NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

POV Reyhan

Pintu ruanganku membanting keras. Tapi bukan itu yang membekas di kepala.

Melainkan tatapan Nayla sebelum ia pergi, dingin, tak bergeming.

Bukan Nayla yang dulu.

Kupijit pelipis, mencoba meredam amarah yang tiba-tiba saja terasa konyol.

Kenapa dia berubah?

Dan kenapa aku peduli?

Dia istriku.

Tapi bukan istri karena cinta. Dia menikah denganku karena aku memaksanya. Karena aku ingin melihat dia menderita.

Karena Papanya yang merenggut nyawa papaku.

Dan selama ini, dia menjalani semuanya seperti boneka.

Diam. Pasrah.

Menangis tanpa suara.

Tapi sekarang, Nayla tidak lagi seperti itu.

Dia berbicara lantang. Dia menatapku lurus tanpa air mata.

Dan yang paling menyebalkan... dia berjalan pergi tanpa menoleh.

Tanganku mengepal di sisi meja.

“Apa maksudnya semua ini, Nayla?” gumamku lirih, hampir seperti orang bodoh.

Aku yang meminta dia jadi sekretarisku.

Supaya aku bisa mengontrol setiap langkahnya. Supaya dia selalu ada di bawah pengawasanku.

Supaya dia tidak bisa bebas, karena aku ingin dia merasa seperti tawanan yang terpenjara.

Tapi kenapa sekarang justru aku yang merasa dikurung oleh sikapnya sendiri?

Dia tidak lagi takut padaku.

Dan yang lebih parah… aku mulai kehilangan kendali atas diriku sendiri.

Suara ketukan pintu memecah lamunanku. Aku menoleh sejenak sebelum berseru, “Masuk!”

Pintu terbuka perlahan dan Edo muncul, wajahnya terlihat ragu-ragu tapi juga antusias.

“Ada yang ingin saya laporkan, Tuan,” katanya sambil mendekat.

Aku mengangkat alis, mencoba tetap tenang. “Apa? Katakan.”

“Saat Bu Nayla datang tadi… sempat terjadi sedikit keributan di lobi,” ucapnya hati-hati.

Dahiku langsung berkerut. “Keributan?”

“Iya, Tuan. Dengan Vita.”

Aku menghela napas berat lalu menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi, menatap langit-langit sejenak.

“Tentu saja,” gumamku sinis. “Nayla ditindas lagi, kan? Aku sudah menduga. Dia memang terlalu lemah untuk menghadapi orang seperti Vita.”

Edo langsung menggeleng. “Bukan begitu, Tuan.”

Aku menurunkan pandanganku, menatapnya dengan sorot bingung.

“Saya penasaran, jadi saya cek rekaman CCTV,” lanjut Edo. “Ternyata… bukan Bu Nayla yang ditindas.”

Aku menyipitkan mata. “Maksudmu?”

“Bu Nayla yang melawan, Tuan. Dia, dia bahkan menampar Vita. Berkali-kali.”

Aku membeku.

Edo melanjutkan, suaranya bahkan sedikit takjub, “Saya tidak menyangka, Tuan. Jujur saja, saya sempat berpikir istri Tuan itu tipe yang penurut dan pendiam. Tapi tadi... dia berbeda sekali. Tegas, berani, dan… terlihat kuat.”

Tanganku mengepal tanpa sadar.

“Nayla... menampar Vita?” tanyaku nyaris tak percaya.

“Iya, Tuan. Dan Vita tidak bisa membalas apa-apa,” Edo menjawab, sambil berusaha menahan senyum geli.

Aku mengalihkan pandangan ke jendela besar di belakang meja. Mataku kosong menatap ke luar.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Bagaimana mungkin Nayla bisa berubah hanya dalam semalam?

Perempuan itu...

Perempuan yang dulu bahkan tak berani menatap mataku saat bicara...

Kini melawan, menampar orang lain di kantor ini tanpa ragu.

Apa dia sudah tidak takut lagi padaku?

Ponselku bergetar di atas meja, menampilkan nama yang selalu membuat udara terasa lebih berat.

Mama.

Aku menghela napas panjang sebelum mengangkatnya. “Ya, Ma?”

“Nanti malam makan di rumah utama,” ujar Mama tanpa basa-basi, suaranya dingin seperti biasa.

“Jangan telat.”

Klik.

