NovelToon NovelToon
PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Matabatin / Crazy Rich/Konglomerat / Raja Tentara/Dewa Perang
Popularitas:680
Nilai: 5
Nama Author: Andi Setianusa

Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.

Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.

Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Intrik Tahta

Aula istana Nurendah pagi itu penuh sesak. Cahaya matahari menembus jendela-jendela kaca patri, memantul di lantai marmer yang licin. Rakyat dan pejabat bersatu di ruang megah itu, tapi kehadiran mereka tidak membawa kedamaian. Suasana penuh ketegangan; bisik-bisik mengisi setiap sudut, seolah udara sendiri mengangkut intrik.

Al Fariz berdiri di sisi singgasana, tubuhnya tegap meski masih tersisa rasa sakit dari luka-luka lama. Mata para pejabat bergantian menatapnya dan pintu aula, jelas menunggu sesuatu—atau seseorang—yang akan mengubah arah permainan politik.

Pintu aula terbuka perlahan. Semua mata tertuju ke sosok yang masuk. Tinggi, gagah, berpakaian jubah keemasan, senyum memikat. Ia berjalan seakan dunia hanya miliknya. Pangeran itu—atau yang mengaku pangeran—membawa aura keyakinan yang memaksa orang tunduk.

Seorang bangsawan tua dengan jubah ungu, yang sebelumnya tampak menolak Al Fariz, melangkah maju dan membungkuk hormat ke sosok itu. “Yang Mulia…,” suaranya lembut, hampir memohon, “inilah pewaris sah yang telah lama dinanti rakyat.”

Seketika, bisik-bisik menjadi ramai. “Pangeran kita! Pewaris sah!”

Al Fariz menatap sosok itu dengan tenang, pandangannya tidak bergetar. Ia menilai setiap gerakan, setiap nada suara, setiap retorika yang ditaburkan seperti perhiasan untuk memikat rakyat. Dalam hati, ia menilai: Sekuat apa pun auramu, retorikamu hanyalah bayangan.

Pangeran palsu melangkah ke podium, mengeluarkan gulungan dokumen. “Rakyat Nurendah!” suaranya lantang dan jelas, menembus aula, “Aku membawa bukti sah bahwa aku adalah pewaris tahta. Surat-surat ini, tanda tangan leluhur, dan pengakuan bangsawan yang selama ini menunggu.”

Seorang pejabat muda dengan wajah licik berbisik di telinga rekannya: “Lihat? Semua tampak resmi. Bahkan beberapa bangsawan ikut mendukungnya.”

Rakyat di aula mulai bergeser, mata mereka bercampur antara kagum dan ragu. Suara tawa kecil dan bisik-bisik tidak lagi hanya di sudut, tetapi menyebar seperti api.

Al Fariz menarik napas dalam. Ia tahu ini adalah ujian lain: intrik yang lebih halus daripada hinaan menteri. Ia menahan diri untuk tidak menginterupsi, tidak membantah, membiarkan rakyat dan bangsawan menilai sendiri. Dalam hatinya, ia bergumam:

Mereka mencari bukti dari kertas, dari simbol, dari janji manis. Tapi mereka lupa, kekuatan sejati bukan di atas kertas—kekuatan sejati ada di hati yang teguh.

Pangeran palsu membuka dokumen, menunjukkan segel dan tanda tangan yang disusun rapi. “Ini adalah warisan yang tidak terbantahkan. Negeri Nurendah layak dipimpin oleh yang sah, bukan yang lemah dan terluka.”

Beberapa pejabat mengangguk, beberapa mengedipkan mata ragu-ragu, sebagian lagi mulai berbisik-bisik. Aula berubah menjadi medan ketegangan: antara kagum dan curiga, antara kesetiaan dan godaan.

Seorang bangsawan tua, yang biasanya setia pada Al Fariz, maju dan berkata dengan nada diplomatis: “Tuan Pangeran… dokumen-dokumen ini menarik. Tapi kekuatan seorang Sultan tidak hanya di atas kertas. Kepemimpinan juga diuji oleh keberanian, keadilan, dan kebijaksanaan.”

Pangeran palsu tersenyum tipis, menatap Al Fariz seolah menantang. “Ah, Sultan… atau siapa pun yang kalian anggap Sultan sekarang. Keberanian dan kebijaksanaan adalah milikku juga. Aku siap menunjukkan tindakan nyata. Tapi bukti ini… ini adalah warisan nyata. Siapa yang menolak, akan menolak sejarah.”

Rakyat mulai bergeming. Beberapa mengangguk setuju, beberapa menatap Al Fariz penuh pertanyaan. Bahkan beberapa anak muda yang sebelumnya loyal mulai terlihat ragu, bisik-bisik mereka semakin terdengar: “Apakah Sultan kita benar-benar layak?”

