Najwa, siswi baru SMA 1 Tangerang, menghadapi hari pertamanya dengan penuh tekanan. Dari masalah keluarga yang keras hingga bullying di sekolah, dia harus bertahan di tengah hinaan teman-temannya. Meski hidupnya serba kekurangan, Najwa menemukan pelarian dan rasa percaya diri lewat pelajaran favoritnya, matematika. Dengan tekad kuat untuk meraih nilai bagus demi masa depan, dia menapaki hari-hari sulit dengan semangat pantang menyerah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanafi Diningrat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehangatan yang tak terduga
Najwa menggigit bibir bawahnya sambil menatap gerbang panti asuhan yang tinggi. Tangannya berkeringat dingin mencengkeram tali tas plastic hitam berisi semua harta bendanya. Jantungnya berdebar kayak drum yang dipukul berkali-kali.
"Ini dia, Panti Asuhan Harapan Bangsa." Bu Ratna menunjuk gedung berlantai tiga dengan cat putih yang masih terlihat segar.
Najwa menelan ludah dengan susah. Tenggorokannya terasa kering. "Bu, kalau aku nggak cocok di sini gimana?"
"Kamu pasti cocok. Ibu panti di sini orangnya baik banget."
Bu Ratna menekan bel yang berbunyi melengking. Tidak lama kemudian, pintu terbuka menampilkan seorang wanita berusia empat puluhan dengan wajah bulat yang ramah. Matanya menyipit karena senyum, membentuk garis-garis halus di ujung mata. Tubuhnya agak berisi tapi terlihat hangat, seperti ibu-ibu yang suka memasak.
"Bu Ratna! Selamat datang!" Suaranya ceria dengan nada yang menenangkan.
"Bu Sari, ini Najwa yang kemarin saya ceritakan."
Bu Sari menoleh ke Najwa dengan tatapan lembut. Najwa refleks mundur setengah langkah sambil menundukkan kepala, bahu kanannya terangkat sedikit karena nervous.
"Halo, Najwa. Selamat datang di rumah baru kamu." Bu Sari mengulurkan tangan dengan telapak terbuka.
Najwa melirik tangan Bu Sari sekilas, lalu mengulurkan tangannya ragu-ragu. Jabatan tangannya lemah, seperti ikan yang baru ditangkap.
"Terima kasih, Bu."
"Ayok masuk. Anak-anak lagi nunggu kamu di dalam."
Najwa berjalan di belakang Bu Sari sambil menggosok-gosok telapak tangannya di celana. Keringat terus keluar meski udara tidak terlalu panas.
Ruang tamu panti asuhan ternyata hangat dan bersih. Dinding berwarna cream dengan beberapa poster motivasi dan foto-foto kegiatan anak-anak. Sofa berwarna coklat tua ditata rapi menghadap TV yang sedang menyala. Baunya seperti campuran pengharum ruangan dan masakan rumahan.
"NAJWA!" Suara ceria dari arah tangga membuat Najwa terlonjak kaget.
Seorang anak perempuan berlari menuruni tangga dengan antusias. Rambut pendek sebahu diikat kuncir kuda tinggi, matanya bulat dengan bulu mata lentik yang mengipas cepat karena excited. Tubuhnya mungil dengan tinggi sekitar 150 cm, tapi gerakannya energik kayak baterai yang baru dicharge.
"Eh, Kirana. Pelan-pelan dong." Bu Sari tersenyum geli.
"Maaf Bu Sari. Aku excited banget ada temen baru!" Kirana berhenti di depan Najwa sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. "Hi! Aku Kirana, tapi biasa dipanggil Kira. Umur aku lima belas tahun. Kamu Najwa kan?"
Najwa mengangguk kaku. Antusiasme Kirana membuatnya kewalahan. "Iya, aku Najwa."
"Wah, kamu tinggi banget! Berapa tinggi kamu?" Kirana mengangkat dagunya untuk menatap Najwa yang memang lebih tinggi sekitar sepuluh sentimeter.
"Sekitar 160 kira-kira." Najwa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Asyik! Aku bisa minjem baju kamu yang pasti kegedean buat aku." Kirana tertawa dengan suara yang kayak lonceng kecil.
