Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Rahasia yang Mulai Retak
Rahasia yang mulai retak itu nampak semakin nyata saat Fatimah berdiri di ambang pintu dengan sebuah benda tajam di tangannya yang bergetar hebat. Ujung pecahan kaca jendela yang ia genggam memantulkan cahaya merah dari sistem peringatan darurat yang meraung-raung di dalam ruangan. Haikal tersentak, tatapannya yang semula penuh kebencian pada Arfan kini beralih pada sosok wanita yang selama ini ia buru dengan penuh nafsu kekuasaan.
"Zahra? Jadi kamu benar-benar bersembunyi di balik kain hitam itu?" Haikal menurunkan senjatanya sedikit, matanya menyipit penuh selidik.
"Jangan panggil aku dengan nama itu lagi, Haikal! Zahra sudah mati di atas aspal malam itu!" suara Fatimah melengking, berusaha menutupi ketakutan yang mencekat tenggorokannya.
"Cukup sandiwaranya, Tuan Putri. Ayahmu sudah menyiapkan jemputan mewah, bukan liang lahat seperti yang kamu bayangkan," Haikal melangkah maju, mengabaikan serpihan kaca yang mengancam.
Arfan terbatuk-batuk, berusaha bangkit sambil memegangi rusuknya yang mungkin saja sudah patah akibat tendangan Haikal tadi. Ia menatap Fatimah dengan tatapan tidak percaya, tidak menyangka bahwa wanita yang nampak begitu lemah lembut itu memiliki keberanian untuk kembali ke sarang serigala. Arfan tahu jika Fatimah tertangkap sekarang, maka pengorbanan Luna dan rencana mereka untuk mengungkap kebenaran akan berakhir sia-sia.
"Fatimah, lari! Jangan pedulikan aku, cepat pergi dari sini!" teriak Arfan dengan sisa-sisa kekuatannya.
"Aku tidak akan meninggalkanmu lagi, Tuan Arfan. Sudah cukup banyak nyawa yang hilang karena namaku!" Fatimah menyahut tanpa mengalihkan pandangan dari mata Haikal.
"Sangat romantis, tapi sayangnya keberanian tidak bisa menghentikan peluru," Haikal kembali mengangkat moncong senjatanya tepat ke arah dada Fatimah.
Suasana menjadi sangat sunyi, hanya detak jantung mereka yang berpacu melawan suara bising mesin yang mulai mengalami panas berlebih. Di sudut ruangan, sebuah kabel yang terkelupas akibat tembakan Haikal tadi mulai mengeluarkan percikan api, menyambar tumpukan kertas laporan yang berserakan. Fatimah bisa merasakan hawa panas mulai menjalar, namun kakinya seolah terpaku di atas lantai beton yang dingin dan lembap.
"Kenapa kamu melakukan ini, Haikal? Kamu tahu ayahku adalah seorang pembunuh!" Fatimah mencoba mengulur waktu sambil melirik ke arah Arfan.
"Bisnis adalah bisnis, Zahra. Ayahmu membayar kesetiaanku dengan harga yang tidak akan pernah bisa diberikan oleh pengacara miskin ini," jawab Haikal dingin.
"Kesetiaan di atas darah orang yang tidak bersalah tidak akan pernah berkah!" Fatimah mengepalkan tangannya hingga ujung kaca melukai telapak tangannya sendiri.
Darah segar mulai menetes dari jemari Fatimah, jatuh perlahan-lahan ke lantai dan menciptakan noda merah yang kontras di atas debu. Haikal nampak ragu sejenak saat melihat keteguhan di mata Fatimah, sebuah kilatan yang mengingatkannya pada mendiang ibu Zahra yang juga tewas secara misterius. Namun, ambisi mengalahkan nuraninya, ia memberi isyarat pada anak buahnya untuk segera meringkus Fatimah tanpa perlu melukainya lebih lanjut.
"Tangkap dia, tapi pastikan wajahnya tetap utuh untuk ayahnya!" perintah Haikal pada dua pria bertubuh besar di sampingnya.
"Jangan mendekat! Satu langkah lagi, aku akan menghancurkan kartu memori yang asli ini!" Fatimah mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan sebuah kepingan kecil.
"Jangan berbohong, Zahra. Aku tahu Arfan sudah menyembunyikannya di dalam sistem," Haikal tertawa kecil, meskipun matanya menunjukkan kecemasan.
Arfan yang menyadari situasi itu segera memberikan isyarat mata kepada Baskara yang ternyata sedang mengintai dari balik tumpukan kotak besi di belakang Haikal. Baskara bergerak tanpa suara, seperti bayangan yang menyelinap di tengah kegelapan yang semakin pekat akibat asap kebakaran. Arfan tahu bahwa mereka hanya memiliki satu kesempatan untuk membalikkan keadaan sebelum seluruh markas ini menjadi lautan api.
"Fatimah, sekarang!" teriak Arfan tiba-tiba sambil melempar sebuah botol cairan pembersih luka ke arah kabel yang terbakar.
Ledakan kecil terjadi, menciptakan kilatan cahaya yang sangat menyilaukan dan membuat perhatian Haikal serta anak buahnya teralihkan selama beberapa detik. Pada saat yang sama, Baskara melompat dari persembunyiannya dan melumpuhkan salah satu anak buah Haikal dengan sebuah pukulan telak di tengkuk. Fatimah segera berlari ke arah Arfan, merangkul bahu pria itu untuk membantunya berdiri di tengah kekacauan yang semakin menjadi-jadi.
