"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Mantu Rahasia
Di belakang mereka, wajah Bu Heni udah kayak terong karena marah.
“Siapa yang dia maksud nggak tahu diri? Oh, maksudnya Rama? Dia numpang di rumah kita lebih dari setahun, nggak ngapa-ngapain, dan kita masih harus merasa berterima kasih?”
“Kita bahkan kasih dia dua juta sebulan buat uang jajan,”
Yuni nyeletuk pelan.
“Orang kayak dia, baru nutup satu proyek kecil aja udah lupa daratan. Mentang-mentang dapet satu kesempatan, langsung ngerasa paling hebat. Orang kayak gitu nggak bakal jadi besar,” kata Pak Sidik, sok yakin.
“Kalian bisa nggak, jaga omongan dikit?”
Tatapan Ayu berpindah dari punggung Rama yang makin jauh, lalu dia ngomong serius,
“Ayah, Ibu, jujur aja… dari awal kalian emang nggak pernah anggap dia keluarga. Jadi wajar aja kalau dia kadang ngomong agak sinis.
Terus, iya, selama ini dia emang nggak kerja apa-apa dan cuma dapet uang jajan dua jutaan sebulan, tapi kebaikan yang dia lakuin sekarang kalau dia minta bayaran, bisa buat hidup kita lunas sampai tua nanti.”
“Ayu, jangan bilang kamu beneran jatuh cinta sama cowok cupu itu?” Bu Heni langsung nyolot.
“Jangan lupa, dia bisa nutup proyek itu juga cuma karena kebetulan nyelametin Pak Agus. Itu bukan karena dia punya kemampuan beneran.”
“Bu, kalau Ibu nggak anggap dia menantu, ya setidaknya perlakukan dia kayak orang yang patut dihormati. Kritik boleh aja… tapi itu kalau Ibu udah nganggep dia bagian dari keluarga.”
Ayu menjawab tanpa banyak emosi.
…
Sementara itu di luar, Rama yang jalan lalu disusul Heri tiba-tiba berhenti dan nengok.
Heri ngeluarin rokok dari saku, nyalain, terus langsung isap dalam-dalam.
Dia nggak nawarin sebatang pun ke Rama, malah sengaja ngebul ke arah muka Rama.
Rama cuma melirik, ekspresinya datar. Di matanya, Heri tiba-tiba kayak jadi transparan. Rama bisa ‘lihat’ semuanya—kondisi badannya, penyakit tersembunyi, sampai potensi bahaya yang dia bawa.
Rama ngomong santai aja, kayak nggak peduli.
Heri langsung bengong, kayak nelen asap.
Itu masalah pribadinya, bahkan keluarganya sendiri belum dia kasih tahu. Tapi kok bisa Rama tahu?
“Kamu nyelidikin aku, ya?”
Tatapan Heri langsung dingin.
“Menurutmu, orang kayak kamu pantas buat aku selidikin?”
Rama senyum nyinyir.
“Nggak peduli kamu tahu dari mana, yang jelas aku cuma mau kasih tahu satu hal Yuni itu pacarku. Jadi kalau kamu masih berani ganggu-ganggu dia diam-diam tanpa penjelasan, siap-siap aja hadapi akibatnya. Kalau kamu tahu diri, mendingan kamu minta maaf sekarang juga.”
Nada suara Heri mulai dingin banget.
“Oh gitu… Emangnya ‘akibat’ yang kamu maksud tuh segimana seremnya?”
“Contohnya, jangan jalan sendirian malam-malam. Hati-hati aja, jangan sampai tiba-tiba hilang nggak tahu ke mana,” kata Heri sambil nyipitkan matanya.
“Kamu tahu apa yang paling aku benci?”
Rama mandangin Heri, tajam.
“Ancaman? Halah, kamu kebanyakan nonton film. Realita nggak segampang itu,” jawab Heri sok santai.
“Menurutku sih, berhasil tuh.”
Baru selesai ngomong, Rama langsung ngehantem perut Heri.
Bugh!
Hoeeek!
Heri langsung muntah darah, langkahnya goyah sampai akhirnya jatuh ke tanah.
“K-kamu… kamu berani mukul aku?” katanya nggak percaya.
“Aku bahkan bisa bunuh kamu. Mau coba?”
Rama maju, langsung nyekek leher Heri dan ngangkat dia dengan satu tangan kayak ngangkat boneka. Padahal beratnya orang ini lebih dari 50 kilo.
Heri megap-megap, tangannya mencengkeram tangan Rama, matanya ketakutan setengah mati.
Dari sorot mata Rama, dia ngelihat niat ngebunuh yang nyata banget. Aura di sekeliling Rama kayak aura kematian. Dingin, gelap, bikin bulu kuduk berdiri.
Sorotan mata dalam dan tajam itu bikin Heri nggak berani balas menatap.
Sensasi kayak gini cuma pernah dia rasain dari bos preman kelas atas.
“A-a-aku salah. Aku sadar sekarang,”
Heri buru-buru minta ampun.
“Lakuin yang benar.”
Rama lalu ngelepasin cengkeramannya dan ngelemparin Heri kayak barang bekas ke tanah.
Uhuk! Uhuk!
Heri batuk-batuk parah, hampir nggak bisa napas.
“RAMA! DASAR GILA! KENAPA KAMU MUKUL ORANG!?”
Yuni keluar sambil panik, langsung ngerubungin Heri.
