Cinta Di Rak Diskon

Suasana Toko Kita Jaya pagi itu lebih ramai dari biasanya. Rak-rak digempur pelanggan karena diskon akhir bulan. Raka sibuk menata ulang berbagai produk yang berantakan sebab serangan dari ibu-ibu pemburu diskonan, sementara suara khas terdengar di gudang dari ara lorong belakang.

"Mas Rakaaa~! Nih ya, aku nemu satu dus mie kadaluarsa di gudang. Aku kira mie ini udah dijual semua!" seru Intan sambil menenteng kardus penyok berisi belasan bungkus mie instan dengan tanggal kedaluwarsa dua sejak dua minggu lalu.

Raka menoleh dan tertawa. "Waduh, itu pasti stok yang lupa di sortir. Pisahin aja langusng, Bisa-bisa bikin perut demo kalau dimakan."

"Tapi, Mas, aromanya masih wangi, lho. Mau coba bareng nggak? Kita kan sekos, se-perut, sekadaluarsa!" jawab Intan sambil cengar-cengir seolah perut kecilnya sudah kebal dengan makanan yang kadaluarsa.

Raka mengangkat satu bungkus dan membaca tanggalnya. "Intan, ini bukan sekadar kadaluarsa. Ini udah jadi fosil."

Intan mendengus. "Tapi mie instan itu makanan abadi, Mas. Ada bumbu dan kenangan yang tak lekang oleh waktu." jawab Intan sambil tersenyum lebar

Raka mendongak. "Kamu ngomong kayak penyair yang lagi kelaparan."

Intan tiba-tiba diam. Pandangannya kosong menatap mie itu. Pelan-pelan, senyumnya luntur.

"Mas... mie kayak gini selalu ngingetin aku sama masa kecil."

Raka langsung menyadari ada yang berubah dalam ekspresi Intan. Dia menurunkan kardus dan duduk di sebelahnya.

"Mau cerita?" tanya Raka

Intan mengangguk pelan. "Dulu aku tinggal sama nenek. Ibuku pergi waktu aku masih kecil. teruskan usaha bapak aku tuh rungkad. Sehari-hari kami makan mie instan. Kadang dalam bungkus mie udah ada koloni semut. Nenek selalu bilang, 'Kalau kamu bisa nikmatin mie ini, kamu bisa nikmatin hidupmu kelak apapun rasanya.'" jawab Intan dengan raut wajah yang imut

Raka terdiam. Intan melanjutkan, suaranya bergetar namun tegar.

"Pernah suatu malam, kita nggak punya apa-apa. Nenek cuma nemu satu bungkus mie expired di pojok lemari. Kita masak berdua. Makan setengah-setengah. Nenek bilang, itu mie paling enak yang pernah dia makan. Besoknya...nenek aku nggak bangun lagi."

Hening. Hanya suara kulkas di sudut ruangan yang berbunyi pelan.

Raka tak berkata apa-apa. Ia hanya meraih mie itu dari tangan Intan, berdiri, lalu berkata, "Tunggu aku di pantry. Aku yang masak. Tapi kali ini mie-nya nggak kadaluarsa." pinta Raka

"Mas...Apa mungkin Nenek aku Logout dari bumi karena keseringan makan mie kadaluarsa ya?" tanya intan ke Raka dengan polosnya

Raka kaget dengan pertanyaan Intan, dia merasa itu lucu mau ketawa tapi merasa tidak enak pada intan.

...*****...

Lalu pantry kecil toko itu mendadak terasa hangat. Raka dengan serius memasak dua mangkuk mie, menambahkan telur dan sedikit sayur dari dapur belakang yang biasanya dipakai Bos, pemilik toko.

Intan duduk di kursi plastik, mengamati diam-diam. Ada sesuatu yang menenangkan melihat Raka berkutat dengan panci dan bumbu.

"Mas Raka, kamu jago masak juga ternyata. Cowok idaman dong," ujarnya mencoba mencairkan suasana.

"Kalau cuma masak memasak mie, gampang. Aku udah belajar tutorialnya di youtube. Di channel Chef Junet." jawab Raka sambil tertawa kecil.

Mangkuk pertama disodorkan ke Intan. "Silakan, Mbak Intan. Pecinta mie kadaluarsa."

Intan mencicipi sesendok. Matanya langsung membelalak. "Ya ampun... ini mie... rasanya enak banget... kayak berada dalam pelukan!"

"Pelukan?"

"Iya, pelukan yang... hangat, nyaman, dan bikin hati tenang."

Mereka tertawa. Tapi ada ruang kecil di hati mereka yang hari itu seperti benih cinta yang terkena pupuk kompos.

Sambil menyeruput mie, Intan melirik Raka. "Mas, kenapa sih kamu kerja di sini? Aku tahu kamu pintar, Ganteng, kamu bisa kerja di tempat yang lebih baik. Bahkan bisa jadi model sabun."

Raka tersenyum samar. "Apaan model sabun. Intan, Kadang orang datang ke tempat sederhana buat nemuin yang paling berharga."

Intan mengangguk, tak bertanya lebih lanjut. Tapi hatinya menyimpan rasa penasaran yang semakin hari semakin tumbuh.

Setelah mie habis, mereka kembali bekerja. Tapi kejadian siang itu membekas. Apalagi ketika Intan menemukan secarik kertas di bawah kardus mie kadaluarsa.

Tulisan tangan Raka yang rapi dan tegas.

"Untuk Intan

Makasih udah cerita. Kalau suatu saat kamu ngerasa sendiri lagi, ingat, ada seseorang yang rela masak mie kadaluarsa buat kamu.

Raka."

Intan menahan senyum sambil menyelipkan kertas itu ke dompetnya. Di balik wajah cerianya, dia tahu, hatinya pelan-pelan mengagumi seseorang.

Sore menjelang malam. Toko mulai sepi. Saat mereka beres-beres, Raka menggoda, "Besok mau makan apa? Aku bisa masakin mie goreng pakae telur bebek di ceplok, di buat telur mata sapi, atau di buat matanya ngedip juga bisa. Tapi harus kamu yang motongin cabenya."

"Emang ada telur di goreng buat mata ngedip gitu yah Mas?" tanya Intan

"Ada! Aku penemu telur mata ngedip." Jawab Raka sambil tersenyum

Intan terkikik. "Siap, Chef! Tapi hati-hati ya, jangan sampai telurnya ngedip genit ke aku. Bukannya makan mala aku kedipin balik."

Raka dan Intanpun tertawa lepas karena membahas telur ngedip.

Hari itu ditutup dengan senyum. Dan meski mie yang dimakan tadi bukan produk terbaru, tapi kisah mereka hari itu terasa paling segar.

Di kamar kos malamnya, Intan menatap langit-langit sambil memegang kertas kecil dari Raka. Di kepalanya, bayangan mie kadaluarsa, suara tawa, dan aroma kaldu hangat masih tersisa.

"Mungkin, hidupku emang kayak mie kadaluarsa," gumamnya. "Tapi ternyata, ada orang yang tetap mau masakin."

Bersambung.