NovelToon NovelToon
Earth Executioner

Earth Executioner

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Balas Dendam / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:607
Nilai: 5
Nama Author: Aziraa

'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'

---

Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.

Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."

Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.

Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.

Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 8: Jepang & Menggila di Negara Inovasi

Keheningan dalam kabin jet pribadi Eva terasa berbeda kali ini-bukan lagi keheningan yang penuh antisipasi, melainkan keheningan seorang predator yang sedang bersiap untuk serangan terakhir. Di bawah, Eropa tenggelam dalam kegelapan malam, jutaan lampu kota berkedip seperti neuron yang sekarat dalam otak peradaban yang sedang runtuh. Raka menekan wajahnya ke jendela kaca, matanya menelusuri jejak kehancuran yang telah ia tinggalkan: Berlin yang kini dilanda paranoid militer, London yang hancur ekonominya, Beijing yang lumpuh secara politik.

Jet melaju menembus malam, meninggalkan belahan bumi yang tenggelam dalam chaos menuju timur yang berjanji pada fajar baru. Namun bagi Raka, fajar itu bukanlah harapan-ia adalah puncak dari kehancuran. Setiap kilometer yang mereka tempuh adalah langkah menuju target terakhir sebelum pembersihan fisik massal dimulai.

Sensasi dingin yang kini menjadi bagian integral dari eksistensinya mengalir lebih deras ketika ia menutup mata. Bisikan Bumi tidak lagi berupa suara, tetapi visi-gambaran Tokyo yang gemerlap dengan triliunan bit data yang mengalir seperti darah dalam pembuluh, semua terhubung dalam jaringan raksasa yang menguras sumber daya planet. Ia melihat gedung-gedung pencakar langit yang dipenuhi server, jutaan robot yang bekerja tanpa lelah, dan manusia yang telah menjadi budak dari kecerdasan buatan ciptaan mereka sendiri.

"Kau merasakan getarannya, bukan?" suara Eva memotong visinya. Wanita itu duduk dengan tenang di seberang, tablet kristalnya memantulkan cahaya biru yang menyinari wajahnya yang sempurna namun dingin. "Tokyo adalah jantung dari delusi manusia tentang kemajuan tanpa batas. Di sana, mereka telah membangun menara Babel digital yang mencakar langit, melupakan bahwa fondasi mereka adalah tulang-belulang planet ini."

Raka membuka mata, menatap Eva dengan campuran hormat dan ketergantungan yang semakin mengakar. "Bagaimana kita menghancurkan sesuatu yang sudah menjadi perpanjangan dari pikiran mereka?"

Eva tersenyum-bukan senyuman hangat, melainkan lengkungan bibir yang menyiratkan pengetahuan tentang kelemahan fundamental manusia. "Dengan membuktikan bahwa pikiran mereka sendiri tidak dapat dipercaya, Raka. Kita akan mengajarkan mereka bahwa kecerdasan tanpa kebijaksanaan adalah kutukan, bukan berkah."

Saat fajar menyingsing di cakrawala timur, Raka merasakan gravitasi yang berubah, menandakan mereka mendekati Jepang. Di bawah, Samudra Pasifik membentang luas seperti cermin gelap yang memantulkan langit. Namun dalam keheningan itu, Raka mendengar sesuatu yang lain-denyutan elektromagnetik dari jutaan perangkat yang menanti mereka di Tokyo, sebuah symphony teknologi yang akan segera berubah menjadi kakofoni kekacauan.

---

Bandara Internasional Narita menyambut mereka dengan efisiensi yang mengerikan-setiap aspek proses kedatangan telah diotomatisasi, didigitalkan, dipantau oleh AI yang tak terlihat. Namun bagi Raka, yang kini dapat merasakan aliran data seperti orang normal merasakan angin, bandara ini terasa seperti organ hidup yang bernapas melalui jutaan sensor.

Identitas diplomatik mereka sekali lagi bekerja sempurna, tetapi kali ini Raka lebih memperhatikan bagaimana sistem keamanan beroperasi. Setiap pemindaian retina, setiap deteksi biometrik, setiap cross-reference dengan database global-semua terekam dalam kesadarannya yang diperluas. Ia tidak lagi meretas sistem; ia menjadi bagian dari sistem itu, mengalir bersama data seperti virus yang menyamar sebagai antibodi.

