Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.
Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.
Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.
Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.
Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.
Dan dia adalah sosok itu...
Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kecelakaan tunggal
Pintu lift terbuka di lantai dasar.
Suara mekaniknya menggema nyaring di tengah kesunyian malam.
Viora melangkah keluar—napasnya masih tersengal, wajahnya basah oleh air mata yang tak kunjung berhenti. Setiap langkah terasa berat, seolah tubuhnya menolak untuk bergerak, namun hatinya memaksa untuk pergi… sejauh mungkin dari tempat itu.
Koridor menuju basement lengang.
Hanya gema langkah sepatu haknya yang terdengar, berpadu dengan dengung lampu neon di langit-langit. Sesekali ia mengusap air matanya dengan punggung tangan, namun tangis itu seperti tak pernah habis.
Begitu tiba di area parkir, ia menekan tombol kunci mobil. Lampu mobil sport hitamnya berkedip pelan, menandai pintu telah terbuka.
Tangannya gemetar saat menggenggam kemudi. Ia menatap bayangan dirinya di kaca spion—mata sembab, wajah pucat, bibir bergetar. Sosok yang menatap balik dari kaca itu bukan lagi dirinya yang ceria.
“Kenapa harus begini...” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara.
Ia menyalakan mesin. Suara raungan mobil memecah kesunyian basement. Tanpa pikir panjang, ia menginjak pedal gas, meninggalkan gedung apartemen itu dalam kecepatan tinggi.
Hujan turun lagi.
Rintiknya membasahi kaca depan, memburamkan pandangan malam kota. Lampu-lampu jalan memantul di aspal basah, menciptakan pantulan cahaya berkelip—seolah menertawakan kehancurannya.
Hujan menampar kaca mobil tanpa ampun. Wiper bekerja keras, tapi pandangannya tetap buram—sama buramnya dengan pikirannya yang berputar tak beraturan.
Suara hujan itu seperti gema masa lalu, memantulkan satu demi satu kenangan yang terasa menyakitkan.
Kilatan lampu jalan memotong gelap, dan di antara cahaya itu... potongan kenangan menari di matanya.
°°°
Flashback on
"Lo selalu lupa makan siang, nih gue udah bikin dan bawa sandwich favorit lo."
Rafka tersenyum tipis — senyum yang tak pernah Viora dapat saat ia repot menyiapkan bekal sendiri. Waktu itu Viora hanya berdiri di ujung koridor, menatap mereka sambil menertawakan perasaannya sendiri yang tiba-tiba terasa bodoh.
Sore lain muncul.
Rafka menatap layar ponsel tanpa menyadari Viora di sebelahnya.
“Oh, ini cuma tugas,” katanya waktu itu.
Padahal jelas-jelas nama di layar itu: Friska.
Senyumnya waktu menjawab pesan itu berbeda — hangat, ringan, bebas.
Senyum yang sama yang dulu membuat Viora jatuh cinta.
---
"Ini kan kotak makan Friska, kok ada di meja kamu?" Tanya Viora saat itu sedikit heran.
"Ketinggalan, mungkin." Jawab Rafka terkesan santai dan cuek.
---
Di ruang OSIS, Friska dan Rafka duduk berdekatan.
Friska menatap dokumen yang sama, terlalu dekat.
Viora mengetuk pintu dan keduanya menoleh bersamaan, seperti dua anak kecil yang tertangkap basah melakukan sesuatu yang tak seharusnya.
Rafka langsung berdiri, berdeham, terlalu cepat menutup berkas di depannya.
“Cuma bahas acara sekolah,” katanya. Tapi Friska menghindari tatapannya — dan itu lebih menyakitkan dari apa pun.
---
Kilasan berikutnya datang lebih cepat.
Suara Friska di telepon.
“Gue cuma bantu Rafka ngerjain laporan, Vi. Lo jangan overthinking yah…” Tapi suaranya bergetar.
Ada jeda panjang di antara kata laporan dan Vi.
Seolah lidahnya berusaha menyembunyikan sesuatu yang tak semestinya diucapkan.
---
Dan malam itu—
Rafka lupa ulang tahun Viora.
Padahal gadis itu menunggu di taman kecil, mengenakan gaun putih yang dibelinya dengan uang tabungannya sendiri.
