"Aku tidak butuh uangmu, Pak. Aku hanya butuh tanggung jawabmu sebagai ayah dari bayi yang aku kandung!" tekan wanita itu dengan buliran air mata jatuh di kedua pipinya.
"Maaf, aku tidak bisa!" Lelaki itu tak kalah tegas dengan pendiriannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Axel muntah
Axel berusaha untuk mengontrol dirinya agar tak ke bablasan. Sindy yang sudah mabuk berat, tangannya tak bisa diam. Axel menambah kecepatan laju kendaraannya. Ia ingin segera sampai di hotel agar Sindy segera istirahat.
Setelah sampai hotel yang di tuju, Axel segera memesan kamar dan membawa sindy untuk istirahat.
"Malam ini kamu menginaplah disini. Besok pagi-pagi aku akan datang menjemputmu," ucap Axel. Meskipun ia sangat mencintai sindy, tetapi ia tak ingin merusaknya sebelum menjadi halal. Jika ia memutuskan untuk ikut tidur dengan sindy, maka ia tidak yakin bisa mengontrol diri.
"Mas, jangan tinggalkan aku. Kamu temani aku disini," rengek sindy meraih tangan Axel sehingga membuat lelaki itu hampir ambruk di atas tubuhnya.
"Aku harus pulang, sindy. Kamu istirahatlah disini. Lagian kamu kenapa pake mabuk segala sih." Axel bangkit dan menyelimuti tubuh Sindi dengan kain tebal yang tersedia di sana.
Sindy yang memang sudah teler, matanya terasa sangat berat dan ia sudah tak sadar lagi apa yang di katakan oleh Axel.
Axel baru saja keluar dari hotel, suara dering ponsel membuatnya segera merogoh saku celana. Ternyata panggilan dari mama.
"Ya, Ma?" jawab lelaki itu seraya membuka pintu mobil.
"Kamu dimana? Kenapa jam segini belum pulang juga? Mulai nggak terkontrol sejak bertemu dengan wanita itu," ucap mama dengan nada marah.
"Mama apaan sih, nelpon marah-marah nggak jelas," sahut Axel malas sekali.
"Bagaimana nggak marah. Pergi dari pagi, sampai sekarang masih belum pulang. Kamu ketemuan dengan wanita itu lagi?"
"Aish, nanti aja marahnya Ma, ini aku udah jalan balik nih." Axel mematikan sambungan telpon dari sang mama. Kenapa sampai sekarang mama masih belum bisa menerima sindy.
Axel sampai di rumah saat waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Tentu saja semua orang sudah pada tidur. Mungkin mama masih bangun, karena baru beberapa menit yang lalu menelponnya.
Axel tak lantas naik ke lantai dua, ia menuju dapur untuk mengambil air minum. Namun, ia terjingkat saat mendapati sosok berambut panjang yang tengah membelakangi. Sepertinya sosok itu sedang membuka kulkas.
Sofia yang mendengar ada suara langkah kaki, maka ia juga terkesiap. Hampir saja kotak eskrim yang ada di tangannya terlepas.
"Kamu lagi ngapain? Kenapa nggak di hidupkan lampunya? Buat orang kaget aja," omel Axel menatap kesal pada Sofia.
Sofia menanggapi ocehan Axel biasa saja. Rasanya malas sekali bertatap muka dengan ayah anaknya itu. Daripada bayinya kembali mual melihat wajah ayahnya, lebih baik ia segera menghindar.
Sofia tak menyahut ucapan Axel. Ia hendak berlalu dari hadapan Axel untuk segera kembali ke kamarnya.
"Tunggu!" cegah lelaki itu menghadang di hadapan Sofia. Netranya mengamati kotak yang yang ada di tangan Sofia.
"Apa itu?" tanyanya sembari memperhatikan barang bawaan Sofia.
"Eskrim," jawab wanita itu singkat.
"Dapat darimana kamu?"
"Dapat, mana ada orang yang buang. Ini di beliin dokter Seno," jawab Sofia memang begitu.
"Seno yang beliin?" tanya Axel tak percaya. Perhatian sekali adiknya itu.
"Iya, kenapa? Nggak percaya kalau eskrim ini di beliin dokter Seno? Baik kan dia?" jawab Sofia dengan sedikit pujian untuk sang dokter.
"Lalu, kamu merasa senang dan besar kepala bila di perhatikan oleh adikku? Atau jangan-jangan kamu...."
"Ya, jika nanti dokter Seno ada niatan mau menikahi aku, maka dengan senang hati aku terima," potong Sofia membuat Axel menatap garang.
"Kamu nggak tahu malu banget ya? Apakah kamu sengaja ingin balas dendam padaku dengan cara memanfaatkan kebaikan keluargaku, begitu?" tekan Axel sangat muak.