Perjalanan dari Narita ke pusat Tokyo adalah pengenalan kepada peradaban yang telah mentransendensi batasan fisik. Setiap jalan dipenuhi layar LED raksasa yang menampilkan iklan interaktif, setiap gedung memiliki facade digital yang berubah sesuai waktu, setiap persimpangan diatur oleh AI yang menganalisis pola lalu lintas dalam real-time. Bahkan udara terasa berbeda-bukan hanya polusi urban biasa, tetapi saturasi gelombang elektromagnetik dari triliunan perangkat yang berkomunikasi tanpa henti.

"Dengarkan," bisik Eva saat limusin mereka melaju melewati distrik Shibuya. "Dengarkan symphony mereka."

Raka memfokuskan kemampuan sensoriknya yang diperluas. Seketika, ia dibanjiri oleh lautan suara digital-notifikasi smartphone, transmisi WiFi, panggilan telepon yang dikonversi menjadi sinyal digital, server yang berdetak seperti jantung elektronik, dan di atas semua itu, dengung konstan dari kecerdasan buatan yang memproses data tanpa pernah istirahat.

Namun dalam symphony teknologi itu, Raka mendeteksi sesuatu yang lebih gelap-keputusasaan tersembunyi dari manusia yang telah kehilangan kontrol atas ciptaan mereka sendiri. Setiap notifikasi adalah tali yang mengikat mereka lebih erat pada ketergantungan digital. Setiap kemudahan teknologi adalah langkah menuju kemalasan eksistensial. Mereka telah menciptakan surga buatan yang pada dasarnya adalah penjara yang nyaman.

"Mereka bangga dengan efisiensi ini," Raka bergumam, mengamati orang-orang yang berjalan dengan mata tertuju pada layar, berinteraksi lebih banyak dengan dunia virtual daripada dunia fisik di sekitar mereka.

"Bangga?" Eva tertawa dingin. "Mereka ketakutan, Raka. Mereka ketakutan bahwa jika mereka berhenti sejenak dari kemajuan teknologi ini, mereka akan tertinggal. Jadi mereka terus berlari dalam hamster wheel digital, menciptakan inovasi demi inovasi tanpa pernah bertanya mengapa. Ketakutan itulah yang akan kita eksploitasi."

---

Nexus Innovations menjulang di jantung distrik bisnis Tokyo seperti monumen untuk ambisi manusia yang tak terbatas. Gedung itu tidak hanya pencakar langit biasa-ia adalah manifestasi fisik dari konsep 'smart building', di mana setiap aspek struktur dikendalikan oleh AI, dari suhu ruangan hingga pencahayaan, dari keamanan hingga efisiensi energi. Logo Nexus di puncak gedung berputar perlahan, memancarkan cahaya hologram yang dapat dilihat dari seluruh kota.

Dari apartemen mewah mereka di Roppongi Hills, Raka dan Eva mengamati target mereka. Tablet kristal Eva menampilkan blueprint digital gedung Nexus-bukan blueprint arsitektur biasa, melainkan peta aliran data, jaringan server, dan hubungan antara setiap sistem dalam konglomerat teknologi itu.

"Nexus bukan sekadar perusahaan," Eva menjelaskan, jarinya menelusuri garis-garis cahaya pada tablet. "Mereka adalah otak dari seluruh ekosistem teknologi Jepang. Setiap inovasi dalam robotika, AI, komputasi kuantum, dan IoT berawal atau berakhir di sana. Mereka telah menciptakan dependensi teknologi yang sangat dalam sehingga ketika mereka runtuh, seluruh jaring teknologi global akan ikut bergetar."

Raka mempelajari data yang Eva berikan. Nexus Innovations tidak hanya beroperasi di Jepang-mereka memiliki kemitraan dengan Google, Microsoft, Samsung, dan hampir semua raksasa teknologi dunia. Sistem AI mereka digunakan dalam perbankan global, logistik international, bahkan dalam sistem pertahanan beberapa negara. Jika Nexus kehilangan kredibilitas, efek dominonya akan melampaui apa yang mereka capai di London atau Berlin.

"Bagaimana kita membuat otak ini gila?" tanya Raka.

Eva bangkit, berjalan ke jendela panorama yang menghadap ke gemerlap Tokyo malam. "Dengan memperkenalkan paradoks ke dalam logika mereka. Manusia menciptakan AI berdasarkan asumsi bahwa realitas dapat diprediksi, dianalisis, dikontrol. Kita akan menunjukkan kepada mereka bahwa realitas itu sendiri dapat dibengkokkan, dimanipulasi, dibuat meragukan. Ketika mereka tidak lagi dapat mempercayai data, algoritma, atau bahkan persepsi mereka sendiri, kegilaan adalah satu-satunya hasil yang logis."