Dari arah dapur muncul dua anak laki-laki. Yang di depan badannya tinggi kurus dengan kulit agak gelap, rambut ikal pendek yang sedikit berantakan. Matanya sipit tapi tajam, rahangnya tegas meski masih teenage. Cara jalannya santai dengan tangan dimasukkan ke saku celana.
"Itu Rian, umur tujuh belas. Dia kakak tertua di sini." Kirana berbisik sambil menunjuk dengan dagu.
Najwa menegakkan punggungnya secara otomatis. Ada aura dewasa dari Rian yang membuatnya merasa harus bersikap lebih formal.
"Najwa ya? Gue Rian. Welcome to the family." Rian mengulurkan tangan dengan senyum tipis yang terlihat genuine.
"Terima kasih." Najwa berjabat tangan dengan lebih percaya diri dibanding tadi.
Anak laki-laki kedua muncul dari balik punggung Rian. Tubuhnya lebih pendek dengan bahu yang agak bungkuk, seperti orang yang suka membaca. Rambutnya agak panjang menutupi sebagian dahi, kacamata minus bertengger di hidung mancung. Cara berjalannya hati-hati, seperti takut menabrak sesuatu.
"Itu Fajar, umur enam belas. Dia paling pinter di antara kita." Kirana melanjutkan introduksinya dengan suara yang sedikit direndahkan.
Fajar mengangkat tangannya sedikit sebagai salam, tapi tidak maju untuk berjabat tangan. Wajahnya memerah sedikit. "Hai."
"Hai juga." Najwa tersenyum tipis, merasa ada kesamaan sifat dengan Fajar yang terlihat pemalu.
"Kalian berdua bakal akrab, deh. Sama-sama introvert soalnya." Rian menepuk pundak Fajar sambil terkekeh.
"Eits, belum selesai!" Kirana bertepuk tangan sekali. "Masih ada Dea!"
Dari arah kamar mandi keluar seorang gadis dengan handuk kecil di tangan, sedang mengeringkan rambutnya yang basah. Postur tubuhnya sedang dengan lekukan yang sudah mulai terbentuk, tingginya sekitar 157 cm. Rambut panjangnya berwarna coklat gelap, kulitnya putih bersih dengan pipi yang agak chubby. Matanya besar dengan alis tebal natural yang membuat wajahnya terlihat ekspresif.
"Oh, tamu baru udah dateng?" Dea menghampiri sambil masih mengusap rambutnya. Suaranya agak serak sexy untuk ukuran anak usia enambelas tahun.
"Dea, ini Najwa. Najwa, ini Dea si cewek paling cantik sekaligus paling jail di panti ini." Kirana memperkenalkan sambil merangkul pinggang Dea.
Dea memutar matanya dramatis. "Lebay lu, Kir." Dia menatap Najwa dari atas ke bawah dengan tatapan menilai, tapi tidak terasa menghakimi. "Hmm, kurus banget. Lo sakit apa gimana?"
Najwa menyilangkan lengan di depan dada secara defensif. "Nggak sakit. Emang dari sononya kurus."
"Santai, gue nggak ngejek kok. Malah iri, gue susah banget kurus." Dea menepuk perutnya yang memang tidak rata. "Doyan makan soalnya."
"Makanya jangan ngemil mulu." Rian ikut berkomentar sambil mencuri keripik dari mangkuk di meja.
"Eh, lo juga sama aja!" Dea melempar handuknya ke arah Rian, yang dengan lincah menghindar sambil tertawa.
Bu Sari bertepuk tangan untuk menarik perhatian. "Sudah-sudah. Najwa pasti lelah. Kirana, antarkan dia ke kamar, ya."
"Siap!" Kirana salute bercanda. "Yuk, Najwa. Kamar kita di lantai dua."
"Kita?" Najwa mengangkat alis.
"Iya dong, kita sekamar. Aku udah nungguin temen sekamar lama banget!" Kirana melompat-lompat kecil karena excited.
