Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12 Remake: Kebangkitan
Langit pagi itu abu-abu pekat, digantung awan mendung yang berat seolah turut merasakan getir yang memenuhi dada Aria.
Dan di hadapannya, Sho sedang dicekik oleh Invader. Hanya satu makhluk itu—namun satu sudah lebih dari cukup untuk mengubah dunia mereka menjadi puing-puing.
Tubuh Sho tergantung di udara, kedua tangannya mencengkeram erat lengan makhluk itu yang dingin dan keras seperti baja. Nafasnya terputus-putus, matanya memerah, wajahnya kehilangan warna.
Namun Aria... Tidak bisa bergerak.
Tidak sedetik pun.
Jantungnya berdetak kencang, tapi kakinya seolah terikat pada tanah. Ia menyaksikan semuanya, dan bayangan lain datang menelannya—kenangan pahit yang baru terjadi beberapa hari lalu. Di tempat yang tak jauh dari sini. Di tengah reruntuhan toko bunga milik Sho. Di saat ia, dengan kepala kerasnya, menolak peringatan ayahnya demi mencari anak itu di tengah kobaran api dan puing.
---
Beberapa Hari Lalu.
Ledakan mengguncang sisi kiri, debu dan pecahan kayu beterbangan. Aria terhempas ke tanah, tubuhnya menghantam balok kayu yang retak dan patah.
“Sho... Di mana Sho?” desisnya. Pandangannya kabur, namun dia bangkit, tetap menggenggam busurnya meski tangan gemetar.
“Aria!” suara ayahnya menggema dari belakang, napasnya berat.
“Kita harus pergi! Sekarang!” serunya.
“Tidak! Sho mungkin masih di bawah reruntuhan! Aku harus—”
“Ini bukan saatnya keras kepala, Nak! Dengarkan aku untuk sekali ini saja!”
Namun Aria tetap berlari ke arah toko bunga yang sudah menjadi puing. Tangan ayahnya nyaris berhasil meraih bahunya—saat sesuatu muncul dari balik reruntuhan.
Makhluk itu. Invader. Tubuhnya lebih kecil, tapi kelincahannya mengerikan. Taringnya mencuat, dan pedang hitamnya mengangkat tinggi.
Aria membeku. Tak ada waktu. Napasnya tercekat.
Pedang itu meluncur—lurus ke arahnya.
Tapi sesosok tubuh mendorongnya ke samping.
“AYAH!?”
Darah memercik. Pedang hitam itu menancap menembus tubuh ayahnya, dari belakang.
Dunia seakan diam.
Satu-satunya suara yang tersisa adalah napas tersengal dari pria itu.
Dengan tenaga terakhir, ia mencengkeram Invader itu, menahannya.
“Aria... Lari,” bisiknya. “Hidup... Tetaplah hidup...”
Aria membeku. Sekali lagi.
“LARI!!”
Bentakan itu akhirnya menghantam keras jiwanya.
Namun sebelum Aria sempat menarik busur atau mengambil panah, ayahnya menarik Invader itu lebih dekat—dan menusukkan pisau kecil ke lehernya.
Seketika tubuh Invader itu meledak menjadi abu.
Tapi tubuh ayahnya roboh bersamaan.
“AYAH!!”
Aria berlutut, memeluk tubuh itu. Darah meresap cepat ke pakaian dan tanah. Dunia seakan hampa. Tak ada suara lain. Tak ada perang. Tak ada teriakan. Hanya isak napas tertahan dalam dada Aria, dan kesunyian memekakkan telinga.
---
Kilatan memori itu menyatu dengan kenyataan kini—di padang sepi penuh debu, malam di mana Sho dicekik hingga tubuhnya mengendur, perlahan kehilangan cahaya.
Invader itu berdiri seperti iblis yang siap menghabisi segalanya.
Aria berlutut. Tubuhnya lunglai. Napasnya tercekat.
Lagi.
Lagi-lagi ia hanya bisa melihat orang yang ia sayangi...
mati.
“Aku... Lemah...” Tangannya gemetar saat menyentuh tanah. “Aku hanya... Gadis sok kuat... Yang bahkan tak bisa melindungi siapa pun...”
“Kali ini saja... Kumohon izinkan aku untuk menyelamatkan Sho...”
Langit pagi mendung yang diselimuti awan mendadak retak oleh cahaya.
Cahaya matahari menembus—menerobos awan dengan terang. Kilau emas menyinari tubuh Aria.
Jantungnya berdetak lebih cepat.
Dan...
Sebuah suara masuk ke dalam kepalanya. Hangat, dalam, namun dibumbui gaya yang tak biasa.
“Akhirnya! Kupikir kau akan terus menolak dan tenggelam dalam rasa bersalah selamanya.”
Aria terkejut. “Siapa...?”
“Kau tahu siapa aku. Aku sudah mengawasi sejak kau masih latihan membidik apel di atas kepala temanmu. Berani, keras kepala, dan agak kasar... Tapi ya, itu kamu.”
