Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.
Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.
Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Ache That Lingers
"Hati-ha—"
"Waaaaa~!"
Belum juga selesai mulut Dean bicara, tubuh Suri sudah lebih dulu melayang di udara.
Dean tidak memikirkan hal lain. Buku-buku di dekapan dilepaskan, dibiarkan berhamburan. Mengumpulkan seluruh energi, ia berlari menghampiri tubuh Suri. Kedua tangannya menengadah, siap menyambut tubuh sang gadis supaya tidak jatuh membentur tanah.
Dalam kurun waktu sepersekian detik, Dean tidak berhenti berharap semoga energinya masih tersisa banyak. Tidak terbayang olehnya kalau dirinya tidak mampu menangkap tubuh Suri, lalu harus menyaksikan gadis itu kesakitan jatuh dari ketinggian 9 kaki.
Kumohon... Kumohon... Jatuhlah ke dekapanku, Suri. Kumohon.
"Waaaa~"
Teriakan Suri menggema memenuhi lorong toko buku. Dihimpit dua rak tinggi besar, tubuhnya hanya tampak seperti bola bekel yang jatuh dari langit-langit.
Semakin sedikit jarak tersisa, Dean semakin gelisah. Kakinya bergerak ricuh. Sedikit bergeser ke kanan, sedikit bergeser ke kiri, menyesuaikan ke mana arah jatuh tubuh Suri.
Sampai akhirnya...
Brukkk!
Dean berhasil menangkap tubuh Suri. Tubuh kecil itu tidak mendarat di lantai yang keras, untuk mendapatkan cidera parah. Namun, sebagai gantinya, karena jarak jatuh cukup jauh dan kecepatan jatuhnya secepat kilat, tubuh Dean tidak mampu menghadapi tekanan yang tercipta. Akibatnya, ia ikut jatuh bersama Suri. Tubuhnya terdorong keras ke lantai. Punggungnya menumbuk lantai dan terseret beberapa senti dengan tubuh Suri menjadi beban tambahan di atasnya.
Tidak sakit, karena Dean bukan manusia. Tetapi sensasi kejut yang tercipta tetap saja membuat sekujur tubuhnya gemetar. Ia khawatir Suri terluka.
"Suri," bisiknya panik. Di dalam dekapannya, Suri diam tak bergerak. Wajahnya terbenam di dada Dean. Kedua tangan meringkuk melindungi kepala.
"Suri, kau tidak apa?" tanyanya, seraya menjauhkan tubuh Suri dengan gerakan perlahan, takut melukai tubuh kecil yang rapuh itu.
Saat wajah Suri terangkat sedikit, Dean menyadari kabut bening menggenang di pelupuk mata sang gadis. Dalal cengkeraman lembutnya, tubuh Suri sedikit bergetar.
"Hei," katanya, "tenang, kau sudah aman."
Tapi Suri masih tidak merespons. Bahunya bergetar naik turun, membuat Dean panik setengah mati.
"Suri ka—"
"Huwaaaaa~"
Kalimat Dean terputus lagi. Lidahnya membeku di dalam rongga mulut. Kelopak matanya pun bagai disihir menjadi batu, membuatnya tak bisa berkedip. Suri... gadis itu tahu-tahu masuk ke dalam pelukannya. Menangis tersedu-sedu seperti anak-anak kehilangan ibunya.
"Suri...." lirih Dean.
Suri tidak menyahut, masih sibuk menangis. Karena tidak punya pilihan, Dean akhirnya membiarkan gadis itu menumpahkan semua tangis di dadanya. Air matanya yang tumpah membasahi bagian depan kemeja Dean. Sensasi dinginnya merembes sampai ke dada Dean, meredupkan sesuatu yang tadinya menggelora tanpa kendali.
Dean rebah lebih pasrah. Kedua lengannya terlentang di lantai. Tatapannya lurus menembus langit-langit toko buku yang terasa jauh di atasnya. Rungunya mulai kabur. Tangis Suri perlahan tenggelam, termakan suara berisik di kepala Dean sendiri.
Debaman keras, rintihan kesakitan, sirine ambulans. Suara-suara mengganggu itu memenuhi kepala Dean. Tanpa sadar menarik buliran air mata, membawanya mengalir menyusuri sudut-sudut matanya.
Kilas balik kejadian kecelakaan malam itu kembali menghantui Dean. Bagaimana mobil mereka terguling, berputar-putar di udara, lalu mendarat mengenaskan di dasar jurang. Bagaimana ia berusaha menggapai tubuh kekasihnya. Bagaimana Dean bersikeras berteriak sekuat tenaga, namun yang keluar hanyalah rintihan percuma sebab suaranya tertahan di tenggorokan. Bagaimana matanya dipaksa tetap terbuka demi memastikan kekasihnya diselamatkan, ketika nyawanya sudah sampai di ubun-ubun.
