Melati berubah pendiam saat dia menemukan struk pembelian susu ibu hamil dari saku jas Revan, suaminya.
Saat itu juga dunia Melati seolah berhenti berputar, hatinya hancur tak berbentuk. Akankah Melati sanggup bertahan? Atau mahligai rumah tangganya bersama Revan akan berakhir. Dan fakta apa yang di sembunyikan Revan?
Bagi teman-teman pembaca baru, kalau belum tahu awal kisah cinta Revan Melati bisa ke aplikasi sebelah seru, bikin candu dan bikin gagal move on..🙏🏻🙏🏻
IG : raina.syifa32
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raina Syifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Pintu rumah terbuka perlahan, Melati berdiri di ambang dengan tangan menggenggam tas perlengkapan bayi. Di depan pintu, sosok wanita paruh baya muncul, wajahnya memancarkan kehangatan meski garis-garis halus usia mulai nampak di sudut matanya. Senyum lebar terpancar dari bibir Sandra begitu melihat Melati. "Melati, kamu pulang, nak?" sapanya dengan suara lembut dan penuh kasih.
Melati membalas dengan anggukan pelan, matanya yang sedikit sayu menatap Sandra. Namun, sebelum Melati sempat bicara lebih jauh, Sandra mengalihkan pandangannya ke sekeliling halaman seolah mencari seseorang. "Revan mana?" tanyanya dengan nada penasaran.
Melati menggeleng pelan, napasnya seolah tertahan sejenak. "Aku dari Jogja sendirian, Ma," jawabnya lirih, suaranya bergetar tipis menahan perasaan yang tak ingin ia ungkapkan.
Mata Sandra membesar mengajak menantunya masuk rumah, raut wajahnya berubah menjadi kaget dan sedikit bingung. "Lho, mama kira ia sudah tidak pulang ke sini buat jemput kamu," ucapnya dengan nada penuh keheranan sekaligus kekhawatiran. "Bener-bener kebangetan itu anak, istri dibiarin pulang sendirian dari Jogja bawa anak kecil lagi, awas saja kamu Van," omelnya.
Wajah Melati berubah sendu, bibirnya tercekat tanpa mampu membalas. Dia menundukkan kepala sebentar, seolah menelan berat kenyataan yang baru saja terungkap. Suasana yang semula hangat mendadak sunyi, hanya suara detak jam dinding yang terdengar mengisi ruang antara mereka. Sandra melangkah mendekat, merangkul bahu Melati perlahan, mencoba menyampaikan ketulusan dan dukungan tanpa kata-kata. Melati memejamkan mata sejenak, menahan gelombang emosi yang berdesir di dalam dadanya.
Melati menatap Sandra dengan mata yang perlahan memerah, dadanya sesak menahan curiga yang semakin kuat. "Selama aku di Jogja, Mas Revan menginap di sini nggak ma?" tanyanya pelan, suaranya tercekat seperti menahan amarah yang nyaris tumpah.
Sandra mengangguk pelan, "Iya, cuma sehari, itupun karena Alice merengek terus."
Hati Melati bergejolak. "Tega banget kamu, Mas," bisiknya dalam hati, napasnya tiba-tiba terasa berat. Ia meremas ujung bajunya sendiri, mencoba menahan perasaan kecewa yang membuncah.
"Siapa perempuan yang bikin kamu lupa sama istri dan anakmu mas?" gumamnya lirih, matanya menatap kosong. Di balik dinding hatinya yang rapuh, Melati bertekad.
"Kalau memang Revan selingkuh, apa boleh buat, Keputusan ada di tangan kamu nak. Tapi sebaiknya harus cari bukti yang jelas, supaya dia nggak bisa ngeles seenaknya."
Sandra menatap menantunya dengan sorot mata yang penuh iba, lalu menghela napas panjang seolah beban yang tak terucap menekan dadanya. Ia mengenal benar sifat Revan yang mudah goyah, gampang percaya orang lain, dan selalu jadi sasaran empuk orang-orang yang memanfaatkan kebaikannya.
“Ya sudah, kamu istirahat saja. Malam begini, pasti kamu naik penerbangan terakhir, kan?” ucap Sandra lirih.
Melati mengangguk pelan, wajahnya terlihat lelah tapi terpaksa. “Iya, Ma. Padahal aku pengennya pulang pagi, tapi apa boleh buat, tiket cuma dapat yang terakhir.”
Tiba-tiba suara riuh anak-anak terdengar memanggil namanya berlari menuruni anak tangga. “Bunda, akhirnya pulang juga! Alice sama adik-adik kangen banget, loh, udah seminggu nggak ngeliat bunda!”
Melati tersenyum dan langsung memeluk Alice, anak sambungnya, dan ketiga anak lelakinya yang masih kecil-kecil.
“Kalian semua sudah belajar, kan?” tanyanya dengan suara hangat.
“Sudah, Bun,” jawab Alice sambil dengan lembut mengambil Ayana dari pelukan Melati. Alice menatap adiknya lalu mencium kening kecil itu, seolah mencoba menghapus rindu yang menggumpal di dada. “Kakak kangen banget, tau nggak, Dek? Rumah jadi sepi nggak ada kamu.”
