NovelToon NovelToon
If I Life Again

If I Life Again

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / CEO / Time Travel / Fantasi Wanita
Popularitas:824
Nilai: 5
Nama Author: Ws. Glo

Apakah kamu pernah mengalami hal terburuk hingga membuatmu ingin sekali memutar-balik waktu? Jika kamu diberikan kesempatan kedua untuk hidup kembali di masa lalu setelah sempat di sapa oleh maut, apa yang akan kamu lakukan terlebih dahulu?

Wislay Antika sangat mengidolakan Gustro anggota boy band terkenal di negaranya, bernama BLUE. Moment dimana ia akhirnya bisa datang ke konser idolanya tersebut setelah mati-matian menabung, ternyata menjadi hari yang paling membuatnya hancur.

Wislay mendapat kabar bahwa ibunya yang berada di kampung halaman, tiba-tiba meninggal dunia. Sementara di hari yang sama, konser BLUE mendadak dibatalkan karena Gustro mengalami kecelakaan tragis di perjalanan saat menuju tempat konser dilaksanakan, hingga ia pun meregang nyawanya!

Wislay yang dihantam bertubi-tubi oleh kabar mencengangkan itu pun, memilih untuk mengakhiri hidup dengan melompat dari gedung. Namun yang terjadi justru diluar dugaannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ws. Glo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

IILA 07

Sinar matahari menyelinap lembut di antara tirai jendela kamar kost Wislay. Ia tengah bersiap untuk berangkat kerja, mengenakan seragam toko buku dan membenahi tas kecilnya yang berisi dompet, ponsel, botol minum dan buku catatan kecil yang selalu ia bawa.

Wajahnya masih tampak sedikit sembab karena semalam menangis saat menelepon sang ibu. Tapi semangatnya tetap menggebu. Ia menatap cermin dan membisikkan mantra kecil seperti biasa, “Aku hidup kembali untuk memperbaiki segalanya.”

Saat keluar dari kamar, udara pagi yang sedikit lembap menyambutnya. Suara langkah sepatu flat-nya menyusuri lantai kost yang masih sepi. Tapi begitu ia sampai di ujung koridor dekat tangga, tubuhnya mendadak membeku.

Pemuda misterius itu.

Ia berdiri menyandar santai di ambang pintu kamarnya. Kali ini parasnya kentara jelas. Namun, tatapan matanya tajam menembus udara pagi yang syahdu. Napas Wislay tercekat. Ia hendak berlalu tanpa menyapa, tapi suara berat nan tenang dari pemuda itu menghentikan langkahnya.

“Bagaimana rasanya diberi kesempatan kedua?”

Deg.

Kepala Wislay melongok secara refleks. Matanya membelalak. Jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Kata-kata itu... bukan sembarang kalimat.

“Apa maksudmu?” tanyanya dengan nada sedikit bergetar, alis mengernyit.

Pemuda itu tidak menjawab. Hanya tersenyum tipis, seolah puas melihat kegusaran di wajah Wislay. Sorot matanya dingin namun menyiratkan bahwa ia tahu lebih banyak dari yang seharusnya. Seakan... ia melihat langsung isi hati Wislay.

Wislay melangkah mundur setengah langkah, gugup, dadanya semakin sesak.

“Aku tidak mengerti kau ngomong apa. Dasar orang aneh,” gumamnya tergesa-gesa. Ia langsung melangkah menuruni tangga tanpa menoleh lagi, meski tubuhnya gemetar.

Setibanya di bawah, ia mencoba menarik napas panjang. Tapi isi kepalanya sudah berantakan.

"Apa maksud orang itu?"

"Apa dia tahu tentang kehidupan keduaku? Tapi... bagaimana bisa?"

"Apa dia juga—"

Ia buru-buru menghentikan pikirannya. Tak ingin membiarkan ketakutan merusak pagi yang seharusnya ia isi dengan kerja keras. Namun, ada sesuatu yang kini mulai menumbuhkan rasa tak nyaman dalam benaknya.

Seolah... takdir mulai membuka rahasia lain yang selama ini tersembunyi.

