Masuk ke situs gelap. Cassia Amore nekat menjajakan dirinya demi bisa membiayai pengobatan ibunya. Kenekatan itu membawa Amore bertemu dengan Joel Kenneth pengusaha ternama yang namanya cukup disegani tak hanya bagi sesama pengusaha, namun juga di dunia gelap!
“Apa kau tuli, Amore?” tanya Joel ketika sudah berhadapan langsung tepat dihadapan Cassia. Tangannya lalu meraih dagu Cassia, mengangkat wajah Cassia agar bersitatap langsung dengan matanya yang kini menyorot tajam.
“Bisu!” Joel mengalihkan pandangan sejenak. Lalu sesaat kembali menatap wajah Cassia. Maniknya semakin menyorot tajam, bahkan kini tanpa segan menghentakkan salah satu tungkainya tepat di atas telapak kaki Cassia.
“Akkhhh …. aduh!”  Cassia berteriak.
“Kau fikir aku membelimu hanya untuk diam, hmm? Jika aku bertanya kau wajib jawab. Apalagi sekarang seluruh ragamu adalah milikku, yang itu berarti kau harus menuruti semua perkataanku!” tekan Joel sangat arogan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fakrullah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER—16
Glek!
Cassia terpekur. Sorot mata Joel yang menatapnya tajam seolah membius dirinya. Pesona pria itu lagi-lagi berhasil mengacaukan perasaannya. Kegelisahan tentang Luke—dan bayangan orang-orang yang mengincarnya—mendadak lenyap, tergantikan oleh debar yang terlalu jujur.
Tatapan Joel tak berpaling. Cassia bisa merasakan udara di antara mereka menegang, seakan waktu ikut menahan napas. Ia ingin berbalik, menjauh, tapi matanya enggan berpaling.
Sekilas, ingatan itu datang—malam ketika Joel menatapnya dengan cara yang sama. Tatapan yang dingin, tapi menyimpan bara. Dan pertanyaan yang saat itu terdengar seperti kecemburuan.
‘Astaga... apa-apaan aku ini? Bagaimana bisa aku memikirkannya sekarang?!’
“Ck.” Joel mendengus pelan. “Tidak kusangka, sekretaris Cassia... ternyata kau benar-benar wanita bermasalah. Sudah menghabiskan waktu dengan kekasihmu, lalu membuat masalah dengan pria lain?”
Tatapannya turun sekilas ke leher Cassia. Gerakan itu cukup untuk membuat wanita itu refleks ingin menutupi diri, tapi Joel sudah berdiri terlalu dekat. Ia mengurungnya tanpa kata.
“Berapa ronde?” ucap Joel, nada suaranya ambigu—tapi Cassia langsung mengerti arah pikirannya.
“A-anda salah paham!”
Joel menaikkan alis, senyumnya tipis. “Menutupi, hm? Sayangnya, sesuatu yang terlihat nyata lebih mudah dipercaya daripada sekadar kata-kata, sekretaris Cassia.”
Tatapannya kembali jatuh ke leher wanita itu—dan Cassia merasakan sesuatu yang berbeda kali ini. Bukan sekadar sikap seorang atasan kepada bawahannya, melainkan sesuatu yang lebih gelap... dan lebih berbahaya dari itu.
Tatapan Joel semakin dalam, seolah hendak menembus lapisan jiwa Cassia yang paling rapuh. Udara di antara mereka menipis. Napas Cassia tercekat ketika wajah Joel perlahan mendekat, begitu dekat hingga aroma samar dari napas pria itu memenuhi pikirannya.
Cassia tak sanggup berkata apa-apa. Ada sesuatu dari cara Joel menatapnya—bukan amarah, bukan pula kelembutan—tapi sesuatu yang membuat jantungnya berdegup tak teratur.
Ketika jarak di antara mereka hampir lenyap, Cassia memejamkan mata, menunggu sesuatu yang bahkan ia sendiri tak bisa definisikan.
Namun detik berikutnya, Joel menarik diri. Sentuhan itu tak pernah terjadi.
Suara napasnya berat, nyaris terdengar seperti seseorang yang menahan sesuatu jauh lebih besar dari sekadar dorongan sesaat. Ia berbalik, menatap tembok seolah berusaha mengembalikan kendali atas dirinya sendiri.
“Kau seharusnya tahu cara menjaga jarak,” katanya akhirnya, suaranya rendah, datar—tapi ada getar samar di sana, seperti sesuatu yang tak sempat selesai diucapkan.
Cassia tetap diam. Matanya menatap punggung Joel yang kaku, mencoba membaca maksud di balik nada suaranya—tapi tak menemukan apa-apa selain kehampaan yang terlalu sunyi.
Dan entah mengapa, kehampaan itu terasa lebih menyakitkan daripada kemarahan.
Cassia membuang napas keras.
“Dasar bodoh… apa yang sebenarnya kuharapkan tadi?”
Ia menunduk, menggigit bibirnya sendiri, menahan malu dan jengkel sekaligus. Bayangan wajah Joel yang nyaris menyentuhnya masih menari di pikirannya—terlalu dekat, terlalu hidup. Ia menepuk pipinya pelan, mencoba menepis degup aneh di dadanya.
Saat Cassia menatap lagi, Joel sudah kembali seperti semula. Dingin. Tegas. Seolah detik tadi hanyalah khayalan singkat yang tidak pernah terjadi.
Mereka diam selama perjalanan. Hanya suara mesin mobil yang memecah sunyi. Lampu-lampu kota berlari di kaca jendela, menciptakan bayangan bergantian di wajah Cassia yang lelah.
Mobil berhenti di depan mansion megah milik Joel. Cassia menoleh, keningnya berkerut. Belum sempat ia bertanya, suara Joel terdengar pelan tapi tegas.
“Kau akan menginap di sini malam ini.”
Cassia menatapnya, tercengang.
Joel menambahkan tanpa menoleh, suaranya datar, nyaris tanpa emosi. “Besok pagi kita mulai bekerja lebih awal. Akan ada banyak hal yang harus kau siapkan.”
Tak ada ruang untuk protes. Hanya perintah.
Dan di balik ketenangan suaranya, Cassia merasa ada sesuatu yang lain—sesuatu yang belum sempat diucapkan Joel, tapi menggantung di udara seperti rahasia yang menolak reda.