Rama cuma nyantai, ekspresinya datar, malas banget buat nanggepin.
“RAMA, KAMU BENER-BENER BAJINGAN!”
Tiba-tiba Pak Sidik, istrinya, dan Ayu juga keluar. Wajah mereka kaget campur marah.
Pak Sidik langsung teriak-teriak sambil mau nampar Rama.
“Ayah, jangan!” Ayu buru-buru nahan.
“Ayu! Dia makin keterlaluan. Berani main tangan sembarangan. Kalau nggak kita didik sekarang, keluarga kita bisa hancur karena dia!”
seru Pak Sidik penuh emosi.
“Ayah, lebih baik kalian periksa keadaan Heri dulu. Biar aku yang ngobrol sama Rama,”
kata Ayu serius.
“Bagus. Selesaikan urusan kalian. Orang temperamental kayak dia tuh harusnya diceraiin!”
Pak Sidik ngomong dengan nada tegas.
“Oke deh.”
Ayu ngangguk pelan.
Terus, dia jalan ke arah Rama sambil ngomong dengan dingin,
“Awalnya aku lumayan punya kesan baik sama kamu, tapi ternyata kamu orangnya kasar juga, ya. Emangnya kamu pikir semua masalah bisa kelar cuma karena berantem?”
“Dia yang maksa aku buat sujud dan ngatain aku macem-macem. Aku nggak tahan, makanya aku nyerang. Tapi santai aja, istriku, apapun yang terjadi, aku…”
ucap Rama.
“Udah cukup. Kamu itu keras kepala banget, dikit-dikit maunya ribut. Aku juga nggak mau kamu jadi pengecut, tapi aku nggak nyuruh kamu mukul orang juga. Kamu tuh cuma lagi beruntung waktu mukul Gunawan dan nggak kena masalah besar. Tapi baru sehari, kamu udah ribut lagi. Aku bener-bener nggak bisa hidup kayak gini. Besok kita urus cerai aja, ya. Jangan khawatir, kamu udah bantu banyak buat keluarga Ningrum. Aku bakal kasih uang ganti rugi, setelah itu kita selesai.”
kata Ayu sambil nahan emosi, rahangnya sampai kenceng banget.
Entah kenapa, setelah ngomong kayak gitu, hatinya malah makin sesak dan nggak nyaman.
“Beneran harus cerai? Kamu udah mikir matang belum? Kalau aku berani ambil tindakan, berarti aku juga punya cara buat beresin masalahnya,” tanya Rama.
“Cara apa? Aku udah nggak mau dengerin alasan kamu lagi. Pokoknya pernikahan ini harus selesai.”
Ayu jawab tegas.
“Ya udah, aku hargai keputusan kamu.”
Rama ngambil napas panjang. Matanya agak memerah.
Dia sadar, kayaknya dia dan Ayu emang nggak ditakdirin buat bareng. Suaranya jadi berat, penuh kecewa dan nggak rela:
“Surat nikahnya di kamu, kan? Bawa aja besok. Aku bakal ketemu kamu di kantor catatan sipil.”
Habis ngomong gitu, Rama langsung balik badan dan jalan pergi.
“Ma..Mau ke mana kamu?” tanya Ayu spontan.
“Karena kita bakal cerai, kayaknya keberadaanku udah nggak penting buat kamu,”
ucap Rama sambil mengepalkan tangan.
Ayu cuma bisa menggigit bibir, perasaannya campur aduk, makin nggak nyaman dan bingung sendiri.
“Biarin aja dia pergi, Yu. Kamu akhirnya ambil keputusan yang tepat,”
ucap Heni, ibunya, dengan penuh semangat.
“Selamat tinggal. Huh, orang kayak dia tuh pasti ujung-ujungnya hidup ngenes tanpa kita,”
Yuni nyeletuk dingin.
Ayu merem sejenak, lelah banget rasanya.
“Udah ah, cukup. Sebenarnya dia nggak sepenuhnya salah. Cuma ya… dia terlalu gampang pakai kekerasan. Kalau kalian semua pengen dia pergi, ya udah… aku yang pergi dari hidupnya.”
Setelah itu, dia buka matanya dan langsung keluar.
“Ayu, kamu mau ke mana?”
tanya Pak Sidik.
“Aku lagi suntuk banget. Mau ketemu temen aja dulu,”
jawabnya, sambil jalan makin cepat. Bener-bener lagi penat.
Sementara itu, Rama yang baru jalan sekitar seratus-dua ratus meter, tiba-tiba ketemu sama Sandra.
Sandra pake baju olahraga putih, kelihatan segar banget, bawa beberapa buah di tangannya. Begitu liat Rama, dia agak kaget, terus senyumnya merekah,
“Kamu di sini buat nemuin aku? Kenapa nggak ngabarin dulu?”
“Kamu salah paham, aku emang tinggal di deket sini, cuma beberapa ratus meter dari rumah kamu,” kata Rama.
“Eh, kebetulan banget!” Sandra kelihatan seneng,
“Tapi wajah kamu kelihatan lagi suntuk deh. Gimana kalau mampir ke tempatku bentar, minum teh atau jus, ngobrol-ngobrol santai?”
“Boleh aja sih. Tapi emang nggak ganggu?”
“Kalau orang lain sih iya, tapi kamu? Kapan pun juga boleh,” kata Sandra sambil nyengir cerah.