Telepon terputus begitu saja. Tanpa salam. Tanpa pertanyaan kabar. Tanpa sedikit pun kehangatan.

Aku menyandarkan tubuh ke kursi, menatap layar ponsel yang sudah kembali gelap.

Ara.

Pasti dia yang mengadu. Tak ada orang lain yang bisa membuat Mama tiba-tiba mengatur makan malam secepat ini.

Aku bahkan bisa membayangkan Ara merengek penuh drama di hadapan Mama, menyebut-nyebut bagaimana Nayla membuatnya malu. Dan Mama? Dia tidak akan pernah berpihak pada Nayla. Tidak akan pernah.

Keluargaku... tidak pernah menerima Nayla.

Mereka membencinya. Karena masa lalunya. Karena keluarganya yang sudah membuat Papa pergi.

Aku menunduk sejenak.

Apa Nayla masih bisa bertahan?

Apa dia akan tetap menatap lurus tanpa air mata, seperti tadi?

Atau akhirnya dia akan runtuh, seperti dulu?

Senyum sinis mengembang di wajahku. Entah kenapa, kali ini aku ingin tahu...

Sampai di mana batas kekuatan baru yang dia banggakan itu.

Tanganku mengambil ponsel, dan kuketik pesan singkat.

'Bersiap. Nanti malam makan di rumah utama. Jangan terlambat.'

Beberapa detik kemudian, pesan terkirim.

Aku melempar ponsel ke meja dan menyandarkan kepala.

Angin dari AC di ruangan ini seolah tidak cukup dingin untuk mendinginkan isi kepalaku.

Kau melawan semua orang, Nayla. Bahkan aku.

Tapi mampukah kau melawan Mama? Melawan keluargaku yang sejak awal menganggapmu sebagai kutukan?

Kuharap... kau tidak menyerah.

Atau mungkin… bagian dalam diriku ini justru berharap kau tetap berdiri tegak. Entah untuk apa.

Sial.

Kenapa aku malah memikirkannya?

***

Ponsel di tanganku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Reyhan.

'Bersiap. Nanti malam makan di rumah utama. Jangan terlambat.'

Tatapanku mengeras. Jari-jariku mengepal di sisi ponsel, dan bibirku tertarik ke samping, nyaris seperti senyum yang tertahan.

Akhirnya.

Aku tahu waktuku akan datang. Dan malam ini, bisa jadi awalnya.

Rumah utama.

Rumah tempat semua kebencian tertanam begitu dalam.

Tempat di mana aku dianggap tidak layak. Tempat mereka membentuk Reyhan jadi seseorang yang membenciku tanpa ampun.

Tapi kali ini aku tidak akan datang sebagai boneka mereka.

Aku menarik napas panjang.

Aku mencurigai sesuatu. Tentang kematian ayahnya. Tentang bagaimana semuanya terasa janggal dan terlalu kebetulan.

Papaku memang disalahkan.

Tapi ada lubang besar dalam semua cerita itu. Dan Mama Reyhan...

Dia terlalu tenang untuk seseorang yang kehilangan suami.

Terlalu cepat bangkit. Terlalu siap dengan semua dokumen dan peralihan kekuasaan.

Aku menatap pesan itu sekali lagi, lalu menghapusnya.

Aku tidak punya bukti kuat.

Tapi aku tahu, malam ini aku akan lebih dekat.

Karena di rumah utama... ada ruangan kerja ayah Reyhan yang selalu dikunci.

Dan aku sudah tahu di mana Reyhan menyimpan kuncinya.

Sudah waktunya.

Sudah waktunya aku masuk ke sarang mereka. Aku harus membersihkan nama Papa sebelum aku meninggalkan dunia ini.

Aku menatap sekitar taman cukup lama. Merasakan diriku… yang sebenarnya sudah tak sama.

Aku bukan lagi Nayla yang dulu.

Yang selalu tunduk. Yang selalu diam. Yang selalu takut pada sorot mata Reyhan dan keluarganya.

Kini aku tidak ingin sekadar bertahan.

Aku ingin membalas, dalam diam.

Aku ingin mereka tahu bahwa mereka tidak bisa seenaknya lagi menginjak harga diriku.

Aku menarik napas, lalu menunduk menatap ponsel yang sudah kembali ke layar utama.

Jari-jariku gemetar kecil saat kugeser layar, mencari aplikasi pemesanan taksi.