Melati menatap Alice dengan mata yang menyimpan tanya. "Ayahmu nggak pulang, Sayang?" suaranya lembut, namun ada garis kekhawatiran di balik nada itu. Alice menggeleng pelan, bibirnya mengatup rapat seperti menahan sesak. "Jarang, Bun. Sejak Bunda balik ke Jogja, ayah cuma sekali jenguk kami," jawabnya, lalu pandangannya mengalir ke Juna di sampingnya. "Iya, kan, Jun?"
Juna mengangguk kecil, wajahnya cemberut. "Iya, Bun. Ayah nyebelin. Katanya kemarin mau ajak kita main Time Zone, eh malah bilang harus ke Bandung ada urusan penting katanya." Kalimat itu keluar dengan nada kecewa yang tak bisa disembunyikan.
Melati terdiam, dadanya sesak. "Kemana kamu, Mas…" batinnya pelan, seolah memanggil sosok yang tak pernah benar-benar hadir lagi di tengah-tengah keluarga.
Melati menatap kedua anaknya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, suara mereka seperti pisau yang menusuk hatinya. Alice menunduk pelan, bibirnya mengatup rapat menahan sedih yang tak mampu ia ungkapkan. Sementara Juna, dengan wajah cemberut dan tangan terkepal di pangkuan, tampak kecewa sekaligus marah.
“Kalau ayah nggak pulang terus, kita gimana, Bun?” suara Juna bergetar, matanya membelalak menahan perasaan terlantar. Alice menggenggam tangan adiknya erat, mencoba memberi kekuatan meski hatinya sendiri remuk.
Melati menghela napas panjang, dadanya sesak. Dalam diam, ia bertanya pada dirinya sendiri, “Kemana ayah mereka sebenarnya pergi? Kenapa dia lebih memilih pergi jauh daripada ada untuk anak-anaknya?”
Rasa takut dan kesepian menggerayangi pikirannya, bayangan anak-anak yang menunggu tanpa kehadiran ayahnya terus menghantui. Ia menatap keluar jendela, berharap angin malam membawa jawaban, namun hanya sunyi yang menjawab.
Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya, menandai betapa dalam luka yang tersembunyi di balik senyuman yang dipaksakan. Melati tahu, malam ini bukan hanya anak-anaknya yang merasa kehilangan, tapi juga dirinya.
Sandra memperhatikan menantunya yang wajahnya muram, dadanya ikut sesak. Ia mencoba merangkai kata pelipur. “Maafkan anak mama, ya. Kalau selama ini dia sering bikin kamu terluka, kecewa atau belum bisa bikin kamu bahagia.”
Matanya menyiratkan harap, menunggu respons. Melati hanya mengangguk pelan, suaranya pelan tapi tegas, “Iya, Ma. Mama nggak salah kok.”
Sandra menghela napas panjang sebelum memecah suasana. “Ya sudah, kamu istirahat dulu, ya.” Matanya kemudian beralih ke cucu-cucunya yang mulai terlihat ngantuk.
“Kalian juga,bobok, besok kan harus sekolah,” ucapnya lembut.
Alice, Juna, Kula, dan Dewa tanpa banyak bicara mengangguk dan berjalan perlahan menuju kamar masing-masing. Melati menarik napas dalam-dalam lalu menggendong putri kecilnya dengan lembut ke kamar. Ia duduk di tepi tempat tidur, mengusap rambut si kecil hingga tertidur dengan damai.
Setelah itu, Melati melangkah ke kamar mandi. Tangan-tangannya menyentuh air hangat yang mengalir, menghapus rasa lelah dan lengket di tubuhnya setelah perjalanan udara panjang dari Jogja ke Jakarta. Ia menutup mata sejenak, membiarkan diri tenang sejenak sebelum malam ini usai.
***
Pukul 01.05 dini hari, Revan melangkah pelan memasuki rumah mewah orang tuanya. Jari-jarinya cekatan menekan kode pintu yang selalu bisa ia akses kapan saja. Setelah pintu terbuka, ia melepas sepatu dengan hati-hati, berusaha agar suara tapaknya tidak memecah sunyi dan membangunkan penghuni rumah. Kamar gelap gulita menyambutnya begitu ia melangkah masuk.
Revan merogoh saku dan mengambil ponselnya saat nada dering tiba-tiba memecah kesunyian. Cahaya layar ponsel menyorot wajahnya yang lelah.
“Iya, aku baru sampai,” ucapnya pelan sambil menutup ponsel.
Tanpa disadari, tatapan tajam dari sudut gelap mengarah padanya. Wajah itu merah dan bibirnya bergetar, seolah menahan amarah yang hampir meledak. Revan masih belum sempat bicara lagi, ketika ia menekan saklar lampu. Sinar terang mendadak memenuhi ruangan, membuat Revan terlonjak. Di atas tempat tidur, istrinya menatapnya dengan mata besar dan senyum menyungging.
“Sayang?!”
“Kenapa, Mas? Kaget?”
revan pulsa jgn sembunyikan lg msalah ini terlalu besar urusannya jika km brbohong terus walau dg dalih g mau nyakitin melati ,justru ini mlh buat melati salah pham yg ahirnya bikin km rugi van
sebgai lelaki kok g punya pendirian heran deh sm tingkahnya kmu van, harusnya tu ngobrol baik" sm melati biar g da salah paham suka sekali trjd slh pham ya.