Hari itu, toko buku tampak lebih ramai dari biasanya. Tapi di tengah riuh pembeli yang datang dan pergi, Wislay terlihat seperti bayangan dari dirinya sendiri. Tatapannya kosong, gerakannya melambat, dan senyum cerianya yang biasa hadir kini menghilang entah ke mana.

Pikirannya masih terus berputar, memikirkan ucapan pemuda misterius di kostnya.

“Bagaimana rasanya diberi kesempatan kedua?”

Ucapan itu terus terngiang, menyelinap di antara suara pelanggan dan denting bel pintu toko. Ia sempat menjatuhkan buku dua kali, salah menghitung kembalian, bahkan salah menyusun rak genre.

"Wislay, kamu nggak apa-apa?" tanya atasannya, sebut saja Pak Andra, sambil menatap prihatin.

"Ah, maaf Pak. Saya kurang tidur tadi malam," jawabnya pelan sambil memaksakan senyum.

Begitu jam kerja selesai, Wislay langsung pulang ke kost. Sesampainya di sana, ia tak langsung masuk ke kamarnya, melainkan mengetuk kamar Rani.

"Ran, kamu tahu nggak siapa sih cowok yang tinggal di kamar pojok itu?" tanya Wislay tanpa basa-basi.

Rani, yang tengah maskeran, membuka pintu sedikit dan menjawab, "Nggak tahu juga sih. Tapi daripada kita nebak-nebak, mendingan kita tanya langsung ke ibu kost, yuk."

Mereka pun mengajak dua penghuni kost lainnya dan langsung menuju ke rumah utama tempat ibu kost tinggal. Sesampainya di sana, mereka disambut hangat oleh ibu kost yang sudah tua tapi ramah.

"Ohh... maksud kalian si Alan? Dia itu sepupu ibu. Anak dari adik ibu di luar kota. Lagi ada urusan seminggu di kota, jadi numpang di kamar kosong. Nggak usah khawatir, anaknya baik kok. Nggak bakal ganggu kalian," jelas ibu kost sambil tersenyum.

Mendengar itu, para penghuni kost langsung lega. Beberapa bahkan saling bertukar pandang sambil tertawa kecil.

"Yah, lumayan sih nambah pemandangan ganteng di sini," celetuk salah satu dari mereka disambut tawa yang lain.

Namun tidak dengan Wislay. Walau hatinya sedikit lega, tapi rasa penasaran dan kecurigaannya terhadap Alan belum sepenuhnya sirna.

...****************...

...****************...

Hari Selasa pun tiba. Hari libur Wislay. Biasanya ia akan menghabiskan waktu dengan tidur seharian, tapi pagi itu ia malah gelisah dan enggan berlama-lama di tempat tidur.

"Aku pengen jalan-jalan aja deh hari ini," gumamnya sambil meregangkan tubuh.

Sayangnya, teman-teman dekatnya di kehidupan lalu belum ia temui di masa sekarang, dan Rani sedang bekerja. Jadi dia memutuskan untuk keluar sendirian.

"Oke, sudah selesai. Saatnya berangkat!"

Setelah berdandan seadanya, Wislay memutuskan untuk naik kereta menuju taman kota yang dulu pernah ia datangi di kehidupan sebelumnya. Sebuah taman luas dengan danau kecil dan banyak bangku di bawah pepohonan rindang. Tempat yang cocok buat menenangkan pikiran.

Begitu sampai, ia duduk di bangku kayu yang menghadap ke danau. Angin semilir menerpa wajahnya. Hatinya mulai merasa lebih damai.

"Haaaa, ternyata jalan-jalan sendirian tidak buruk juga," serunya menggoyang-goyangkan kaki.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.

Alunan suara berat dan lembut memanggil dari arah samping, "Lagi-lagi kamu."

Wislay menoleh cepat. Matanya membelalak.

Alan.

Pemuda misterius itu berdiri beberapa meter darinya, mengenakan stelan rapi dengan perpaduan kemeja berwarna biru dongker dan celana jeans putih. Senyumnya santai, tapi matanya tetap penuh teka-teki.

"Kau... ngapain di sini?" tanya Wislay gugup.

Alan hanya mengangkat bahu, lalu duduk di bangku yang sama, menjaga jarak namun cukup dekat.