Najwa mengikuti Kirana naik ke lantai dua. Tangannya meraba pagar tangga yang terbuat dari kayu yang sudah divernis mengkilap. Langkahnya masih hati-hati, seperti sedang menjelajahi tempat asing.
"Ini kamar kita!" Kirana membuka pintu dengan dramatic gesture.
Kamar berukuran sedang dengan dua kasur single yang ditata parallel. Masing-masing kasur punya meja belajar kecil dan lemari. Dinding berwarna hijau muda dengan beberapa poster K-pop dan pemandangan alam. Jendelanya menghadap ke taman belakang yang hijau.
"Yang mana tempat tidur aku?" Najwa bertanya sambil meletakkan tasnya di lantai.
"Yang deket jendela. Aku udah siapin bedcover yang lucu buat kamu." Kirana menunjuk kasur dengan seprai berwarna biru muda dan bedcover bergambar kucing-kucing kecil.
Najwa meraba seprai yang halus. Sudah lama sekali dia tidak tidur di kasur yang empuk dengan seprai yang bersih dan wangi.
"Terima kasih." Suaranya sedikit bergetar karena terharu.
"Sama-sama! Oh iya, ini lemari kamu. Masih kosong sih, tapi nanti kita bisa shopping bareng buat isi lemarinya!"
Najwa membuka pintu lemari yang berderit pelan. Memang masih kosong, tapi bersih dan beraroma lavender dari pewangi pakaian.
"Kira, aku nggak punya uang buat shopping."
"Santai, di sini ada program dari donatur. Sebulan sekali kita dikasih uang saku buat beli keperluan pribadi." Kirana duduk di kasurnya sambil melipat kaki bersila. "Lagian, kita bisa tukeran baju. Asyik kan?"
Najwa duduk di ujung kasurnya, masih terasa kaku. "Kalian... kalian nggak keberatan aku tinggal di sini?"
"Keberatan? Kenapa harus keberatan?" Kirana memiringkan kepala dengan ekspresi bingung yang lucu.
"Soalnya aku..." Najwa menggigit bibir, ragu mau cerita tentang masa lalunya.
"Soalnya kamu apa?"
"Aku pernah... pernah nyakitin orang. Sampai orang itu meninggal."
Kirana terdiam sejenak, ekspresi wajahnya berubah serius. Tapi kemudian dia menggerakkan tubuhnya lebih dekat ke Najwa.
"Najwa, kita semua di sini punya masa lalu yang nggak enak. Aku juga pernah berbuat hal yang aku sesali banget." Suara Kirana menjadi lebih lembut. "Tapi yang penting kan sekarang. Kamu mau jadi orang yang lebih baik nggak?"
Najwa mengangguk sambil menatap lantai. "Mau banget."
"Nah, itu dia. Kita support kamu kok." Kirana mengulurkan kelingkingnya. "Janji ya, kita bakal jadi sahabat baik!"
Najwa melirik kelingking Kirana, lalu perlahan mengaitkan kelingkingnya. "Janji."
"GRUP HUG!" Tiba-tiba pintu terbuka dan Dea masuk sambil teriak.
"Dea! Lo nggak ketok pintu dulu!" Kirana protes sambil tertawa.
"Udah denger cerita touching moment kalian dari tadi. Ayo pelukan!" Dea langsung memeluk Najwa dan Kirana bersamaan.
Najwa kaku sebentar karena tidak terbiasa dipeluk, tapi perlahan dia merelakskan tubuhnya. Pelukan Dea hangat dan berbau shampoo strawberry.
"Welcome home, Najwa." Dea berbisik di telinga Najwa.
Kata 'home' membuat dada Najwa terasa hangat. Sudah bertahun-tahun dia tidak merasakan konsep 'rumah' yang sesungguhnya.
Mereka diinterupsi oleh suara ketukan di pintu.
"Boleh masuk nggak?" Suara Rian dari luar.
"Boleh!" Kirana menjawab sambil melepaskan pelukan.
Rian masuk diikuti Fajar yang membawa buku tebal. "Lagi apa sih, berisik banget."
"Lagi bonding sama Najwa." Dea menjawab sambil masih merangkul Najwa.