Lilinnya padam karena angin.
Rafka tak datang.
Yang datang malah pesan singkat:
“Maaf, aku sibuk rapat OSIS. Gak bisa ditunda. Kita rayain besok, ya.”
Besok yang tak pernah datang.
---
Flashback off
Setiap kenangan menabrak satu sama lain seperti kaca pecah. Semua yang dulu terasa indah kini memantulkan luka.
Tawa Friska di kepalanya berubah jadi gema sumbang.
Senyum Rafka berubah jadi pisau.
Viora menggenggam setir lebih erat. Dadanya sesak, matanya panas. Air mata kabur bersama cahaya jalan yang basah.
“Kenapa harus aku… kenapa kalian berdua…”
Kalimat itu terputus di antara isak.
Klaxon mobil lain terdengar keras.
Sorot lampu putih menyilaukan menembus kaca depan.
Tapi mobilnya justru melaju semakin cepat di jalanan yang sepi. Angin berdesir kencang. Wiper berjuang sia-sia menepis hujan yang makin deras.
Viora tak menyadari lampu merah di perempatan depan. Ia terlambat menginjak rem.
Ban mobil berdecit keras—suara gesekan tajam menembus malam, disusul benturan menggelegar saat mobil menghantam pembatas jalan.
Dentuman logam menggema. Pecahan kaca berhamburan. Mobil berputar setengah lingkaran sebelum berhenti di tepi jalan, asap tipis mengepul dari kap mesinnya.
Di dalam kabin, Viora terkulai lemah di kursi pengemudi. Kepalanya bersandar di sandaran, darah menetes di pelipis—membaur dengan air mata dan hujan yang merembes lewat kaca retak.
Waktu berhenti.
Dan dalam sepersekian detik sebelum gelap menelan semuanya— yang terakhir kali terlintas di benaknya bukanlah amarah, melainkan wajah Rafka yang tersenyum hangat di awal hubungan mereka.
Senyum yang dulu membuat dunia terasa aman.
Senyum yang kini hanya tinggal bayang di antara hujan dan pecahan kaca.
Lalu, semuanya gelap.
°°°
Beberapa Menit Kemudian
Sirene meraung di kejauhan. Lampu merah-biru memantul di genangan air, membuat suasana semakin kacau.
Para petugas medis berlari tergesa menuju mobil hitam yang remuk di sisi jalan. Kaca berserakan, kap depan ringsek, dan bau bensin samar bercampur dengan aroma logam serta hujan.
Namun sebelum mereka tiba, seseorang sudah lebih dulu di sana. Sosok tinggi dengan hoodie hitam yang basah kuyup berdiri di samping mobil itu, berusaha membuka pintu yang penyok parah dengan tangan telanjang. Nafasnya berat, napas yang berpadu dengan desah hujan dan bunyi petir yang menggantung di langit.
“Bertahan... Gue mohon, bertahan,” gumamnya rendah, nyaris tak terdengar.
Akhirnya pintu berhasil terbuka setelah beberapa hentakan keras. Asap tipis keluar dari dalam kabin. Ia segera menunduk, meraih tubuh Viora yang bersandar lemah di kursi kemudi. Wajah gadis itu pucat, darah menetes dari pelipisnya, dan napasnya tersengal pelan.
Ia menarik napas tajam, lututnya gemetar. “Kenapa gue biarin lo pergi... kenapa gue gak langsung nyusul tadi...” suaranya serak, hampir pecah di antara suara hujan.
Tangannya menggenggam jemari dingin Viora erat-erat.
"Ah... Brengsek!!" Teriaknya memgumpati diri sendiri.
Dua petugas medis mendekat, menyorotkan senter ke arah mereka.
“Dia masih hidup?” tanya salah satu petugas cepat.
Sosok ber-hoodie itu hanya mengangguk singkat. Ia masih memangku tubuh Viora di pangkuannya, wajahnya tertunduk, menatap gadis itu dengan pandangan kosong namun sarat penyesalan.
“Dia masih napas... tapi lemah,” katanya parau. “Cepat, tolong dia.”
Petugas segera menyiapkan tandu dan peralatan. Tapi sebelum mereka mengangkat tubuh Viora, sosok itu menahan lalu mengambil ponsel dari sakunya—tangan gemetar, jemarinya basah oleh air hujan dan darah. Ia menekan sebuah nomor.
