Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batas Penghinaan
Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul sebelas malam ketika Indira memutar kunci pintu depan. Hari panjang di kantor yang dipenuhi dengan rapat dengan investor, review kontrak proyek baru, dan persiapan ekspansi Zamora Company ke tiga kota besar membuatnya lelah tapi puas.
Pintu terbuka. Indira melangkah masuk dengan tas kerja di bahu dan heels yang mulai membuatnya pegal. Ia berniat langsung naik ke kamar, mandi air hangat, dan mungkin membaca laporan keuangan sambil minum wine sebelum tidur.
Tapi langkahnya terhenti begitu matanya menangkap pemandangan di ruang keluarga.
Di sana, di sofa yang biasa ia duduki untuk menonton televisi atau membaca buku, Rangga duduk bersama seorang wanita. Ayunda. Istri keduanya.
Mereka duduk sangat dekat, terlalu dekat untuk dua orang yang seharusnya tahu ada istri sah yang masih tinggal di rumah ini. Rangga memeluk pinggang Ayunda, sementara kepala wanita itu bersandar manja di bahu suaminya. Di meja ada dua gelas wine yang hampir habis, dan televisi menyala dengan film romantis yang sedang diputar.
Pemandangan domestik yang sempurna. Pemandangan sepasang pengantin baru yang sedang menikmati malam bersama.
Di rumah yang bukan milik mereka berdua.
Indira berhenti di ambang ruang tamu, menatap adegan itu dengan wajah tanpa ekspresi. Tidak ada terkejut. Tidak ada marah. Tidak ada lagi yang bisa membuat hatinya yang sudah mati rasa itu tersentuh.
Ayunda adalah orang pertama yang menyadari kehadirannya. Wanita itu langsung duduk tegak, sedikit terlonjak. Tapi kemudian entah karena berani atau karena bodoh ia tersenyum.
"Kak Indira, sudah pulang?" sapanya dengan nada yang dibuat-buat ramah.
Indira tidak menjawab. Ia hanya menatap sekilas dengan tatapan kosong, yang tidak berminat lalu berbalik, hendak naik tangga.
"Indira, tunggu." Suara Rangga menghentikan langkahnya.
Indira berhenti di anak tangga pertama, tapi tidak berbalik. Punggungnya menghadap mereka, sikap yang jelas menunjukkan ia tidak tertarik untuk bicara.
"Kita... perlu bicara," Rangga berdiri, melepaskan pelukannya pada Ayunda. Suaranya terdengar gugup.
"Tidak perlu," jawab Indira datar. "Aku lelah. Aku mau istirahat."
"Tapi Indira..."
"Apa?" kali ini Indira berbalik, menatap suaminya dengan tatapan yang membuat Rangga mundur selangkah. Tidak ada amarah di mata itu. Yang ada hanya kekosongan yang lebih menakutkan dari teriakan. "Apa yang perlu dibicarakan? Kalian sudah menikah. Kalian sudah jadi pasangan suami istri yang sah. Apa lagi yang perlu dijelaskan?"
"Aku... ingin minta maaf," Rangga menelan ludah, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Maafkan aku karena... menikah lagi dengan Ayunda tanpa... izinmu."
Indira hampir tertawa. Izin? Sejak kapan pengkhianat minta izin sebelum berkhianat?
"Oke," ucapnya singkat. "Apology accepted. Sekarang aku bisa pergi?"
"Tidak, tunggu," Rangga melangkah mendekat, tapi tidak terlalu dekat seolah takut Indira akan meledak. "Aku... ingin jelaskan alasannya."
"Tidak perlu..."
"Kita sudah menikah tiga tahun, Dira," potong Rangga, suaranya mulai terdengar defensif. "Tiga tahun, dan kamu tidak kunjung hamil. Aku... butuh keturunan. Aku butuh anak untuk meneruskan perusahaan keluarga. Dan dokter bilang kamu yang..."
"Mandul?" Indira menyelesaikan kalimatnya dengan nada yang sangat tenang. "Kata yang kamu cari adalah 'mandul', Rangga. Dokter bilang aku yang mandul. Jadi kamu menikahi wanita lain untuk dapat anak. Begitu?"
Rangga terdiam, tidak menyangka Indira bisa sesabar ini mendengar alasan yang jelas-jelas menyakitkan.
