Hana Nayaka tidak percaya, jika pria yang menikahinya dua tahun lalu dengan mudah menjatuhkan kata talak hanya karena dia mendatangi kantor tempat suaminya itu bekerja.
Sudah hampir 3 bulan belakangan ini, Adam Husain melewatkan sarapan dengan alasan harus datang ke kantor pagi-pagi sekali karena pekerjaannya sedang banyak dan mendesak.
Braakkk...
Rantang makanan yang dibawa Hana dilempar hingga semua isinya berhamburan.
"Dasar istri tidak berguna sudah miskin, udik, kampungan lagi. Untuk apa kamu datang ke kantor, mau buat aku malu karena punya istri macam kamu."
"Mulai hari ini, Hana Nayaka bukan istriku lagi. Aku jatuhkan talak satu." Ucap Adam lantang.
"Mas... Kamu kenapa tega padaku? Apa salahku?" Tangis Hana pecah di depan lobby perusahaan tempat Adam bekerja sebagai manager keuangan.
Hana pergi dengan membawa luka yang menganga dan dendam membara.
"Aku pasti akan membalasmu, Adam. Kamu lupa siapa aku." Gumamnya.
JANGAN MENABUNG BAB!
SUPAYA CERITA INI BERUMUR PANJANG.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erchapram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu Tak Diundang
"Bicara apaan sih Mama ini, lihat muka Hana bersemu merah. Pasti dia takut dan malu. Aku itu hanya sekedar perhatian, toh kalau aku suka memangnya kenapa? Sebentar lagi statusnya jelas. Tinggal minta Pak Yunus mempercepat proses perceraiannya, semua akan beres. Dan kali ini aku tidak peduli meskipun Mama akan menentangku."
"Setidaknya pilihanku lebih jelas statusnya daripada pilihan Mama yang katanya gadis baik-baik ternyata hanya WC Umum." Ucap Langit sarkas.
"Mengobral apem busuk di mana-mana, sangat menjijikkan." Lanjutnya lagi.
Nyonya Senja menunduk merasa bersalah. Sedangkan pipi Hana semakin merona. Bukan tersipu, tapi semua ucapan Langit terlalu vulgar membuatnya malu.
"Sudahlah Langit, jangan terus menyudutkan Mama kamu lagi. Mengingatkan kesalahan yang sudah satu tahun berlalu. Lupakan masa lalu, anggap itu adalah kesalahan pertama dan terakhir yang pernah Mama kamu lakukan. Sekarang Andai kamu serius ingin mengejar Hana, Papa dan Mama akan merestuimu asalkan status Hana sudah selesai." Tegas Tuan Angkasa.
Nyonya Senja tampak mengangguk tulus. Terlihat senyum kecil dari bibir wanita yang masih cantik di usianya yang tidak lagi muda.
"Dengan ketulusan hati yang terdalam, Mama minta maaf padamu Langit. Sekarang Mama bebaskan kamu memilih, menentukan sendiri jodoh masa depanmu. Terserah dengan siapa, asalkan wanita itu baik dan bisa membahagiakanmu."
"Termasuk jika wanita itu Hana. Mama merestui jika kamu meminangnya menjadi istrimu." Ucap Nyonya Senja.
"Maaf... Tuan Angkasa, Nyonya Senja dan Tuan Langit saya menyela. Apakah kalian tidak ingin mendengarkan pendapat saya tentang pembahasan ini. Jujur terus terang saya merasa terhormat dan dihargai dengan cinta dan ketulusan dari kalian bertiga."
"Tapi untuk saat ini dan entah sampai kapan, jawaban saya masih sama. Saya masih ingin menikmati hidup menjadi seorang janda. Saya akan buktikan kepada mantan, jika dia pasti menyesal telah menyakiti dan membuang seperti sampah. Saya memang gendut, tapi saya punya harga diri yang tidak sembarang orang boleh menginjak-injak."
"Jadi, kamu menolakku Hana? Kamu masih mencintai pria mokondo itu. Tega sekali, apa kurangnya aku dibanding pria tukang celup itu? Apa kamu menolak karena penampilanku? Aku begini juga karenamu, Hana." Setelah mengatakan kalimat bernada ambigu, Langit memundurkan kursinya dengan kasar. Lalu dia keluar rumah dengan raut wajah yang menyimpan amarah.
"Apa kalian dengar? Langit mengucapkan kalimat 'Aku begini juga karenamu, Hana'. Apa kalian sudah pernah bertemu sebelum pertemuan beberapa hari yang lalu di Lobby Perusahaan?" Tanya Nyonya Senja semakin penasaran.
"Maaf Nyonya, sebelumnya saya belum pernah bertemu dengan Tuan Langit. Kemarin itu adalah pertemuan pertama, karena sebelumnya hanya mendengar nama."
