Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Dia Yang Mengkhianati
Entah mengapa malam ini Armand merasa berbeda. Tiap langkah yang diambilnya untuk menapaki tangga menuju lantai dua, dimana kamarnya berada, menciptakan debaran tak mengenakan dalam dadanya.
Perasaan tak mengenakan yang Armand rasakan saat ini membuatnya berulangkali ragu untuk meneruskan langkah.
Namun, ketika keraguan mulai menyelimutinya, Armand kembali teringat akan perkataan Fandy yang terus mengusik sanubari dan meninggalkan berbagai tanya dalam hati.
"Kau mengenalku bukannya baru kemarin sore, Man. Meski mulutku selalu mengatakan kalimat yang kalian anggap nggak bermutu, tapi untuk masalah kali ini, aku nggak sedang bercanda. Coba buktikan dengan mata kepalamu sendiri, nanti kau akan tau kebenarannya."
Dari kalimat panjang yang diucapkan dengan nada serius itulah, yang mana selama ini tak pernah Armand dengar dari Fandy, maka untuk kali ini, Armand sengaja pulang tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada wanita yang selalu menyambutnya pulang dengan senyuman paling manis.
Senyuman yang mana selalu membuat Armand goyah dan melupakan segala niat untuk membuktikan mengenai kebenaran atas informasi yang diterimanya dari sahabatnya yang menganut gaya hidup bebas itu.
Debaran kencang yang sulit diredam dalam dada itu membuat Armand harus berulang kali menghembuskan napas panjang. Kemudian, setelah merasa sedikit tenang, Armand kembali melangkah perlahan agar tak menimbulkan suara hingga akhirnya berdiri tepat di depan pintu kamarnya.
Armand sudah hendak membuka pintu yang tak ditutup rapat itu. Tapi, suara-suara yang terdengar dari dalam kamar membuat gerakkan tangannya terhenti. Armand berdiri dalam diam, memejamkan mata demi menahan emosi seraya memasang telinganya baik-baik.
"Kau semakin liar saja akhir-akhir ini, Lin. Tapi aku suka mendengar eranganmu tiap kali aku memasukimu. Kau benar-benar tau gimana caranya memuaskanku." suara lelaki itu terdengar berat, akibat baru saja mengarungi lautan gairah yang tak pernah terpuaskan.
"Tentu saja." suara si wanita menimpali. Suaranya yang terengah seolah mengandung kepuasan yang tak disembunyikan. "Bukan cuma kau, Dan, tapi juga mas Armand, kalian selalu bisa aku puaskan."
Terdengar suara kekehan pria usai mendengar perkataan tersebut. "Kau menyebut nama suamimu di sini, pada saat kejan*ananku masih memenuhi dirimu dan di atas tempat tidur kalian pula. Apakah kau nggak merasa bersalah padanya karena sudah mengkhianatinya begini?"
"Salah dia sendiri kenapa nggak menghabiskan seluruh waktunya bersamaku." wanita itu terdengar mendengus kesal. "Coba kau bayangkan, dalam 1 bulan, dua cuma punya waktu dua minggu di sini. Selebihnya akan dia gunakan untuk memantau perkebunan dan juga pulang ke rumah ibunya."
"Bukankah wajar seorang anak menemui orang tuanya?"
"Memang." si wanita membenarkan. "Tapi, aku ini juga punya kebutuhan yang harus dipenuhi, Dan. Dalam waktu dua minggu yang diberikannya untukku, nggak setiap hari dia menggauliku. Aku 'kan jadi kesal. Udah lah nenek tua itu terus menghubunginya semenjak adiknya meninggal, maka fokusnya nggak lagi buatku. Kenapa sih nenek tua itu ikutan mat* aja, biar mas Armand nggak perlu lagi bolak-balik ke desa itu."
CUKUP SUDAH!
Armand sudah tidak tahan lagi mendengarnya. Dalam kemarahan yang coba dikendalikan, Armand mendorong kasar pintu yang ada di hadapannya hingga membuat kedua sosok yang berada di atas tempat tidur dengan tubuh telanjang bulat itu terperanjat dan mata mereka melotot.