Sofia tersenyum getir. Kata-kata yang di lontarkan oleh lelaki ini tidak pernah ada baiknya. Kemana perginya sikap baiknya selama ini? Sebelum terjadinya insiden itu, Axel sangat baik dan bicaranya sopan. Tetapi kini menguap bersamaan hadirnya calon bayi yang ada di rahimnya. Tidak bisakah dia bersikap biasa saja tanpa harus membenci.
Sofia tak lagi mau meladeni kata-kata Axel yang menyebalkan. Lebih baik ia segera menepi demi ketenangan batinnya.
"Aku belum selesai bicara, Sofia!" lagi-lagi Axel menghadang langkah Sofia.
Sofia mengangkat wajahnya dengan tatapan muak sekali. "Apalagi yang ingin kamu bicarakan? Apakah kamu belum puas dengan segala tuduhan kejimu itu?"
"Hng! Jangan merasa apa yang aku katakan adalah tuduhan keji. Padahal semuanya adalah kenyataan. Kamu menolak uang yang aku berikan, tetapi kamu sengaja mencari perhatian kedua orangtuaku. Dan sekarang, kamu mencari perhatian adikku."
"Ya, aku memang seperti yang kamu tuduhkan. Aku memang buruk di matamu. Maka dari itu aku ingin mengambil kesempatan segala kebaikan keluargamu."
"Aku tidak akan membiarkan kamu memperalat Seno. Aku akan...." Axel tak meneruskan ucapannya.
"Akan apa, Pak? Kamu akan mengatakan yang sebenarnya pada mereka? Ayo katakan yang sebenarnya. Jika kamu tidak berani mengatakan yang sebenarnya, maka aku akan menerima lamaran dokter Seno," urai Sofia. kata-kata yang di ucapkannya spontan keluar begitu saja. Padahal Seno belum ada bicara mengarah kesana. Ah, rasanya ia sangat malu bila Seno mendengarnya.
"Kamu berani menantangku, Sofia?" ucap Axel menggeram kesal.
"Kenapa aku tidak berani? Bapak ingin melenyapkan aku dan bayiku? Lakukan saja, aku tidak akan takut!" tantang Sofia menatap muak.
"Kamu...." Axel menunjuk Sofia dengan rahang mengeras. Namun, perutnya mendadak mual.
Hueek! Hueek! Hueek!
Axel mengeluarkan muntahnya di wastafel yang ada di dapur. Perutnya terasa di aduk dan sangat mual. Kepalanya juga mendadak pusing kliyengan.
Sofia yang masih mematung di sana, ia hanya memperhatikan tanpa minat membantu. Sofia mengusap perutnya sembari berkata dalam hati.
"Anak ibu sangat pintar. Mulai sekarang jika dia bersikap buruk terhadap kita, kamu siksa saja dia. Sungguh ibu ridho Nak," batin wanita itu membawa bayinya bicara. Yakin sekali apa yang sedang terjadi pada Axel karena bayinya tidak rela bila dirinya di sakiti oleh pria itu.
Sofia membiarkan saja Axel kepayahan mengeluarkan cairan dalam perutnya. Ia memilih duduk di kursi meja makan sembari menikmati eskrim coklat yang sengaja di belikan oleh Seno untuk dirinya.
Axel mencuci wajahnya setelah perutnya terasa sedikit baikan. Ia melihat Sofia duduk santai menikmati eskrim yang sedari tadi sudah menarik perhatiannya.
"Sialan, kenapa aku juga pengen banget makan eskrim. Ck, mana nggak ada stok lain di kulkas," batin Axel sembari membuka pintu bagian freezer.
Axel berjalan menghampiri Sofia. Sebenarnya malas sekali untuk meminta sedikit saja milik wanita itu. Ia juga malas mau keluar jam segini.
Axel tak lantas mengutarakan keinginannya. Ia berdiri di samping Sofia. Hal itu membuat wanita hamil itu merasa risih. Ia segera berdiri dan hendak kembali ke kamar. Namun, kotak eskrim itu ikut serta ia bawa. Axel berharap Sofia akan mengembalikan ke dalam freezer, jadi ia tak perlu mempermalukan diri untuk mengambil sedikit saja.
"Mau kemana kamu?" tanya Axel.
"Mau balik ke kamar," jawab Sofia ketus.
"Aku minta eskrim kamu sedikit," ucap Axel menekan rasa malu.
Sofia mencibir. "Minta, beli sendiri sana. Kan banyak duit, masa beli eskrim segini aja nggak mampu."
"Bukan tidak mampu ya, ini udah malam. Mana ada mini market yang buka jam segini," intrupsinya menatap malas.
"Ada apa ini?" tanya mama yang sudah berdiri di hadapan mereka.
Axel dan Sofia terkesiap secara bersamaan. Sejak kapan mama ada di sana? Apakah mama mendengar perdebatan mereka tadi?
Bersambung.....