Setelah melewati banyak hal sampai akhirnya ada pada tahap menerima, Dean ternyata masih saja ketakutan. Kematiannya bukan lagi sesuatu yang disesali. Dean sudah pasrah jiwanya tak bisa lagi kembali. Tapi kekasihnya... Kekasihnya harus mendapatkan kesempatan untuk mencecap labih banyak rasa manis. Kekasihnya harus diberi satu kali lagi kesempatan untuk menjalani kehidupan yang baik.
"Suri..." Dean berbisik lirih dengan tenggorokan yang terasa perih. Kedua tangannya bergerak sinkron, mendekap erat tubuh Suri di atasnya. "Tidak apa-apa, Suri. Tidak apa-apa. Kau baik-baik saja." Seraya diusapnya punggung sang gadis berkali-kali.
Selama beberapa saat. Tangis Suri kembali mengisi indera pendengaran Dean, sebelum akhirnya berhenti. Suri perlahan menjauhkan tubuhnya, bersimpuh lesu di lantai, dan menyandarkan punggungnya di rak.
Dean mengikuti. Ia duduk bersila di hadapan Suri. Netranya menyorot lekat wajah Suri yang basah dan memerah.
"Tidak ada yang terluka, kan?" tanyanya, seraya memeriksa setiap inchi tubuh Suri. Namun lagi-lagi luka gores yang menyebar di beberapa titik kembali menyita perhatiannya. Mumpung ada kesempatan, Dean pun bertanya, "Ini..." mulainya, seraya menyentuh lengan Suri. "Luka-luka ini datangnya dari mana? Sejak tadi pagi aku sudah gatal ingin bertanya."
Suri mengikuti arah telunjuk Dean, kemudian menarik lengannya, mengcover bagian yang terluka dengan telapak tangan kecilnya. Namun semua percuma, luka-luka goresnya terlalu banyak, tangan mungil itu tidak akan sanggup menutupi semuanya.
"Aku tidak tahu," balasnya pelan. "Mungkin tergores sesuatu saat kita membersihkan gudang semalam."
Dean memperhatikan luka-luka gores itu lebih saksama. "Tidak," sanggahnya, "semalam belum ada. Aku menemanimu sampai terlelap, Suri. Aku juga yang menaikkan selimutmu sampai sebatas leher. Luka-luka itu baru muncul tadi pagi."
Suri membuang muka. "Mungkin tergores kukuku sendiri saat sedang tidur. Entahlah, jangan tanyakan lagi. Aku juga tidak tahu kenapa bisa ada luka-luka ini."
"Suri," Dean menyentuh pelan pundak Suri, membawa gadis itu kembali bertatapan dengannya. "Kau tidak boleh menyembunyikan apa pun. Katakan saja semuanya padaku. Siapa tahu—"
"Sudah sore, sebaiknya kita bergegas ke rumah sakit." Suri menepis tangan Dean agak kasar. Ia kemudian berusaha bangkit, setelah mengumpulkan buku-buku cerita yang sudah dia pilih sudah payah.
Namun, baru akan berdiri, lengan Suri dicekal sehingga pergerakannya terhenti.
"Apa?" tanyanya. Nadanya datar, tapi Dean bisa merasakan kekhawatiran terselip di sana.
"Hari ini tidak usah ke rumah sakit," kata Dean.
"Kenapa? Bukankah kau bilang kita tidak punya banyak waktu?"
"Itu..."
Suri kembali menepis tangan Dean. "Ayo bergegas. Aku tidak ingin membuang lebih banyak waktu. Kau tahu pekerjaanku bukan cuma membantumu," tukasnya.
"Justru itu," sambar Dean. Pria itu ikutan bangkit. Buku-buku dalam dekapan Suri direbut, kembali menghuni dekapannya seperti semula. "Karena pekerjaanmu bukan hanya untuk membantuku, maka mari kerjakan yang lebih penting dulu."
Alis Suri naik sebelah. "Apa maksudmu?"
Dean tidak menjawab, malah menggandeng Suri untuk mengukuti langkahnya.
"Dean." Suri mencoba melepaskan diri, tapi genggaman Dean terlalu kuat.
"Dean, lepaskan. Kita harus segera ke rumah sakit."
"Nanti," potong Dean.
"Nanti apanya? Ini sudah sore—"
Dean berhenti melangkah. Kepalanya menoleh cepat, sorot matanya berubah asing. "Nanti kita ke rumah sakit, setelah kita obati luka-lukamu."
Bersambung....