Suara kekehan Armand terdengar lirih. Melihat kedua sosok itu terburu-buru melepaskan diri dan mengambil pakaian yang berserakan di lantai untuk segera dikenakan, tanpa terasa bulir-bulir air mata menuruni pipinya dengan sendirinya.
Armand bukanlah tipe pria cengeng. Seumur hidupnya, berapa kali Armand menangis bisa dihitung dengan sebelah tangan. Dan terakhir kali menangis adalah ketika melihat jenazah adik kesayangannya dikubur.
Untuk kali ini, bulir-bulir itu kembali membasahi pipinya. Tak ada suara yang terdengar. Tapi sesak yang terasa sangat menghimpit dalam dada membuat Armand kesulitan bernapas.
"Mas... ak... aku... "
Suara gagap milik wanita yang sudah dinikahinya selama bertahun-tahun itu tak membuat Armand bergeming. Sepasang matanya yang berair menatap secara bergantian kedua sosok yang memiliki arti tersendiri dalam hidupnya itu.
"Mas, dengerin aku dulu." Lina melangkah mendekat usai merapikan pakaian di tubuhnya yang mana tidak sepenuhnya bisa dibilang rapi. "Aku bisa jelasin semua. Semua ini nggak seperti yang kamu bayangkan." ucapnya lagi seraya mencoba memegang lengan sang suami.
Namun Armand segera menghindar. Ia merasa jijik bila disentuh oleh tangan yang sudah memeluk pria lain itu. "Nggak seperti yang aku bayangkan, huh?" suara terdengar kering. Tatapan yang memancarkan luka itu ia arahkan kepada pria, yang dari pancaran mata, Armand tak melihat sedikitpun rasa bersalah di sana. "Sudah bersenang-senangnya, Dan? Atau kalian masih mau melanjutkan lagi untuk saling memuaskan?"
Dani, si pria yang menjadi duri dalam rumah tangga sahabatnya sendiri itu malah menyunggingkan senyum. Tak ada rasa bersalah yang tersirat dalam sorot mata dan juga ekspresinya. "Istrimu merasa kesepian, Man, jadi jangan salahkan aku bila aku menerima ajakannya untuk naik ke atas ranjang kalian. Wanita semenggairahkan itu, sangat disayangkan kalau sampai disia-siakan."
Armand tiba-tiba tertawa. Bukan, ia bukan mentertawakan kedua sosok yang sudah begitu tega mengkhianatinya itu. Melainkan Armand mentertawakan dirinya sendiri karena dengan begitu bodohnya mempercayai mereka.
"Mas, tolong dengerin aku." Lina memelas. Ia ingin sekali memaki Dani yang dengan entengnya memojokkan dirinya. "Aku dipaksa sama sahabatmu itu, mas. Dia pernah membuatku mabuk dan akhirnya berhubungan intim dengannya, yang mana ternyata dia rekam. Rekaman itu pula yang digunakan selama ini untuk memaksaku memuaskan nafsu birahinya. Dia adalah pengkhianat yang sesung... "
"Oh... ayo lah, Lin, jangan mengada-ngada." ucap Dani menyela. Tak ingin dijadikan sebagai tersangka, ia pun melangkah hingga berdiri tepat di sisi wanita yang beberapa menit lalu terus mengerang dan menyebut namanya itu. Dagu Dani terangkat saat menatap tanpa rasa bersalah ke arah pria yang berdiri tak jauh di hadapannya itu serta tak peduli mendapat pelototan dari wanita di sampingnya. Toh mereka sudah ketahuan dan Dani tak ingin disalahkan, sekalian saja ia akan membongkar semuanya. "Istrimu ini, Man, dia itu perempuan paling binal. Asal kau tau saja, aku sudah mengenal dia jauh sebelum kau mengenalnya. Kepolosan yang selalu ditampilkannya itu hanyalah kamuflase. Sekedar memberitahu, aku adalah lelaki pertama yang memasukinya. Dan kau pastinya menyadari itu saat pertama kali menggaulinya, bukan?"