“Aku Apollo. Dan, hei... Selamat, kau resmi jadi gadis matahari sekarang.”
Aria tercekat. Matanya membelalak. Namun di balik suara humoris itu, terselip kekuatan agung yang mengguncang jiwa.
“Aria Pixis. Kau memiliki cahaya dalam dirimu yang tak bisa dipadamkan oleh siapa pun. Sekarang, berdirilah. Bangkit. Dunia butuhmu. Lelaki itu membutuhkan mu.”
“Sho...” Gumam Aria.
“Dan percayalah, dia akan sangat kecewa kalau kau cuma duduk di situ sambil meratap. Kau bukan seperti itu, kan?”
Tangan Aria menggenggam tanah. Tapi kali ini bukan karena kelemahan. Melainkan karena tekad
Ia berdiri. Matanya menyala emas.
Busur perak muncul perlahan dari cahaya di tangan kanannya—utuh, bercahaya, dan... Hidup.
“Bagus, begitu dong. Jangan khawatir... Kita akan mulai dengan level satu. Ayo, tembak dulu si rongsokan Invader itu. Tapi jangan sampai kena lelaki itu ya, sayang sekali kalau wajah manisnya rusak.”
Aria tersenyum lirih di tengah air mata.
“Apollo... ayo kita akhiri ini.”
Cahaya dari langit perlahan menembus mendung, membentuk lingkaran keemasan di atas Aria. Dalam keheningan mencekam itu, Invader yang mencekik Sho mendesis rendah, tak menyadari bahwa matahari kini berpihak pada manusia.
Satu cahaya muncul di telapak tangan Aria.
Busur perak milik Apollo.
Ditariknya tali busur yang tak terlihat, dan seberkas cahaya membentuk panah di udara—panah murni yang terbentuk dari cahaya matahari.
“Lepas.”
Panah itu meluncur dalam sekejap—melesat seperti kilat dan menghantam sisi bahu Invader yang sedang mencekik Sho.
ZRAK!
Serangan itu tak menimbulkan luka fatal, hanya membuat makhluk itu terhuyung sedikit. Namun cukup—cukup untuk membuat cekikannya terlepas.
Sho jatuh tersungkur di tanah, terbatuk keras, paru-parunya memaksa udara kembali masuk. Matanya menyipit, mencari Bident miliknya
Senjata itu tergeletak hanya beberapa meter dari tempatnya jatuh. Sho merangkak cepat, menggenggam gagang logam hijau mengilap itu. Begitu menyentuhnya, Bident itu berdenyut dan memanjang secara otomatis. Suara logam bergesek pelan mengiringi kekuatan yang kembali ke tangannya.
“Akar...” Desis Sho pelan.
Tanah di bawah kaki mereka bergetar. Retakan kecil terbentuk, dan dari dalam bumi, akar-akar besar menjalar cepat seperti ular buas. Mereka muncul di sekitar Invader, melilit kaki dan tubuhnya. Meski makhluk itu menggeram dan menebas akar-akar tersebut satu per satu dengan cepat, tetap saja, mereka memperlambat gerakannya.
Dan itu cukup.
Sho mengayunkan Bident-nya, menyalurkan api hijau terang ke ujungnya. Dalam satu tusukan cepat dan presisi, senjata itu menembus sisi perut Invader—menancap dalam hingga tembus.
Invader itu menggeram—jeritannya seperti logam patah dan darah mendesis.
Sho menarik kembali senjatanya dan segera melompat mundur, tahu bahwa dia telah membuka celah. Tapi bukan dirinya yang akan menyelesaikan ini.
Karena tepat saat itu—cahaya kembali memancar dari arah Aria.
Rambut biru malam milik Aria mulai berkilau, seperti diselimuti oleh sihir langit. Satu helai berubah warna... Lalu dua... Lalu semuanya.
Dalam hitungan detik, warna rambut Aria telah berubah menjadi kuning keemasan, berkilauan seperti cahaya matahari pagi.
Wajahnya berubah. Matanya bersinar seperti obor, dan auranya mendidih dengan kekuatan yang sebelumnya terkubur.
Tali busurnya kembali ditarik. Tapi kali ini, bukan satu panah.
Sebuah panah besar terbentuk di udara—panah cahaya murni, panjang dan menyala-nyala seperti lidah matahari, seolah Apollo sendiri yang menumpahkan mataharinya ke dunia.
Sho menatapnya dari kejauhan dan segera berlari mundur.
Aria menarik napas.
“Ini untuk Ayahku... dan untuk Sho.”
Ia melepaskan tembakan.
ZRRAAGGHH!!
Ledakan cahaya menghantam tubuh Invader itu tepat di dada, menyapu tanah di belakangnya, dan menggetarkan seluruh medan pertempuran. Tanah terbelah, pohon-pohon di sekitar ikut melengkung, dan langit yang kelabu tersibak hingga cahaya mentari membanjiri bumi.