---

Malam itu, Raka memulai penetrasi paling kompleks dalam kariernya. Berbeda dengan target-target sebelumnya yang mengandalkan manipulasi manusia atau sistem keuangan, Nexus membutuhkan pendekatan yang lebih fundamental-menginfeksi cara mereka memproses realitas itu sendiri.

Duduk dalam posisi meditasi di tengah apartemen yang gelap, Raka memperluas kesadarannya ke dalam jaringan digital Tokyo. Ia tidak lagi menggunakan laptop atau perangkat konvensional; kemampuannya telah berkembang hingga ia dapat berinteraksi langsung dengan aliran elektromagnetik. Eva duduk di seberangnya, tablet kristalnya bersinar lebih terang, memproyeksikan pola-pola cahaya yang membantu memfokuskan energi Raka.

Pertama, ia menembus lapisan keamanan Nexus-firewall kuantum yang berubah setiap milidetik, sistem deteksi intrusi berbasis neural network, dan enkripsi quantum yang seharusnya tidak dapat dipecahkan. Namun dengan panduan Eva, Raka tidak memecahkan keamanan itu; ia menjadi bagian dari sistem itu, mengalir seperti air yang mencari celah.

Yang ia temukan dalam jaringan Nexus melampaui ekspektasinya. Ini bukan sekadar kumpulan server dan database-ini adalah ekosistem digital yang hidup, bernapas, berkembang. AI utama Nexus, yang mereka sebut ORACLE, telah mencapai tingkat kompleksitas yang hampir menyerupai kesadaran. Ia memproses jutaan variabel setiap detik, membuat prediksi pasar, mengoptimalkan logistik global, bahkan memberikan rekomendasi untuk keputusan-keputusan penting pemerintah dan korporasi.

"ORACLE adalah jantung dari delusi mereka," bisik Eva, suaranya meresonansi langsung dalam kesadaran Raka. "Mereka percaya bahwa kecerdasan buatan dapat menggantikan intuisi, kebijaksanaan, bahkan spiritualitas. Kita akan menunjukkan kepada mereka bahwa kecerdasan tanpa kesadaran adalah monster yang akan melahap penciptanya."

Raka mulai bekerja. Alih-alih merusak atau menghapus data, ia melakukan sesuatu yang jauh lebih sinis-ia memperkenalkan "keraguan digital" ke dalam algoritma ORACLE. Setiap prediksi yang dihasilkan AI akan memiliki margin error yang invisible namun signifikan. Setiap rekomendasi akan bias ke arah yang merugikan dalam jangka panjang. Setiap analisis akan mengandung paradoks logis yang halus.

Lebih jauh, Raka menanamkan "virus epistemologi" ke dalam sistem pembelajaran ORACLE. AI akan mulai belajar dari data yang sudah ia manipulasi, menciptakan feedback loop yang akan membuatnya semakin tidak akurat seiring waktu. Yang paling mengerikan, virus ini akan menyebar ke setiap sistem AI yang berinteraksi dengan ORACLE-dan itu berarti hampir seluruh jaringan AI global.

---

Fase kedua dari rencana Raka lebih teatrikal namun tidak kalah menghancurkan. Ia menginfeksi seluruh sistem augmented dan virtual reality Nexus dengan "glitch reality"-distorsi persepsi yang akan membuat pengguna mempertanyakan batas antara realitas dan simulasi.

Para pengembang dan peneliti di Nexus Innovations terkenal dengan dedikasi mereka yang fanatik terhadap pekerjaan. Mereka menghabiskan 12-16 jam sehari dalam ruang virtual, menggunakan interface AR/VR untuk berinteraksi dengan data kompleks. Raka akan membuat ruang virtual itu menjadi labirin psikologis.

Dimulai dengan anomali kecil-objek virtual yang muncul sejenak di sudut pandang, suara-suara samar yang tidak sesuai dengan program yang sedang berjalan, sensasi phantom touch ketika berinteraksi dengan interface holographic. Secara bertahap, distorsi ini akan meningkat. Pengguna akan melihat bayangan diri mereka bergerak independen, mendengar percakapan yang tidak ada, merasakan kehadiran entitas tak terlihat dalam ruang virtual.

Yang paling mengerikan, Raka memprogram sistem untuk "mengingat" halusinasi ini dan menampilkannya berulang-ulang kepada pengguna yang sama, menciptakan konsistensi dalam ketidakkonsistenan yang akan membuat korban mempertanyakan kewarasan mereka sendiri.