"Oh iya Najwa," Rian duduk di lantai sambil bersandar ke dinding. "Lo mau sekolah di mana? Bisa kita bantu cariin sekolah yang bagus."
"Aku pengen yang ada program beasiswanya. Nilai aku lumayan bagus sih."
"Wah, anak pinter nih!" Fajar akhirnya ikut bicara dengan suara yang masih pelan. "Jurusan apa?"
"IPA kayaknya. Aku suka matematika sama fisika."
"Sama dong!" Fajar tersenyum untuk pertama kalinya. "Aku juga IPA. Nanti kita bisa belajar bareng."
"Asyik! Sekarang ada dua kutu buku di panti ini." Dea menggoda sambil menjulurkan lidah.
"Eh, jangan gitu dong. Rajin belajar itu bagus." Kirana membela.
"Iya sih. Gue juga mau fokus belajar tahun ini biar bisa masuk PTN yang bagus." Rian menggaruk rambutnya.
Najwa merasakan kehangatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Di sini, kepintarannya dihargai, bukan dijadikan bahan bullying. Di sini, dia merasa diterima apa adanya.
"Kalian... kalian beneran nggak masalah sama masa lalu aku?"
"Najwa," Rian menatapnya serius. "Kita semua di sini punya luka. Yang penting adalah kita menyembuhkan luka itu bersama-sama."
"Betul!" Kirana mengangguk enthusiastic. "Kita kayak keluarga yang broken tapi healing bareng."
"Lebay banget sih lo, Kir." Dea tertawa. "Tapi bener juga sih."
Najwa merasakan dadanya sesak, tapi bukan karena asma. Ini sesak karena terharu. Air matanya mulai menggenang.
"Nangis kenapa?" Fajar panik melihat Najwa yang hampir menangis.
"Aku... aku nggak nyangka bakal diterima se-welcome ini." Suara Najwa bergetar.
"Yaelah, drama banget." Dea memeluk Najwa lagi. "Udah, nggak usah nangis. Nanti mata bengkak, nggak cantik lagi."
"Emang dari awal udah nggak cantik." Kirana bercanda, membuat semuanya tertawa.
"Eh!" Najwa protes sambil ikut tertawa meski masih ada air mata di matanya.
Bu Sari muncul di pintu kamar. "Anak-anak, makan malam sudah siap."
"Yeay! Makan!" Kirana melompat dari kasur.
"Lo tuh kayak anak kecil banget, Kir." Rian menggeleng-geleng kepala sambil berdiri.
"Daripada lo yang sok dewasa mulu." Kirana menjulurkan lidah.
Mereka bergerak ke ruang makan sambil bercanda. Najwa berjalan paling belakang, masih terpesona dengan dinamika keluarga kecil ini.
Di ruang makan, Bu Sari sudah menyiapkan makan malam yang hangat. Nasi, sayur sop, ayam goreng, dan kerupuk. Aromanya membuat perut Najwa berbunyi keras.
"Duduk di mana aja yang kosong, Najwa." Bu Sari menunjuk kursi-kursi kosong.
Najwa duduk di samping Kirana, berhadapan dengan Fajar. Rian duduk di ujung meja seperti kakak tertua, sementara Dea duduk di samping Bu Sari.
"Sebelum makan, ada yang mau sharing nggak tentang hari ini?" Bu Sari memulai tradisi sharing sebelum makan.
"Aku mau!" Kirana mengacungkan tangan. "Hari ini aku dapet temen sekamar baru yang keren banget!"
"Keren apanya?" Najwa tersipu.
"Ya keren aja! Tinggi, pinter, terus kayaknya bakal jadi sahabat baik aku." Kirana tersenyum lebar.
"Aku juga mau sharing." Najwa mengangkat tangan pelan. "Hari ini aku... aku merasa punya keluarga lagi untuk pertama kalinya setelah sekian lama."
Suasana menjadi hening sejenak. Bu Sari tersenyum hangat.
"Selamat datang di keluarga kita, Najwa."
"Selamat datang!" Yang lain ikut menyambut serempak.
Najwa tersenyum sampai matanya menyipit. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasa benar-benar di rumah.