mungkin saja cukup ia gunakan untuk balas dendam ke ayah tirinya, dan membantunya kembali kuliah.
“Mahal nikah? Itu apa, Kak?” tanya Azelia ke Azelio, tapi bocah laki-laki itu menggeleng tak tahu.
Tiba-tiba, pintu kamar mandi di depan mereka terbuka.
“Hm, kenapa masih berdiri di sini? Kenapa tidak turun sarapan duluan, baby?” tanya Joeson keluar hanya memakai bokser, ia lupa mengambil handuk.
Sontak, sekujur tubuhnya membeku melihat layar ponsel masih menunjukkan video call dengan Azura. Melihat pemandangan tubuh duda itu yang perkasa, berotot, six-pack dan menawan, Azura tercengang dan terpesona.
“Kyaaaaaa!!!” pekiknya panik. Menutup matanya dengan tangan kiri. Joeson secepatnya merebut ponsel dari tangan mungil putrinya, mengakhiri panggilan video itu.
“Ampun deh, kalian benar-benar bikin Papa malu saja,” desis Joeson berkacak pinggang lalu menunjuk dinding di sebelah anak kembarnya dengan tatapan tajam.
“Sekarang hadap tembok, jangan berbalik sebelum Papa selesai pakai baju,” titahnya membuat bibir mungil si kembar cemberut dihukum menghadap tembok.
“Papa selem kalo lagi malah-malah, Jila takut,” batin Azelia kapok.
“Jila yang nakal, napa Jilo dihukum juga?” Pikir Azelio merasa bingung.
Sementara itu, Azura jatuh terduduk di kursi. Mukanya merah seperti orang demam tinggi.
“Azura, kamu kenapa? Habis lihat apa sampai teriak berusan?” tanya Leni yang masuk ke kamar Azura.
“Len… barusan mataku… mataku…”
“Matamu kenapa?” tanya Leni makin cemas.
“Mataku sudah ternodai, Len!”
“Hah? Ternodai? Maksudnya?” tanya Leni bingung.
Azura mengangkat kedua telapaknya, menutupi pipinya yang merona. “Len, kupikir dia udah kayak bapak-bapak, tenyata aku salah. Badannya kayak atlet olahragawan. Dia punya otot sebesar pahaku sama perut kotak-kotak. Dia… dia… sexy.”
Leni mengernyit. Sahabatnya terlihat aneh, mirip dirinya yang kesetanan melihat barang bagus milik laki-laki.
“Kamu lagi ngomong apaan sih, Ra?” tanya Leni semakin bingung melihat Azura yang tersenyum-senyum sendiri. “Wah, jangan bilang kamu kesurupan wewe gombel?”
“A-aku udah enggak apa-apa, kok. Kita pergi kerja sekarang yuk, Len.” Ajak Azura pura-pura tersenyum dan berusaha tenang. Ia tak mau menceritakan yang sebenarnya.
“Kamu ini…” Leni menghela nafas. “Bikin orang khawatir saja,” lanjutnya tersenyum lega.
Azura mengambil surat perjanjian dan memasukkannya ke dalam tas. Setelah pulang kerja nanti, ia berencana menyerahka suratnya pada Joeson. Namun saat berjalan pulang sendirian, ia sontak berhenti ketika mobil putih mencurigakan berhenti tepat di hadapannya.
Azura berbalik, firasatnya mulai tak enak. Ia ingin melarikan diri, namun dua orang berjas hitam dengan cepat membuka pintu. Mereka menarik Azura masuk ke dalam mobil. Azura membelalak kaget. Ia diculik oleh sekelompok orang tak dikenal. Mulutnya dibekap plester, kepalanya dibungkus plastik hitam, dan tangannya diikat tali tembaga.
Azura semakin terkejut mendengar suara wanita familier dari ponsel salah satu preman di sebelahnya.
“Bagus, bawa si bodoh itu kemari.”
“Calsa? Untung apa dia menculikku?” gumam Azura.
Di waktu yang bersamaan, tampak si kembar berjalan di samping ayah mereka yang buru-buru. Mereka menuju ke mobil Hansel yang telah datang menjemput si kembar dari sekolah.
“Papa, ental kita mau kemana lagi?” tanya Azelio.
“Ke lumah na Mama balu Jila?” tebak sang adik.
“Hm, kita akan ke sana,” jawab Joeson tanpa ekspresi.
“Han, langsung ke rumah Matthias,” perintah Joeson, ia duduk di kursi depan. Sementara itu, si kembar duduk di jok tengah.
“Rumah Matthias? Untuk apa kita ke sana, Tuan Muda?” tanya Hansel terkejut dan heran.
“Wanita itu dalam bahaya. Kita harus menolongnya sebelum terjadi sesuatu padanya, cepat!” titah Joeson mendesak sambil melihat alat pelacaknya yang menunjukkan pergerakan Azura yang aneh. Karena Azura tadi pagi sudah setuju menjadi istrinya, mulai sekarang Azura berada di bawah pengawasan langsung Joeson.
“Papa, napa mobil na putal jalan?” tanya Azelia polos.
“Kita mau pelgi mana, Papa?” tanya Azelio bingung.
“Anak-anak, hari ini misi kita menjemput Ibu baru kalian di rumah kakek jahat itu. Ingat! Sampai di sana nanti, kalian jangan jauh-jauh dari Papa. Paham?”
“Ciap, Papa!” hormat keduanya meskipun tak paham apa yang terjadi, ditambah wajah ayahnya kini terlihat kesal dan marah.
Hari pertama jadi calon suami, langsung melakukan misi penyelamatan. Calsa tanpa sadar mulai mengajak cucu Raymond King berperang.
pasti lucu tiap ketemu teringat tubuh polos istri nya pasti langsung on
secara dah lama ga ganti oli 😂😂😂
karena klrga joe bukan kaleng3
bapak nymshhidup dn tanggung jawab samaanaj ny, kok malah mauerevut hak asuh.
memang nyari masalah nexh siMatthuas dan Aeishta