NovelToon NovelToon
Legenda Pedang Abadi : Jalan Darah Dan Takdir

Legenda Pedang Abadi : Jalan Darah Dan Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur / Perperangan / Ahli Bela Diri Kuno / Penyelamat
Popularitas:32.7k
Nilai: 5
Nama Author: Aku Pemula

Di dunia di mana sekte-sekte besar bersaing demi kekuasaan, lahirlah seorang pemuda bernama Lin Feng. Tidak memiliki latar belakang mulia, tubuhnya justru menyimpan rahasia unik yang membuatnya diburu sekaligus ditakuti.

Sejak hari pertama masuk sekte, Lin Feng harus menghadapi hinaan, pertarungan mematikan, hingga pengkhianatan dari mereka yang dekat dengannya. Namun di balik tekanan itulah, jiwanya ditempa—membawanya menapaki jalan darah yang penuh luka dan kebencian.

Ketika Pedang Abadi bangkit, takdir dunia pun terguncang.
Akankah Lin Feng bertahan dan menjadi legenda, atau justru hancur ditelan ambisinya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aku Pemula, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 - Warisan Terakhir

Udara di kediaman Yunhai terasa tenang, jauh berbeda dari hiruk pikuk pelataran sekte. Rumah itu sederhana, terbuat dari kayu tua yang dipelihara dengan baik, dikelilingi taman kecil dengan pohon plum yang sudah mulai gugur daunnya. Aroma obat-obatan tipis melayang di udara, menandakan Yunhai sering meracik ramuan sendiri.

Di dalam kamar utama, Tetua Qingyun berbaring di atas ranjang kayu dengan alas jerami lembut. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Napasnya tersengal, seperti bara api yang hampir padam ditiup angin. Lin Feng duduk di samping ranjang, memegangi tangan kurus gurunya dengan gemetar.

“Guru…” suara Lin Feng lirih, hampir patah.

Qingyun membuka mata perlahan. Tatapannya redup, tapi di balik itu masih tersisa kelembutan. “Feng’er… jangan menangis. Aku sudah melewati usia yang seharusnya berakhir puluhan tahun lalu. Tuhan memberiku sedikit waktu tambahan… hanya untuk bertemu denganmu.”

Lin Feng menggigit bibirnya. Matanya merah, tapi ia berusaha menahan air mata agar tidak jatuh. Sejak masuk ke sekte, ia sudah mendengar bisikan murid-murid lain, ejekan bahwa ia hanyalah anak desa yang tak pantas belajar kultivasi. Tetapi bagi Lin Feng, semua itu tidak penting. Yang ia pedulikan hanya orang tua renta di depannya, satu-satunya yang ia panggil guru.

Tetua Yunhai masuk perlahan membawa semangkuk ramuan. “Qingyun, minumlah ini. Mungkin bisa sedikit meredakan sakitmu.”

Qingyun tersenyum samar. “Yunhai, sahabatku… aku berhutang padamu karena sudah menampungku. Tapi tidak perlu repot. Obat duniawi tak lagi berguna bagi tubuhku yang sudah hancur.”

Yunhai terdiam, lalu meletakkan mangkuk itu di meja kecil di samping ranjang. Ia duduk sebentar, menatap Qingyun lama, sebelum akhirnya berdiri lagi. “Kalau begitu, aku biarkan kalian berdua. Aku tahu ada kata-kata yang masih ingin kau sampaikan.”

Begitu Yunhai keluar, keheningan melingkupi kamar. Hanya suara napas berat Qingyun yang terdengar. Lin Feng menunduk, tak sanggup menatap wajah gurunya yang semakin pucat.

“Feng’er…” Qingyun berbisik, suaranya hampir tak terdengar. “Ada hal yang harus kau tahu. Tentang ibumu.”

Lin Feng mendongak, terkejut. Selama ini ia hanya tahu sedikit, kabur, tentang siapa orang tuanya.

“Ayahmu… aku tak pernah mengenalnya dengan baik. Tapi ibumu…” Mata Qingyun berkaca-kaca. “Dia adalah muridku. Murid perempuan yang paling cerdas, paling berbakat. Dialah kebanggaan hidupku.”