Suara di seberang menjawab cepat. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara dengan nada pelan tapi tegas.
"Datang ke rumah sakit Brawijaya. Viora... Dia kecelakaan. Tanpa menunggu jawaban dia memutuskan sambungan, lalu menganggat tubuh Viora hati-hati, dan membaringkannya di atas tandu.
Petugas medis segera mendorong tandu itu ke arah ambulans, sementara sosok ber-hoodie hitam itu berjalan di belakang, menatap langkah mereka dengan pandangan berat.
Ketika pintu ambulans menutup dengan dentum logam yang dingin, kendaraan itu segera melaju menembus hujan malam. Di tepi jalan, ia tetap berdiri — membeku di bawah guyuran air yang jatuh tanpa ampun. Setiap tetes menampar kulitnya, namun ia tak bergeming. Pandangannya terpaku pada cahaya merah yang perlahan menghilang di kejauhan, seolah membawa separuh jiwanya pergi bersama suara sirine yang kian memudar.
“Bertahanlah, Vi… tepati janji,” bisiknya lirih, hampir tenggelam dalam gemuruh langit.
Sesaat kemudian, lututnya goyah. Ia tertunduk, bahunya bergetar hebat. Setetes air mata jatuh — menyatu bersama hujan, lenyap tanpa jejak seolah dunia pun menolak menjadi saksi kesedihannya.
Dentuman sirine lain memecah malam, mengaburkan batas antara kenyataan dan luka. Ia mendongak, menatap langit yang kelam — getir, pasrah, namun penuh tanya.
“Sampai kapan… takdir akan terus menempatkan kita dalam penderitaan ini?” suaranya pecah pelan, tersapu oleh deras hujan — seakan kalimat itu bukan lagi sekadar tanya, melainkan keluh yang ditujukan pada langit yang tak memberi jawaban.
°°°
Rumah Sakit — Beberapa Jam Kemudian
Ruang UGD penuh dengan ketegangan. Suara monitor detak jantung berdenting ritmis, seperti menahan waktu.
Leonard Walker, ayahnya, datang dengan wajah panik, jas formalnya sudah basah oleh hujan.
Di belakangnya, Claretta, ibunya, menjerit histeris saat melihat putrinya terbujur di atas ranjang darurat.
“Tuhan… Vi, bangun, Nak! Tolong buka matamu, sayang!"
“Dokter! Tolong anak saya, tolong anak saya!”
Perawat menahan lembut sang ibu yang terus berusaha mendekat. Di balik kaca, dokter bedah tampak fokus memeriksa cedera kepala dan luka dalam.
Tak lama, dua pemuda saudara kembar Viora — Zevan dan Zegra, datang dengan wajah pucat.
Di susul Elvatir yang segera menanyakan kondisi adiknya. “Gimana kondisi adik saya, Dok?” suara Elvatir bergetar. “Kenapa dia belum sadar?!”
Dokter menghela napas panjang, melepas masker pelan.
“Kepalanya mengalami benturan cukup keras. Kami sudah melakukan tindakan secepat mungkin… tapi pasien masih belum sadarkan diri.”
“Maksud dokter?” tanya sang ayah dengan suara parau.
“Untuk saat ini…” dokter menatap mereka satu per satu. “Viora dalam kondisi koma. Kami akan terus memantau perkembangan otaknya dalam 48 jam ke depan.”
Suasana mendadak sunyi.
Hanya suara monitor beep... beep... beep... yang terus berdetak lemah — tanda bahwa harapan itu masih ada, sekecil apa pun.
Claretta jatuh berlutut sambil menatap putrinya di balik kaca ruang ICU.
“Vi… Mama di sini, Nak. Tolong bangun, ya… Mama mohon.”
Air mata bercampur hujan di wajah semua yang hadir malam itu. Sementara di luar ruang ICU, Seseorang berdiri diam, basah kuyup, menatap tubuh Viora yang tak bergerak di balik kaca bening.
Wajahnya tegang, rahangnya mengeras — tapi di matanya, ada sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan, rasa takut dan kehilangan.
****
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
sosok misterius itu???
lanjut thor
love u sekebon buat para readers ku🫶🫶