"Pasar tidak mengenal itu, hutang tetaplah hutang"
"Kalau anda manusia, beri kami sedikit waktu"
"Kau terlalu berani Signorina Ricci"
"Aku bukan mainan mu"
"Aku yang punya kendali atas dirimu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Saskya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kasar Bukan Main
Selama 30 menit diperjalanan, mobil hitam itu berhenti di bawah sebuah menara apartemen mewah. Pintu dibuka, Kairos turun lebih dulu, lalu tanpa memberi kesempatan Aurora melarikan diri, ia kembali menarik gadis itu keluar.
Aurora menatap ke atas, mendongak pada bangunan yang menjulang bagai benteng raksasa. “Penthouse…” gumamnya lirih.
Kairos tidak menanggapi. Ia menyeret Aurora ke dalam lift pribadi, menekan tombol lantai tertinggi.
Suara mekanis mesin lift terdengar lembut, tapi ketegangan di dalam ruang sempit itu terasa mencekik.
Aurora meronta sekali, dua kali, tangannya berusaha ditarik lepas. “Lepaskan aku! Kau pikir bisa memperlakukan orang seperti ini?!”
Kairos menunduk sedikit, tatapannya menusuk. “Berhenti melawan. Kau hanya akan membuat dirimu sendiri lebih lelah.”
Aurora menahan napas, tapi genggamannya tetap mengepal.
Lift akhirnya berhenti dengan bunyi lembut. Pintu terbuka, dan Kairos melangkah masuk, masih menyeret Aurora yang tangannya terkunci erat di genggamannya.
Penthouse itu luas, dengan dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota. Sofa kulit hitam melingkar di ruang tengah, meja marmer dipenuhi botol anggur setengah habis.
Aroma alkohol bercampur dengan wangi kayu dan kulit, menciptakan atmosfer maskulin yang tegas.
Namun langkah Kairos sedikit melambat. Alisnya berkerut tipis ketika ia mendapati pemandangan tak terduga.
Adiknya, Samuel duduk tegak di kursi panjang, masih berjas lengkap seolah baru pulang kerja. Lalu dua orang sahabatnya, Matteo dengan kemeja setengah terbuka, sedang menuang minuman ke gelas kristal. Sementara Lucca bersandar malas di sofa sambil memainkan ponsel.
Tiga pasang mata itu serempak menoleh.
Ketiganya sama-sama terkejut.
Matteo hampir tersedak anggur. “Whoa, whoa—apa gue halu atau lu beneran bawa perempuan, Kai?” Ia langsung menghampiri, matanya berbinar sinis. “Siapa ini? Ricci?”
Aurora mencoba melepaskan lengannya dari genggaman Kairos, tapi pria itu menahannya lebih kuat.
“Lepaskan aku!” Aurora berteriak, suaranya menggema di ruangan.
Samuel langsung bangkit, wajahnya tegang. “Kairos. Apa ini?”
Kairos menoleh sebentar, tatapan dinginnya cukup membuat Samuel menahan langkah. “Urusan pribadi.”
Matteo mendengus, setengah tertawa.
“Pribadi? Lu jarang banget ada urusan pribadi. Apalagi sampe bawa cewek ke sini, dengan cara…” ia melirik Aurora dari atas ke bawah, lalu bersiul pelan. “Kasarnya bukan main.”
Lucca akhirnya mengangkat wajah dari ponselnya, keningnya berkerut.
“Kairos, lu serius? jangan sampai ini cuman jadi masalah tambahan kedepannya"
Kairos tidak menjawab sepatah kata pun. Tanpa menggubris tatapan atau protes dari adik dan sahabatnya, ia menarik Aurora lebih keras hingga gadis itu hampir tersandung karpet mahal.
Aurora berusaha menahan diri, tangannya meraih kusen pintu, tapi genggaman Kairos seperti baja.
“Aku bukan barang mainanmu!” teriaknya.
Kairos berhenti sejenak di depan kamarnya, lalu menoleh ke Matteo yang masih setengah mengejek. Tatapan abu-abunya menusuk.
“Jangan ikut campur!.”
Matteo mendengus, mengangkat kedua tangan pura-pura menyerah. Samuel hanya menatap tajam, tapi tidak bergerak lebih jauh. Lucca memilih bungkam, kembali menunduk ke ponselnya meski jelas-jelas matanya memperhatikan.
Kairos lalu mendorong pintu kamarnya, menarik Aurora masuk bersamanya. Pintu itu dibanting keras, lalu suara kunci berputar terdengar jelas.
Matteo akhirnya bersiul pelan, lalu menjatuhkan diri ke sofa dengan gaya sok santai. Ia mengangkat gelas anggur, matanya masih menatap pintu yang terkunci.
“Gue sih gak tau kalian gimana, tapi barusan gue merinding liat tatapan Kairos,” katanya, nada main-main. “Serius, tatapan kayak gitu biasanya muncul kalau dia mau nge-‘deal’ kontrak ratusan miliar. Tapi kali ini… ya ampun, cewek.” Ucap Matteo semangat.
Lucca menurunkan ponselnya perlahan, ekspresinya tenang, suaranya datar tapi jelas menyimpan sindiran halus.
“Kalau dia serius bawa masuk cewek ke kamar, berarti dua kemungkinan sih, antara bakal ada drama atau kita siap-siap nyambut ponakan sembilan bulan lagi.”
Matteo langsung terkekeh, mengacungkan gelas ke arah Lucca. “Ah, akhirnya ada yang sepemikiran sama gue!”
Samuel mendengus, menatap keduanya tajam. “Kalian pikir ini lucu?”
Lucca hanya mengangkat bahu, wajahnya tetap tenang.
“Rileks Sam, tapi kalo pria dewasa yang buas kayak Kairos bawa perempuan ke kamar mau ngapain lagi kalo bukan buat skidipapap? apa? Sidang skripsi?. Gamungkin kan!”
Matteo langsung jatuh tertawa, menepuk lutut “Gak sabar gue, nungguin dia keluar dari kamar.”
tbc🐼