Tidak ada satupun kata yang sanggup Armand ucapkan. Lidahnya terasa keluh dan hanya bisa menatap wajah-wajah yang sudah menusukkan luka paling dalam di hatinya itu. Diamnya seakan menjadi jawaban akan pertanyaan Dani tadi.
"Kau juga harus tau ini, bahwa setelah menyerahkan keperawanannya padaku, dia semakin liar. Lelaki yang naik ke atas tempat tidurnya bukan cuma aku. Bahkan setelah kalian menikah sekali pun, dia masih mencariku. Bukan hanya aku, tetapi masih ada beberapa lelaki lainnya yang sudah naik ke atas ranjang kalian ini."
Armand tak sanggup lagi mendengar. Kalau saja bisa, ia ingin menenggelamkan dirinya ke dasar lautan saat ini juga.
Kenyataan yang menjelma menjadi mimpi buruk ini membuat Armand ingin sekali terpaku dan sulit untuk melepaskan diri. Jika bisa, Armand ingin menghilang dan tak ingin berada di sini.
*****
Tapi kini...
Mimpi buruk yang Armand kira sudah dikuburnya dalam-dalam itu kembali menjelma di depan mata, berwujud dan bahkan tersenyum tanpa rasa bersalah di hadapannya.
Malahan pria yang dulu sangat Armand percayai itu duduk begitu saja di salah satu kursi yang kosong bahkan tanpa ada yang mempersilahkannya.
"Nggak nyangka aku, Man, sumpah. Ada kali lebih dari 6 tahun kita nggak ketemu, eh malah tanpa sengaja ketemu di sini. Di tempat kita semua sering ngumpul dulu." ucap Dani ringan, tak mempedulikan tatapan tak bersahabat yang diarahkan padanya.
"Gimana kabarmu sekarang, Man?" dengan santainya Dani kembali berucap. Pria yang tak menunjukkan sedikitpun rasa bersalah itu malah terkekeh saat berkata, "Udah dapat penggantinya Lina belum, Man? Harus nyari yang lebih dari mantan istrimu itu ya, Man. Soalnya goyangan dia pas waktu ada di atas itu mantep banget."
"Pergilah dari sini, Dan. Jangan cari gara-gara. Kami semua tidak menyambut kehadiranmu di sini." Faris mengusir tanpa ingin menahan diri.
Tanggapan Dani malah terkekeh. Tahu watak Faris yang penyabar di setiap situasi membuat Dani tak perlu merasa takut akan mendapat bogem mentah dari duda 1 anak itu. "Loh, ini 'kan tempat umum, siapapun berhak datang ke sini. Lagi pula aku nggak punya niat bikin gara-gara. Tujuanku baik, ingin menyapa teman yang udah lama nggak saling bertukar sapa."
Melihat Faris dan Armand tak mau membalas perkataannya, Dani makin berani mengucapkan, "Kejadian dulu itu, kalian nggak boleh nyalahin aku sepenuhnya. Salahin aja Armand yang kurang memberikan waktu buat istrinya. Kalau 'hentakannya' begitu kuat, nggak mungkin istrinya nyari laki-laki lain buat nyari kepuasan. Salahkan juga si Lina, jadi perempuan kok terlalu binal. Perempuan satu itu terlalu besar nafsunya, makanya nggak bisa terpuaskan hanya dengan sekali mengauli saja."
Sungguh, Armand tak ingin bersuara. Ia bahkan tak ingin bergerak dan tetap bertahan di tempat duduk bagaikan patung. Kalau sedikit saja bergerak ataupun bersuara, Armand takut dirinya akan meledak karena emosi.
"Makanya, Man, jadi laki tuh harus lebih perkasa. Jangan cuma pintar nyari duit aja. Liat tuh si Lina, dia nggak hanya ingin dipuaskan secara materi tapi juga di atas tempat tidur kalian. Perempuan seperti dia, seenggaknya harus digauli berulangkali dalam semal... "
"Eh ada si anj*ng nggak tau terima kasih."