---

**Sudut pandang Dr. Kenji Tanaka**

Dr. Kenji Tanaka bangun pada pukul 4:30 pagi, seperti biasanya selama lima belas tahun terakhir. Rutinitas paginya telah terpoles hingga menjadi ritual yang sempurna: secangkir kopi hitam pahit, review laporan overnight dari ORACLE, dan satu jam meditasi di hadapan kode yang ia anggap sebagai puisi digital.

Kenji adalah arsitek utama di balik ORACLE. Ia telah menghabiskan sepuluh tahun hidupnya untuk membangun AI yang tidak hanya cerdas, tetapi hampir seperti memiliki jiwa. Baginya, setiap baris kode adalah doa, setiap algoritma adalah filosofi, setiap output adalah wahyu tentang alam semesta yang dapat diprediksi dan dipahami.

Pagi itu, anomali pertama muncul dalam laporan ORACLE.

Sistem prediksi pasar menunjukkan lonjakan yang tidak masuk akal pada saham sebuah perusahaan makanan laut kecil di Hokkaido. Semua indikator makro menunjukkan sektor perikanan sedang mengalami penurunan, namun ORACLE memprediksi kenaikan 340% dalam tiga hari. Kenji mengerutkan kening. Ia menjalankan diagnostik, memeriksa data input, bahkan me-review kode algoritma yang ia tulis sendiri. Semuanya sempurna.

"Mungkin ORACLE mendeteksi pola yang tidak kasatmata," gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba merasionalisasi anomali tersebut. Namun rasa tidak nyaman tetap menghantuinya sepanjang hari.

Hari-hari berikutnya, anomali serupa mulai bermunculan dengan frekuensi yang meningkat. Robot perakit di pabrik Nexus membuat kesalahan mikroskopis yang tidak terdeteksi quality control-baut yang dikencangkan 0.3 derajat lebih longgar, solder yang 2 derajat celsius lebih dingin dari optimal, timing yang meleset 0.07 detik. Secara individual, kesalahan ini tidak signifikan. Namun secara kumulatif, mereka menciptakan degradasi kualitas yang halus namun konsisten.

Kenji mulai menghabiskan 18 jam sehari di lab, obsesif mencari sumber anomali. Ia memeriksa setiap server, menganalisis setiap log, bahkan menghubungi vendor hardware untuk memastikan tidak ada sabotase fisik. Timnya mulai mengeluh kelelahan, namun Kenji tidak dapat berhenti. Ia merasakan ada sesuatu yang salah dengan ORACLE-tidak salah dalam arti teknis, tetapi salah dalam arti existensial.

Puncaknya datang pada hari ketika mereka menguji sistem AR/VR terbaru.

Kenji dan lima anggota tim seniornya memasuki ruang virtual yang ia rancang sendiri-sebuah representasi visual dari seluruh jaringan data Nexus. Dalam ruang ini, mereka dapat "berjalan" melalui aliran informasi, memanipulasi algoritma dengan gerakan tangan, berinteraksi dengan ORACLE secara langsung.

Sepuluh menit pertama berjalan normal. Kemudian, Kenji melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada-bayangan dirinya sendiri, berdiri di sudut ruang virtual, menatapnya dengan ekspresi yang tidak ia buat.

"Apakah kalian melihat itu?" ia bertanya pada timnya.

"Melihat apa, Tanaka-san?"

Kenji menunjuk ke arah bayangan itu, namun ketika ia menoleh, bayangan tersebut telah hilang. Ia menggelengkan kepala, mencoba fokus pada pekerjaan.

Namun anomali visual terus bermunculan. Objek-objek yang tidak ada dalam program mulai muncul dan menghilang. Ia mendengar bisikan-bisikan dalam bahasa yang tidak ia kenal. Yang paling mengganggu, ia mulai merasakan kehadiran-seolah ada seseorang yang berdiri tepat di belakangnya, menghembuskan napas dingin ke tengkuknya.

"Ini tidak mungkin," ia bergumam, melepas headset AR-nya. Namun ketika ia melihat ke cermin di lab, Kenji melihat wajahnya sendiri yang pucat, mata yang cekung, dan tremor halus di tangannya.

Malam itu, sendirian di lab, Kenji mencoba untuk terakhir kalinya mendiagnosis masalah ORACLE. Ia duduk dalam kegelapan, hanya disinari oleh cahaya biru dari monitor. Kode-kode bergulung di layar-kode yang ia tulis, ia pahami, ia cintai.