"Kau bilang aku aneh kemarin. Tapi lihat sekarang... kita bertemu lagi tanpa direncanakan. Apa ini yang kebetulan? Atau jangan-jangan, kita adalah jodoh yang ditakdirkan Tuhan?" ucap Alan, suaranya tenang tapi mengusik.

"Kau pasti seorang penguntit."

"Aku? Penguntit? Hahaha, tidak masuk akal. Aku cuman kebetulan datang kemari. Aku bosan, dan siapa sangka kita malah bertemu di tempat yang sama," jelas Alan, mendekatkan wajah.

Wislay terdiam dan seketika membuang muka. Hatinya mulai tak karuan. Perasaannya berkata ini bukan kebetulan. Ditambah, bagaimana mungkin seseorang bisa tahu tentang rahasia yang hanya diketahui oleh Tuhan dan dirinya sendiri?

Wislay dilanda gundah-gulana.

"Ngomong-ngomong... kau pasti mau tahu siapa aku sebenarnya, kan?" tanya Alan pelan, berbisik ke telinga Wislay.

Wislay menoleh cepat, tatapannya penuh kewaspadaan. Kedua muka serta tatapan mereka bertemu. Hampir saling bersentuh.

"Aku... Aku nggak tahu apa yang kau maksud. Tapi kalau kau tahu sesuatu tentang aku, tolong... jangan mencampuri urusanku dan mempermainkan aku," ucap Wislay dengan suara rendah namun tegas.

Alan tersenyum samar. "Aku tidak main-main. Hanya ingin memastikan... kau benar-benar orang yang pantas mendapatkan kesempatan kedua atau tidak."

Gustro lalu bangkit dan berjalan pergi begitu saja, meninggalkan Wislay yang membeku di tempat duduknya dengan penuh banyak pertanyaan di pikiran.

Jantung Wislay berdetak kencang.

Kebingungan. Ketakutan. Penasaran. Semua bercampur jadi satu.

Siapa sebenarnya pemuda itu? Dan... bagaimana ia bisa tahu? Apakah dia malaikat pencabut nyawa? Ataukah dewa?

-

Sementara di tempat lain, jauh dari kebisingan taman tempat Wislay dan Alan bertemu, suasana kontras menyelimuti sebuah bangunan tua yang tak terurus. Gudang tua di pinggiran kota, dengan dinding berkarat dan jendela-jendela pecah, menjadi saksi bisu dari kekacauan berdarah yang baru saja terjadi.

Cahaya lampu redup menerpa lantai beton yang kini bersimbah darah. Tubuh-tubuh tak berdaya tergeletak di berbagai sudut—beberapa masih mengerang pelan, sebagian lain tak bergerak sama sekali. Di tengah pemandangan mengerikan itu, berdiri seorang pemuda bertelanjang dada, tubuhnya berlumuran darah namun tegak berdiri seperti raja medan perang.

Gustro.

Nafasnya memburu. Matanya tajam menatap kosong ke depan. Di tangan kanannya, sebilah belati masih meneteskan darah segar.

Otot-otot tubuhnya menegang, menonjol di bawah kulit putih bersihnya yang kini penuh noda luka dan cipratan darah. Bahunya lebar, dada bidang, dan perutnya membentuk otot "roti sobek" yang sempurna. Sosok sempurna yang tampak seperti patung seni klasik Yunani—jika tak tertutup oleh brutalnya kekerasan yang baru saja ia lakukan.

Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar mendekat. Beberapa pria kekar berpakaian serba hitam masuk dengan cepat dan teratur. Mereka tidak panik. Tidak terkejut. Mereka sudah terbiasa dengan pemandangan ini.

Salah satu dari mereka membawa handuk putih dan segera membersihkan noda darah dari tubuh Gustro.

"Kerja bagus, tuan muda," ucap pria itu sambil merapikan handuk di bahu Gustro.

Gustro tidak menjawab. Ia hanya menatap lantai, seperti sedang berpikir keras.

Tiba-tiba, suara tepuk tangan bergema di gudang yang kosong. Langkah kaki berat menyusul, disertai suara sepatu kulit menghentak lantai.

Seorang pria berusia sekitar 50-an tahun, berjas mahal dengan dasi hitam dan wajah maskulin yang tegas, masuk ke dalam ruangan.