"Lalu apakah kamu yakin menolak putraku, dia meskipun terlihat urakan, keras dan mudah marah, tapi hatinya sebenarnya baik dan lembut. Aku yakin, kalau sebenarnya Langit sudah lama menaruh hati padamu. Tapi lebih tepatnya kapan itu, kami juga tidak pernah mengetahuinya. Karena Langit termasuk orang yang tertutup, apalagi jika masalah hati."
Ucapan panjang lebar Nyonya Senja, membuat Hana semakin tidak enak hati dan merasa sangat bersalah. Tapi, bukankah ini perkara hati. Tidak mungkin dia harus kembali berkorban untuk perasaan orang lain. Sedangkan hatinya saat ini masih terluka, masih basah dan menganga. Hana butuh waktu setidaknya setahun, untuk mengobati sendiri luka itu.
Sesaat keheningan terjadi di ruang makan itu, hingga lamunan mereka semua buyar kala datang sosok yang tadi sempat mereka bicarakan.
"Pagi... Om... Tante..." Dengan tidak sopan, Marisa menggeser kursi lalu duduk meskipun sapaannya belum dijawab.
"Wah... Kalian sedang sarapan. Kok ngajak pembantu makan di meja makan. Menjijikkan." Ucap Marisa mencemooh.
"Ma... Papa ke ruang kerja. Ingat jangan ulangi kesalahan yang sama." Ucap tegas Tuan Angkasa.
"Ada apa kamu datang Marisa? Kita tidak ada hubungan lagi." Ucap Nyonya Senja sambil menatap tidak suka Marisa yang mengambil piring dan mengisinya dengan makanan tanpa dipersilahkan oleh pemilik rumah.
"Sebentar Tante, aku sarapan dulu."
Hana diam menyaksikan tamu di hadapannya, yang jika tidak salah dengar namanya dia adalah calon istri Langit yang dijodohkan dulu. Dalam hati Hana mau tertawa, kok bisa-bisanya yang katanya gadis baik dan dari keluarga terpandang justru memiliki attitude nol. Duduk dan makan tanpa dipersilahkan, bukankan itu terlihat sangat memalukan.
Setelah menunggu Marisa selesai makan, kemudian Nyonya Senja melipat tangannya.
"Ada apa kamu datang dengan tidak sopan seperti ini Marisa."
"Memangnya salah jika aku datang ke rumah calon mertuaku sendiri. Lagian sudah lama aku tidak melihat Langit, aku rindu padanya. Oh... Ya ngomong-ngomong kenapa ada gajah di meja makan?"
"Sepertinya kamu sudah hilang ingatan, kamu bukan calon istri Langit. Pertunangan itu sudah lama batal, karena ternyata aku sudah salah memilihkan calon istri untuk putraku. Jadi, jangan panggil calon mertua. Karena yang kamu panggil gajah, dialah calon menantuku yang sesungguhnya. Namanya Hana, dia calon istri pilihan Langit." Ucap Nyonya Senja.
Braakkk...
"Apa-apaan ini Tante. Kalian pasti sudah terkena guna-guna dari gajah betina ini. Menolakku yang bertubuh sexy demi wanita penuh lemak sana sini. Ini mustahil, tidak masuk akal. Aku tidak terima penghinaan ini. Tante sendiri yang dulu memilihku, maka jangan salahkan aku jika terus mengejar Langit." Ucap Marisa.
"Tapi kamu harus terima kenyataan, jika Langit menolakmu karena sifatmu. Kamu yang sudah menipuku, Marisa. Mungkin Mama kamu tidak tahu, sehingga dia tidak bisa menegurmu. Tapi Langit sudah tahu semua, rekam jejakmu yang begitu buruk. Dan aku sebagai Mamanya Langit juga setuju dengan keputusan Langit waktu itu." Balas Nyonya Senja.
"Come on Tante, ini jaman modern. Jangan permasalahkan perawan atau tidak dalam menilai seorang perempuan. Sudah tidak jamannya bersikap cupu. Aku ini gadis kota, aku pernah tinggal di Luar Negeri. Jadi hal seperti itu sudah biasa bagiku, bukan tabu lagi. Intinya, aku tidak mau disingkirkan. Apalagi harus bersaing dengan gajah."
"Cukup, sedari tadi kamu terus saja menghinaku dengan sebutan gajah. Padahal aku tidak pernah menyinggungmu. Tentang Langit, jika dia tidak mau denganmu harusnya itu kamu bisa sedikit saja sadar diri. Itu artinya kamu tidak menarik. Bentuk tubuh bukan patokan untuk seseorang terlihat menarik, karena kita masing-masing punya kharisma tersendiri."
"Mungkin Langit tidak memandang body, tapi dia melihat inner beauty. Bisa jadi di mata Langit aku lebih cantik daripada kamu."
Meskipun berbicara dengan bahasa yang santai dengan nada sedikit rendah. Entah mengapa justru Marisa merasa wanita di depannya ini berbahaya. Saingan yang sangat berat untuknya, seberat timbangan badan yang berbeda.