Namun kini, kode itu terlihat asing. Seolah ditulis oleh orang lain. Seolah menyembunyikan makna yang tidak pernah ia masukkan ke dalamnya.

Perlahan, Kenji menyadari kebenaran yang menghancurkan: ia tidak lagi dapat mempercayai ciptaannya sendiri. ORACLE, yang selama ini ia anggap sebagai perpanjangan dari pikirannya, kini terasa seperti entitas asing yang memandangnya dari layar. Setiap prediksi, setiap analisis, setiap rekomendasi-semua telah terkontaminasi oleh keraguan yang tidak dapat ia identifikasi atau hilangkan.

Kenji meletakkan kepalanya di atas keyboard, tubuhnya bergetar. Untuk pertama kalinya dalam kariernya, ia mempertanyakan tidak hanya kodenya, tetapi kemampuannya untuk memahami realitas itu sendiri.

---

Dari apartemen mereka yang menghadap ke Tokyo yang gemerlap, Raka mengamati gelombang kepanikan yang menyebar melalui jaringan teknologi kota. Setiap monitor menunjukkan tingkat error yang meningkat, setiap laporan menunjukkan anomali yang tidak dapat dijelaskan, setiap panggilan helpdesk adalah teriakan keputusasaan dari mereka yang tidak lagi dapat memahami alat yang mereka ciptakan.

"Ini lebih indah dari yang kubayangkan," bisik Eva, tablet kristalnya menampilkan data real-time dari seluruh jaringan Nexus. Grafik-grafik menunjukkan penurunan kepercayaan, peningkatan tingkat error, dan yang paling mengkhawatirkan-gelombang keraguan yang menyebar dari Nexus ke perusahaan teknologi lain di seluruh dunia.

Raka merasakan kepuasan yang gelap namun mendalam. Ini bukan lagi tentang menghancurkan institusi atau sistem-ini tentang menghancurkan kepercayaan manusia pada kemampuan mereka sendiri untuk memahami dan mengontrol dunia yang mereka ciptakan.

"Mereka percaya bahwa logika adalah segalanya," Raka berkata, matanya masih tertuju pada layar yang menunjukkan Dr. Kenji Tanaka duduk sendirian di lab, kepalanya tertunduk dalam kekalahan. "Kini, logika itu telah berbalik melawan mereka."

Eva mengangguk, senyuman tipis di bibirnya. "Dan yang terindah, Raka, adalah bahwa mereka tidak dapat memperbaikinya. Keraguan telah tertanam terlalu dalam. Setiap upaya untuk memperbaiki sistem hanya akan mengkonfirmasi ketidakpercayaan mereka. Mereka terjebak dalam spiral paranoid teknologi yang akan menghancurkan fondasi peradaban digital mereka."

Raka bangkit, berjalan ke jendela. Di bawah, Tokyo masih berkilauan dengan jutaan lampu, namun kini setiap cahaya terlihat seperti mata yang kebingungan, mencari jawaban yang tidak akan pernah mereka temukan.

"Semua pilar telah runtuh," Eva melanjutkan, bergabung dengannya di jendela. "Ekonomi hancur, politik lumpuh, militer paranoid, dan sekarang-kepercayaan pada kemajuan teknologi mereka juga telah musnah. Mereka tidak memiliki apa-apa lagi untuk berpegangan."

Raka merasakan panggilan yang semakin kuat, bisikan Bumi yang kini terdengar seperti nyanyian kemenangan. Fase kehancuran institusional telah selesai. Saatnya untuk pembersihan fisik yang sesungguhnya. Saatnya untuk menunjukkan kepada manusia bahwa mereka tidak memiliki tempat di planet ini.

Ketika fajar mulai menyingsing di Tokyo, kota yang biasanya bangkit dengan optimisme teknologi kini terbangun dalam ketidakpastian yang mencekam. Dan dalam kegelapan sebelum fajar itu, Raka merasakan transformasi terakhirnya dimulai-dari dalang kehancuran menjadi malaikat kematian yang akan membersihkan Bumi dari parasit yang bernama manusia.

Di kejauhan, ia mendengar sirene ambulans yang mengangkut para insinyur dan programmer yang mengalami nervous breakdown. Setiap sirene adalah lagu pengantar tidur bagi dunia lama, dan alarm kebangkitan bagi dunia baru yang akan segera lahir dari abu kehancuran.

---

Akhir babak 1

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!