Edward Velgrant.

Ayah kandung Gustro. Pemilik perusahaan tambang terbesar ke sepuluh di dunia sekaligus pemimpin organisasi kriminal paling berkuasa di kota itu: Black Heart.

Edward tersenyum puas, matanya menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya tertuju pada putranya.

"Aku bangga padamu, Nak. Kau benar-benar darah dagingku," ucap Edward dengan suara berat, penuh kekuasaan.

Gustro bertoleh pelan, lalu meletakkan belati di atas meja besi.

"Jangan pikir ini membuatku lebih dekat dengan dunia gelapmu, Ayah."

Edward tertawa pelan. "Kau selalu bilang begitu, tapi tiap kali kau terjun ke lapangan... hasilnya luar biasa. Lihat mereka. Semua tumbang seperti lalat. Tanpa ampun. Hanya dengan tanganmu."

Gustro menghela napas panjang, lalu mengambil kemeja hitam yang tergantung di paku dan mulai mengenakannya.

"Aku hanya melakukan ini karena kau memaksaku. Bukan karena aku menikmatinya."

Edward mendekat, menepuk bahu anaknya. "Kau boleh menyangkal sesering kau mau. Tapi darah kita tidak akan pernah bisa berdusta."

Lalu nada suaranya berubah lebih ringan.

"Ngomong-ngomong, Gustro... Kau sudah dua puluh tahun, ya?"

Gustro mengerutkan dahi. "Memang kenapa?"

"Itu... Ehem, kau tidak pernah sekalipun membawa pacar ke rumah. Atau setidaknya memperkenalkan perempuan yang kau suka," jawab Edward sambil menyeringai.

Gustro mengangkat alis. "Kau pikir aku punya waktu untuk itu di tengah pelatihan, pekerjaan, dan... kekacauan seperti ini?"

Edward tertawa keras. "Hahaha! Mungkin karena wajahmu terlalu menyeramkan serta sifatmu yang dingin kayak es batu. Atau... kau memang memilih untuk sendiri?"

Tatapan Gustro menjadi gelap. "Hati-hati dengan kata-katamu, Ayah."

Edward mengangkat tangan, seolah menyerah. "Oke, oke. Ayah tiba-tiba pengen liat kamu nikah. Soalnya, anak teman-teman ayah udah pada nikah semua bahkan punya anak. Ayah cuman iri, mengingat karena usia ini sudah tidak muda lagi. Ayah mau memomong cucu, hahaha."

"Aku masih muda."

"Iya, ayah tahu. Tetapi sebagai ayah, aku hanya ingin melihatmu bahagia. Kalau kau bisa mengatur waktu antara dunia hiburan dan... bisnis keluarga, kau pasti bisa membagi waktu juga untuk urusan hati."

Gustro menatap ayahnya tajam. "Kau selalu berkata hal-hal yang aneh, ayah. Aku tak butuh cinta untuk bahagia."

Edward hanya tersenyum tipis. "Itu yang kau pikirkan sekarang. Tapi waktu akan mengubahmu."

Gustro tidak membalas. Ia melangkah keluar dari gudang, meninggalkan ayahnya di dalam dengan tawa kecil yang masih menggema.

Di dalam mobil hitam yang menjemputnya, Gustro menatap keluar jendela. Matanya menerawang jauh, bukan karena misi yang baru saja ia selesaikan. Tapi karena 'seseorang'.

Gadis dengan mata sipit, rambut pendek, dan senyuman yang entah kenapa masih tertinggal di benaknya.

Wislay.

"Kenapa dia terus ada di kepalaku...?" gumam Gustro pelan, "dasar gadis aneh."

~

1
Anonymous
ceritanya keren ih .....bagus/Bye-Bye/
Y A D O N G 🐳: Makasih lohh🥰
total 1 replies
😘cha cchy 💞
kak visual x dong juga. ..👉👈😩
😘cha cchy 💞
ini tentang lizkook kan...??
😘cha cchy 💞
kak kalo bisa ada fotonya kak biar gampang ber imajinasi...😁
😘cha cchy 💞: minta foto visual x juga nanti kak..😁🙏🙏
harus lizkook ya KK..😅😃
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!