"Kita harus keluar dari sini, Tuan Arfan! Asapnya semakin tebal!" Fatimah terbatuk-batuk sambil menarik lengan Arfan.
"Bawa ini, ini adalah kunci untuk membuka pintu rahasia di bawah meja utama," Arfan menyerahkan sebuah benda berbentuk silinder kecil.
"Bagaimana dengan Anda? Anda tidak bisa berjalan secepat itu dengan luka seperti ini!" Fatimah menatap cemas pada perban Arfan yang kini benar-benar merah pekat.
Haikal yang mulai sadar dari keterkejutannya melepaskan tembakan membabi-buta ke arah suara Fatimah, pelurunya menghantam meja besi hingga menimbulkan percikan bunga api. Baskara berusaha membalas tembakan tersebut sambil menyeret Arfan dan Fatimah menuju celah sempit di bawah meja yang terhubung dengan saluran pembuangan kota. Mereka merayap masuk ke dalam lorong yang sempit dan pengap, sementara di belakang mereka suara ledakan besar menghancurkan seluruh markas rahasia itu.
Di dalam saluran air yang gelap, mereka terengah-engah dengan napas yang terasa sangat berat akibat sisa-sisa gas air mata dan asap kebakaran. Arfan bersandar di dinding semen yang berlumut, wajahnya nampak sangat pucat seolah nyawanya sedang berada di ujung tanduk. Fatimah segera merobek bagian bawah gaunnya untuk membalut luka Arfan yang terus mengeluarkan darah tanpa henti.
"Tahan sebentar, Tuan. Saya akan mencoba menghentikan perdarahannya," bisik Fatimah dengan tangan yang masih gemetar hebat.
"Terima kasih, Fatimah. Aku tidak menyangka... kamu akan kembali untukku," suara Arfan terdengar sangat lemah dan terputus-putus.
"Anda sudah menyelamatkan saya berkali-kali, sekarang giliran saya yang menjaga Anda," jawab Fatimah sambil menekan luka di bahu Arfan.
Baskara yang berdiri di ujung lorong memperhatikan situasi di permukaan melalui lubang kecil di penutup lubang got yang terbuat dari besi. Ia melihat mobil-mobil polisi dan pemadam kebakaran mulai berdatangan menuju lokasi markas yang kini hanya menyisakan puing-puing berasap. Namun, di antara kerumunan itu, ia juga melihat beberapa mobil hitam yang sangat ia kenal, mobil milik keluarga Al-Fahri yang sedang berpatroli mencari keberadaan mereka.
"Kita tidak bisa diam di sini terlalu lama. Mereka mulai menyisir saluran air bawah tanah ini," ujar Baskara dengan nada yang dipenuhi ketegangan.
"Ke mana kita harus pergi? Panti asuhan sudah tidak aman lagi bagi Fatimah," tanya Arfan sambil mencoba mengatur napasnya yang pendek.
"Ada sebuah tempat di pinggiran kota, sebuah panti asuhan tua milik teman lama Ibu Sarah. Kita harus membawa Fatimah ke sana sebelum matahari terbit," Baskara mengusulkan rencana darurat.
Fatimah terdiam mendengar nama panti asuhan disebut, ia merasa dunianya benar-benar telah runtuh dan ia tidak memiliki tempat untuk pulang lagi. Ia menatap ke arah Arfan, pria yang kini menjadi satu-satunya pelindung yang ia miliki di tengah badai pengkhianatan ini. Di bawah cahaya lampu senter yang redup, ia melihat Arfan mencoba tersenyum, memberikan kekuatan kecil di tengah kegelapan yang menyelimuti mereka bertiga.
"Jangan takut, Fatimah. Selama aku masih bernapas, aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu," Arfan menggenggam tangan Fatimah dengan erat.
"Saya hanya ingin hidup tenang, Tuan. Kenapa nama saya harus menjadi kutukan bagi semua orang di sekitar saya?" Fatimah menangis tertahan di balik cadarnya.
"Ini bukan kutukan, ini adalah ujian untuk menyingkap kebenaran yang selama ini tertimbun oleh tumpukan uang dan kekuasaan," jawab Arfan dengan penuh keyakinan.
Baskara memberikan isyarat agar mereka segera bergerak kembali, mengikuti aliran air yang membawa mereka semakin jauh dari pusat kota yang berbahaya. Langkah kaki mereka bergema di dalam terowongan sunyi, menciptakan irama ketakutan yang terus membayangi setiap jengkal pergerakan mereka. Fatimah terus berdoa di dalam hati, memohon kekuatan agar ia bisa melewati malam yang seolah-olah tidak akan pernah berakhir ini.
Setelah berjalan hampir dua jam, mereka akhirnya menemukan sebuah tangga besi tua yang mengarah ke sebuah area perkebunan kosong di belakang sebuah bangunan tua. Baskara naik terlebih dahulu untuk memastikan keadaan aman, sementara Fatimah membantu Arfan menaiki anak tangga yang licin dan berkarat itu satu-persatu. Udara malam yang dingin seketika menyergap saat mereka berhasil keluar dari saluran air, membuat tubuh mereka yang basah kuyup menggigil hebat.
Pelarian di tengah hujan yang mulai turun dengan deras itu membawa mereka pada sebuah gerbang kayu lapuk yang bertuliskan Panti Asuhan Kasih Ibu.