Tiga pria yang diselimuti aura kelam tersebut sontak menoleh ke arah asal suara. Jika Armand dan Faris menyunggingkan senyum tipis di sudut bibir mereka, maka Dani berdecak kesal akan kedatangan seseorang yang tak ingin ia temui sampai kapanpun juga.
Siapa yang tidak mengenal kebiasaan seorang Fandy Aditya yang suka mengucapkan kata-kata tanpa disaring itu.
"Bukan kau yang aku ajak ngomong, Fan, jadi jangan ikut campur." Dani merasa moodnya yang semula senang dengan cepat berubah menjadi kesal.
"Oh itu nggak mungkin." Fandy melangkah dengan diikuti Daffa di belakangnya hingga mereka berdiri di sisi kanan dan kiri Armand. "Apapun urusan Armand akan otomatis menjadi urusanku bila dalam situasi begini. Khususnya menghadapi anj*ng yang sudah diberi makan, dibiayai pendidikannya dan diberi modal buat usaha tapi nggak tau terima kasih. Bukannya menyenangkan orang yang sudah merawatnya, si anj*ng itu malah menggigit balik tuanya. Sungguh terlalu ya, Daf?"
Daffa mengangguk. "Betul sekali, kawanku. Kali ini aku dukung 100% mulut embermu itu."
Bibir pria yang sudah memasuki usia 40 tahun itu mencebik karena mendengar kata-kata terakhir dari sahabatnya yang merupakan sohibnya sejak masih SD itu. Tetapi, sekarang bukan saatnya untuk merasa kesal kepada teman sendiri. Soalnya ada musuh yang mesti dibasmi hingga tuntas.
"Lama nggak ketemu mulutmu makin busuk aja ya, Fan."
"Biarpun mulutku busuk, tapi aku nggak pernah makan istri teman sendiri." balas Fandy telak. Setelah melirik sebentar ke arah Armand yang rupanya sedang memejamkan mata, Fandy menyadari jika sahabatnya itu sedang menahan emosi, maka ia akan membantu Armand untuk melampiaskan emosinya dengan cara yang lebih elegan. Elegan menurutnya ya harus dikata-katai sampai mantan sahabat mereka itu kapok.
"Nggak usah ikut campur, Fan." Dani memperingatkan.
"Ohh... nggak mungkin kalau aku nggak ikut campur." cepat Fandy membalas. "Untuk menghadapi orang yang nggak tau berterima kasih kayak kau ini dan hanya gunain kata-katamu buat menyakiti orang lain, maka lawanmu adalah aku." imbuhnya seraya tersenyum.
Sedangkan Armand, Faris dan Daffa tak berniat ikut campur. Bukannya apa, untuk mengusir hama mengganggu itu, kekuatan otot tidaklah diperlukan dan hanya membutuhkan mulut ember sahabat mereka itu.
"Gimana rasanya, Dan, makan duit dari teman yang sudah kau khianati? Dengar-dengar, usaha peternakan ikanmu sudah hampir gulung tikar." jika ingin membasmi hama, maka Fandy tidak akan menahan-nahan dirinya. "Yakin deh, begitu usahamu itu bangkrut, kau pasti akan menggunakan 'burungmu' itu untuk menghidupi dirimu sendiri. Siapa yang bakalan menjadi targetmu nanti ya, Dan? Perempuan yang haus belain atau nenek-nenek kaya yang matanya sudah rabun, jadi nggak bisa ngeliat betapa jeleknya mukamu itu?"
Dani menggeretakkan giginya. Meski geram dengan perkataan Daffa yang memang ditujukan untuk merendahkan harga dirinya, Dani tetap tak bisa melakukan apa-apa.
Kekesalan serta kemarahan yang tak bisa disalurkan itu pada akhirnya membuat Dani berdiri dari tempat duduknya dan segera melangkah pergi dari sana dengan kekehan mengejek Fandy yang mengiringi setiap langkahnya.