"Ya," akhirnya ia mengakui. Toh Indira sudah tahu. "Aku butuh keturunan. Dan Ayunda... bisa memberikan itu."
Indira menatap suaminya atau mantan suaminya, karena dalam hatinya ia sudah tidak menganggap pria ini sebagai apa-apa lagi. Ia ingin tertawa. Ingin berteriak. Ingin mengatakan bahwa ia tidak mandul.
Tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
"Baiklah," ucap Indira. "Kalau itu alasanmu, oke. Aku mengerti. Sekarang aku bisa pergi?"
Rangga menatap istrinya dengan campuran lega dan bingung. Kenapa Indira semudah ini menerima? Kenapa tidak ada tangisan? Tidak ada drama?
"Ada satu hal lagi," Rangga melanjutkan, kali ini semakin gugup. "Aku... mengajak Ayunda untuk tinggal di sini. Bersama kita."
Akhirnya Indira bereaksi, alisnya terangkat sedikit. "Di rumah ini?"
"Ya," jawab Rangga cepat. "Aku pikir... akan lebih baik kalau kalian bisa kenal lebih dekat. Ayunda adalah bagian dari keluarga sekarang. Dan aku harap kalian bisa akrab. Saling mendukung. Seperti... saudara."
Keheningan mengisi ruang tamu. Ayunda menatap Indira dengan tatapan menilai, mencoba membaca reaksi wanita yang seharusnya menjadi musuhnya. Rangga berdiri dengan napas tertahan, menunggu ledakan yang tidak pernah datang.
Dan Indira? Indira hanya menatap suaminya dengan tatapan yang tidak bisa dibaca.
Seperti saudara.
Absurd tidak cukup menggambarkan situasi ini. Ini adalah penghinaan level tertinggi.
"Oke," akhirnya Indira menjawab dengan nada yang membuat Rangga tidak yakin ia mendengar dengan benar.
"Oke?" ulang Rangga. "Maksudmu... kamu setuju?"
"Ya," jawab Indira datar. "Ayunda bisa tinggal di sini. Aku tidak keberatan."
Rangga menghela napas panjang, napas lega yang sangat terlihat jelas. "Terima kasih, Dira. Aku... tidak menyangka kamu akan sebaik ini. Aku pikir kamu akan marah, tapi ternyata kamu..."
"Aku mau ke kamar," potong Indira, sudah tidak tertarik mendengar lebih jauh. "Permisi."
Ia berbalik, hendak naik tangga. Tapi suara Rangga menghentikannya lagi.
"Dira, tunggu. Ada satu hal lagi."
Indira berhenti, tidak berbalik. Ia sudah tahu. Entah kenapa ia sudah tahu apa yang akan Rangga katakan selanjutnya. Dan ia sudah menyiapkan mental untuk itu.
"Kamar utama," Rangga berbicara pelan, hampir berbisik. "Aku... sudah pindahkan barang-barangmu ke kamar tamu. Yang di ujung koridor. Kamar utama sekarang... untuk aku dan Ayunda."
Hening.
Tidak ada reaksi dari Indira. Ia hanya berdiri diam di tangga, punggungnya menghadap mereka. Tapi jika Rangga bisa melihat wajahnya, jika ia cukup berani untuk menatap mata Indira saat ini, ia akan melihat kilatan sesuatu yang gelap. Sesuatu yang berbahaya.
Tapi Rangga tidak melihat. Ia hanya melihat punggung istrinya yang diam, dan ia mengartikannya sebagai penerimaan.
"Aku harap kamu mengerti," lanjut Rangga, terdengar lega karena Indira tidak berteriak. "Ayunda adalah istri ku sekarang. Dan sebagai istri, dia berhak atas kamar utama. Tapi kamar tamu juga nyaman, kok. Bahkan lebih luas dari..."
"Aku mengerti," potong Indira dengan suara yang sangat, sangat tenang. Terlalu tenang. "Aku akan tidur di kamar tamu."
"Terima kasih, Dira," Rangga terdengar begitu lega hingga hampir gembira. "Terima kasih sudah pengertian. Aku... tahu ini berat untukmu, tapi percayalah, ini yang terbaik untuk kita semua. Kita bisa hidup harmonis. Seperti keluarga besar."
Indira tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan naik tangga satu anak tangga, dua anak tangga, dengan langkah yang terkontrol dan tenang. Sampai di lantai dua, ia berjalan melewati kamar utama menuju kamar tamu di ujung koridor.