Taksi menuju pusat perbelanjaan akan datang lima menit lagi.

Aku melirik dompet kecil yang berisi beberapa kartu dan uang tabunganku—hasil kerjaku selama ini.

Uang itu bukan untuk masa depan. Karena masa depan sudah tidak lama lagi.

Uang itu untuk diriku sendiri.

Untuk menyenangkan sisa hidupku.

Untuk sekali saja… aku ingin merasa layak.

---

Mall sore itu tidak terlalu ramai. Aku melangkah perlahan menyusuri butik demi butik.

Setiap pakaian indah yang tergantung membuatku berhenti sejenak.

Dulu, aku selalu ragu membeli pakaian mahal.

Tapi sekarang…

Aku mencobanya satu per satu.

Dress beludru marun dengan potongan panjang. Blazer satin dengan renda yang membuatku terlihat berwibawa.

Semua kubeli. Tanpa ragu. Tanpa alasan.

Bukan untuk menyenangkan Reyhan. Tapi untuk diriku sendiri.

Saat keluar dari butik ketiga, aku memutuskan untuk duduk sejenak di area café terbuka. Sinar matahari sore menembus kaca tinggi, memberi hangat yang anehnya membuat dadaku terasa kosong.

Aku menunduk menatap tas belanja di samping kursi.

“Aku terlihat cukup kuat sekarang, bukan?” gumamku pelan pada diri sendiri.

Saat itulah aku mendengar suara itu.

“Nayla?”

Aku menoleh cepat.

Pria itu…

Wajah itu…

“A-Arlan?” ucapku nyaris tak percaya.

Dia masih seperti dulu, tapi kini jauh lebih matang. Dasi longgar di leher, jas semi formal dengan lengan tergulung. Rambutnya sedikit acak, tapi senyumnya… masih sama. Hangat.

Arlan melangkah mendekat dengan mata membulat senang.

“Aku tidak menyangka bertemu kamu di sini. Astaga… Nayla, kamu masih sama cantikkk seperti dulu.”

Aku tersenyum kecil, merasa kikuk. “Kamu juga. Aku dengar kamu ke luar negeri?”

“Iya, mengurus cabang di Swiss. Baru balik seminggu ini. Aku juga mau ke kantor Reyhan, nanti.” Dia lalu duduk di seberangku tanpa diminta. “Kamu apa kabar?”

Pertanyaan yang sederhana. Tapi rasanya berat sekali untuk dijawab.

Aku menarik napas, mencoba menyembunyikan getir yang mulai naik ke tenggorokan.

“Aku… baik,” jawabku akhirnya.

Arlan menatapku lekat-lekat. Sorot matanya lembut, tapi tajam. Seolah dia tahu bahwa aku sedang menyembunyikan terlalu banyak hal.

“Masih sama seperti dulu ya,” gumamnya pelan. “Jawabanmu, maksudku. Selalu berusaha kelihatan baik.”

Aku menunduk.

“Dulu… kamu juga jawab begitu waktu dibully sama Reyhan dan teman-temannya. Tapi aku tahu kamu tidak baik-baik saja.”

Aku menoleh perlahan menatapnya.

“Kamu selalu muncul tiba-tiba waktu itu,” kataku pelan. “Seolah tahu kapan aku butuh ditolong.”

Arlan tersenyum kecil. “Itu karena aku peduli. Sampai sekarang pun… masih.”

“Kalau kamu butuh tempat untuk bicara…”

Arlan mengeluarkan kartu namanya, meletakkannya di depanku.

“Jangan ragu hubungi aku. Aku serius, Nayla.”

Aku menatap kartu itu lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan.

Sebelum beranjak, Arlan sempat berbisik pelan, “Apa kamu bahagia di pernikahanmu sekarang?”

Aku tersenyum tipis, pahit.

"Bahagia itu… relatif, Arlan."

"Kalau begitu sampai bertemu lagi, Nay." Arlan mulai berdiri dan melambaikan tangannya.

Aku mengangguk tersenyum.

Arlan memang berbeda dari Reyhan. Dia sepupu Reyhan, tapi sifatnya berbanding terbalik dengan Reyhan.

Aku menghela nafas panjang. Seandainya saja Papa Reyhan masih hidup, apakah Reyhan akan masih menyukaiku seperti dulu?

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!