Saat sinar itu mereda...
Yang tersisa dari Invader itu hanyalah abu... Dan kepalanya, terguling tak bernyawa di tanah, mata kosong menatap langit yang tak lagi abu-abu.
---
Ledakan cahaya telah mereda. Angin membawa debu sisa ledakan, menyapu medan pertempuran yang kini sunyi. Tanah menghitam, pohon-pohon sekitar terbakar sebagian, dan hanya satu yang tersisa dari musuh mereka—kepala Invader, terguling dengan mata kosong dan rahang retak.
Aria menghela napas berat.
Tangan kanannya masih gemetar usai melepaskan panah itu, dan kakinya yang lemas tak mampu menopang tubuhnya lebih lama. Ia menjatuhkan dirinya ke tanah, tubuhnya roboh dalam posisi terlentang, menatap langit yang kini terang.
Dan tiba-tiba—
“HAAAAAAAAH!! Itu... itu tadi GILA!”
Teriakan Aria pecah, keras dan jujur, membuat Sho yang masih dalam perjalanan menghampirinya nyaris tersandung.
Aria tertawa.
Bukan tawa kemenangan. Bukan tawa karena memperoleh kekuatan. Tapi tawa tulus, karena untuk pertama kalinya... ia berhasil melindungi orang yang ia sayangi.
Sho masih hidup.
Dan itu cukup.
Mulutnya merekah dalam senyuman lebar, matanya berkaca-kaca namun penuh cahaya. Di balik seluruh rasa sakit, kelelahan, dan kengerian yang ia alami, ada secercah rasa hangat yang membuncah dari dalam dadanya.
Lalu...
“Wow, kau tidak pingsan? Kukira kau akan langsung kehilangan kesadaran seperti para inkarnasiku sebelumnya.”
Suara berat yang tiba-tiba muncul di benaknya membuat Aria sedikit tersentak.
Apollo.
Nada bicaranya santai, bahkan terdengar seperti bercanda—tapi tak bisa disangkal, ada aura kuat dan berwibawa yang menyelimuti tiap katanya.
“Serius, tembakanmu barusan bisa membelah bukit. Aku agak bangga, tahu?”
Aria mengerang pelan. “Kau datang setelah aku hampir mati. Mengapa kau tidak muncul lima menit lebih awal?”
“Yang namanya pahlawan itu, selalu datang kesiangan.” Apollo tertawa pelan. “Tapi hey, kau sudah lulus tesnya. Kini kau sudah resmi menjadi inkarnasi pilihan ku, Nak.”
Di kejauhan, Sho akhirnya tiba di sampingnya. Nafasnya masih terengah, tapi wajahnya tampak lega—dan juga bingung.
“Sejak kapan kau menjadi High Human?” Tanyanya, menatap rambut keemasan Aria yang perlahan-lahan redup dan kembali ke warna asalnya.
Aria menoleh dengan kepala yang masih menempel ke tanah dan menjawab santai, “Baru saja... Dan itu terasa seperti kejutan.”
Sho menggeleng pelan, tersenyum. “Seperti itu ya...”
Aria tertawa, “Setidaknya aku berhasil menyelamatkan mu...”
Mereka saling memandang. Dalam keheningan itu, tak perlu banyak kata. Apa yang terjadi di antara mereka sudah cukup berbicara.
Sho kemudian berdiri, menatap kepala Invader yang tergeletak tak jauh dari mereka.
“Ayo!” katanya, mengulurkan tangan kepada Aria. “Kita bawa bukti kemenangannya. Jangan sampai ada yang bilang kita mengarang cerita hanya karena kita masih remaja, atau mungkin anak-anak?”
Aria menerima uluran itu dan bangkit pelan, meski kakinya masih terasa lemas. Bersama-sama mereka berjalan menghampiri kepala makhluk itu dan memungutnya, aroma hangus dan logam memenuhi udara.
“Ah... Aku tidak sabar karena sebentar lagi kita sampai ke desa Zeen.” Aria mengeluh “Aku benar-benar tidak sabar ingin tidur dikasur empuk...”
Namun, jauh di tempat lain...
Di dalam alam bawah...
Persephone, sang Dewi musim semi dan ratu dunia bawah, berdiri di balik kursinya yang berkilau. Tangannya menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca.
Dia mengawasi segalanya sejak awal—dan saat Sho nyaris kehilangan nyawanya, dunia bawah sempat bergetar.
Namun sekarang...
“Syukurlah...” Bisiknya pelan.
Suaranya gemetar.
“Syukurlah... Dia masih hidup...”
Bukan hanya karena ia adalah inkarnasinya. Tapi karena ia telah terlalu lama menyaksikan siklus yang sama: inkarnasinya yang selalu mati muda.
Tapi kali ini... untuk pertama kalinya...
Harapan belum padam.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/