Pintu kamar utama sedikit terbuka, dan Indira bisa melihat sekilas barang-barang Ayunda sudah berserakan di dalam. Tas mahal di sofa. Sepatu-sepatu di rak. Parfum di meja rias yang dulu milik Indira.
Ia tidak berhenti. Ia terus berjalan sampai ke kamar tamu, kamar yang biasa dipakai untuk tamu menginap, yang meskipun nyaman tapi jelas bukan kamar utama.
Indira membuka pintu. Benar saja, barang-barangnya sudah dipindahkan ke sini. Pakaiannya di lemari, skincare-nya di meja kecil, buku-bukunya di rak samping tempat tidur. Semuanya sudah dipindahkan dengan rapi, seolah ini adalah hal yang wajar, seolah ini bukan pengusiran dari kamarnya sendiri.
Indira menutup pintu. Menguncinya. Lalu berjalan ke jendela, menatap keluar ke taman belakang yang gelap.
Tangannya yang tadi terkepal erat perlahan mengendur. Ia menarik napas panjang satu, dua, tiga. Mengontrol diri. Mengontrol amarah yang ingin meledak.
Di saku blazer-nya, ponsel bergetar. Pesan dari Rani.
"Gimana? Sudah pulang? Dinner tadi enak kan?"
Indira menatap pesan itu. Dinner tadi dua jam lalu memang enak. Ia dan Rani makan di restoran Jepang merayakan kesuksesan langkah pertama rencana mereka. Saat itu ia merasa senang, merasa berkuasa, merasa menang.
Tapi sekarang?
Sekarang ia pulang dan menemukan selingkuhan suaminya sudah mengambil alih rumahnya. Mengambil alih kamarnya. Duduk di sofa-nya. Minum wine dari gelas-nya.
Dan suaminya yang begitu bodoh, berfikir jika Indira menerima semua ini karena ia pengertian.
Indira mengetik balasan dengan jari yang bergetar karena amarah yang ia tahan.
"Ran, kamu tidak akan percaya apa yang baru terjadi. Rangga membawa Ayunda tinggal di rumahku. Dan mereka mengusirku dari kamar utama ke kamar tamu."
Balasan Rani datang dalam hitungan detik.
"APA?! DIA GILA?! DIRA, KAMU GAPAPA??"
"Aku baik-baik saja. Lebih dari baik."
"Maksudmu?"
"Rangga pikir aku 'menerima' dengan baik. Dia pikir aku 'pengertian'. Dia tidak tahu bahwa setiap penghinaan yang dia lakukan hari ini akan aku balas sepuluh kali lipat."
"Dira... apa rencanamu?"
Indira menatap keluar jendela, ke arah kamar utama yang lampunya masih menyala. Ia bisa mendengar samar-samar suara tawa Ayunda,tawa seorang wanita yang pikir ia sudah menang.
"Aku akan biarkan mereka merasa aman. Biarkan mereka pikir aku sudah menyerah. Biarkan mereka menikmati kemenangan palsu mereka. Dan saat mereka lengah, saat mereka sudah merasa paling aman..."
Indira berhenti mengetik, senyum tipis muncul di bibirnya, senyum yang dingin, yang penuh perhitungan.
"...aku akan menghancurkan semuanya. Tidak hanya perusahaan Rangga. Tapi juga pernikahan mereka. Harga diri mereka. Masa depan mereka. Semuanya."
Indira mematikan ponselnya, meletakkannya di meja nakas. Ia melepas blazer, melepas heels, lalu duduk di tepi tempat tidur, tempat tidur di kamar tamu, di rumahnya sendiri.
Ia tidak menangis. Air mata sudah habis sejak lama. Yang tersisa hanya kemarahan yang dingin, yang terkontrol, yang berbahaya.
Rangga pikir Indira pengertian. Rangga pikir Indira lemah. Rangga pikir Indira menerima penghinaan demi penghinaan dengan pasrah.
Tapi Rangga tidak tahu siapa Indira sebenarnya. Ia tidak tahu bahwa wanita yang ia usir dari kamar utama adalah pemilik perusahaan yang baru saja menghancurkan proyek terbesar perusahaannya.
Ia tidak tahu apa-apa.
Dan ketidaktahuannya itu akan menjadi kehancurannya.