Al Fariz menatap sekeliling aula. Ia membaca ekspresi mereka satu per satu, mengetahui siapa yang mungkin goyah, siapa yang akan tetap setia. Ia tetap tenang, tidak tersentuh oleh aura pangeran palsu, tapi hatinya mengukur strategi.

Setiap kata yang ia ucapkan adalah pisau yang diasah untuk memecah kesetiaan rakyat. Tapi aku tidak akan tergoda. Aku akan membuktikan siapa pemimpin sejati dengan tindakan, bukan kata-kata.

Seorang menteri muda yang sinis melangkah ke depan dan berbisik kepada bangsawan: “Mungkin ini saatnya kita berpihak. Pangeran ini tampak kuat dan meyakinkan. Sultan… terlalu diam, terlalu tenang. Rakyat mulai bertanya-tanya.”

Al Fariz mendengar, tapi ia hanya menunduk sedikit, menahan napas, membiarkan orang-orang itu menilai sendiri. Dalam hatinya, ia menyiapkan langkah selanjutnya: strategi yang akan menyingkap kebenaran, bukan di atas kertas, tapi di hadapan mata rakyat.

Pangeran palsu menutup gulungan dokumen, menyilangkan tangan di dada, dan menatap seluruh aula: “Rakyat Nurendah, pilihlah dengan hati. Pilihlah yang sah, yang akan membawa kejayaan, bukan bayangan yang rapuh.”

Bisik-bisik menjadi riuh. Beberapa rakyat mulai mengedarkan pandangan ragu. Beberapa pejabat menatap Al Fariz dengan ekspresi menunggu—apakah ia akan berbicara, apakah ia akan membantah, atau akan tetap diam?

Al Fariz berdiri, tubuhnya tegap meski rasa sakit masih tersisa. Ia menatap rakyat dan bangsawan, pandangannya dalam, menenangkan sekaligus menegaskan kehadirannya. Tidak ada kata yang keluar, hanya aura tenang yang memaksa orang menahan napas.

Dalam hati, ia berbisik:

Biarkan mereka meragukan. Biarkan mereka diuji oleh retorika manis. Kekuatan yang sejati akan terlihat saat tindakan berbicara. Saat rakyat butuh bukti nyata, bukan sekadar kata-kata.

Seorang bangsawan muda melangkah maju, mencoba menenangkan keramaian: “Rakyat, dengarlah! Setiap keputusan penting. Jangan terburu-buru. Kita perlu memastikan siapa yang benar-benar layak memimpin.”

Pangeran palsu tersenyum, meraih tangan seorang pejabat tua, dan berkata: “Aku bukan hanya bukti sejarah. Aku bukti masa depan Nurendah.”

Beberapa rakyat terpesona. Mata mereka berkilat kagum. Namun beberapa anak muda mulai melirik Al Fariz, melihat ketenangan yang berbeda—ketenangan yang bukan sekadar diam, tapi berasal dari kekuatan dan tekad yang tidak terlihat.

Al Fariz tetap diam. Dalam hatinya, ia menilai setiap reaksi, membaca intrik, menyusun strategi. Ia tahu ini baru awal. Pangeran palsu hanyalah pion pertama dalam permainan yang lebih besar. Ia akan mengungkap kebenaran dengan caranya sendiri, lambat tapi pasti.

Mereka mencari bukti di luar, tapi aku akan tunjukkan bukti sejati di dalam: keberanian, kebijaksanaan, dan tindakan yang akan membuat rakyat menunduk dengan kesadaran, bukan karena takut.

Aula tetap riuh, bisik-bisik dan pandangan ragu bercampur. Beberapa rakyat mulai berpaling, sebagian masih bingung, sebagian mencoba mengingat janji dan bukti yang dibawa pangeran.

Al Fariz duduk kembali, tetap tenang, tubuhnya masih menyisakan rasa sakit, tapi aura yang terpancar membuat banyak orang menahan langkah. Bara yang tersembunyi kini mulai terlihat, cukup untuk menegaskan: Sultan sejati tetap ada, meski diam.

Pangeran palsu tersenyum puas, mengira ia mulai menang. Tapi Al Fariz tahu, setiap intrik yang ia ciptakan sendiri, setiap strategi yang diam-diam disiapkan, akan menjadi bukti yang lebih kuat daripada gulungan dokumen manapun.

Hook bab ini tercipta: rakyat mulai goyah, pejabat mulai memilih sisi, dan intrik tahta Nurendah resmi dimulai. Siapa Sultan sejati yang akan mereka ikuti? Apakah bayangan yang rapuh, atau raja yang ditempa dari luka, sumpah, dan pengkhianatan?

Al Fariz menutup mata sejenak. Dalam diamnya, ia bersiap: langkah pertama akan datang, dan saat itu, semua yang meragukan akan melihat kebenaran—bukan dari kata-kata, tapi dari keberanian dan kekuatan sejati seorang Sultan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!