Lin Feng menatap lekat, hatinya berdebar seakan tidak sabar untuk menunggu kelanjutan cerita dari Qingyun.

Qingyun melanjutkan, suaranya serak penuh penyesalan. “Aku pernah berjanji… untuk melindunginya, apa pun yang terjadi. Tapi aku gagal. Aku tidak bisa menyelamatkan nyawanya saat ia membutuhkan pertolongan. Ia meninggal… di hadapanku… meninggalkanmu yang masih bayi.”

Suara itu pecah. Untuk pertama kalinya, Lin Feng melihat gurunya menangis. Air mata jatuh di sudut matanya, membasahi pipi keriput.

“Selama bertahun-tahun aku menanggung rasa bersalah ini. Setiap malam aku teringat wajahnya. Dan setiap kali aku menatapmu, Feng’er, aku melihat bayangan ibumu. Itu sebabnya… aku ingin menebus dosaku dengan membimbingmu, meski hanya sebentar.”

Lin Feng tidak lagi mampu menahan air mata. Ia menggenggam tangan Qingyun erat-erat. “Guru… aku tidak menyalahkanmu. Ibu pasti juga tidak menyalahkanmu. Selama ini kau sudah merawatku, memberi aku arah… bagiku itu lebih dari cukup.”

Qingyun tersenyum tipis. “Anak bodoh… kau terlalu baik.”

Ia terbatuk keras, darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Lin Feng panik, hendak berdiri memanggil Yunhai, tapi Qingyun menahan pergelangan tangannya.

“Tidak perlu. Dengarkan aku, ini waktunya.”

Qingyun dengan susah payah merogoh lengan bajunya. Ia mengeluarkan sebuah benda kecil—sebuah jimat batu giok berwarna hijau pucat, diukir dengan pola api yang samar. Meski sederhana, ada energi hangat yang terpancar darinya.

“Ini… peninggalan ibumu. Dia sempat memberikannya padaku sebelum kepergiannya. Aku berniat menjaganya sampai aku bisa memberikannya padamu… dan hari itu akhirnya tiba.”

Lin Feng menerima jimat itu dengan tangan gemetar. Begitu ia menyentuhnya, tubuhnya terasa hangat, seakan ada bara kecil yang bersemayam di dalam hatinya.

“Feng’er… jimat itu akan melindungimu. Tapi lebih dari itu, itu adalah simbol… api. Api yang tak pernah padam. Ingat kata-kataku… sekalipun dunia menertawakanmu, sekalipun tubuhmu hancur, jangan biarkan apimu padam. Karena selama api itu ada, kau masih hidup. Kau masih bisa bangkit.”

Lin Feng menggenggam jimat itu erat, air mata jatuh membasahi tangannya.

“Guru…” suaranya bergetar. “Aku bersumpah… aku akan menjaga api ini. Aku tidak akan mengecewakanmu, dan tidak akan mengecewakan ibu.”

Qingyun tersenyum puas, meski wajahnya semakin pucat. “Bagus… itu janji seorang pria sejati.”

Sejenak keheningan menyelimuti ruangan. Hanya ada Lin Feng yang terus menggenggam tangan gurunya, seakan tak ingin melepaskan.

Akhirnya, napas Qingyun mulai melambat. Suaranya semakin lirih. “Yunhai… sahabatku… tolong jaga anak ini… meski aku tahu kau tak bisa banyak berbuat di sekte ini… Tapi setidaknya beri dia tempat untuk berteduh…”

Seakan mendengar, Yunhai masuk ke kamar. Wajahnya muram, tapi ia menunduk dalam-dalam. “Tenanglah, Qingyun. Selama aku masih hidup, aku akan memastikan bocah ini tidak terlantar.”

Qingyun tersenyum, lalu menatap Lin Feng sekali lagi. Tatapan itu penuh kasih, penuh penyesalan, tapi juga penuh harapan.

“Feng’er… mulai sekarang, jalanmu panjang dan berliku. Jangan menyerah… kau… adalah harapan terakhirku.”

Kata-kata itu menjadi yang terakhir. Napas Qingyun melemah, lalu berhenti sepenuhnya. Senyuman samar masih terukir di bibirnya, seolah ia pergi dengan tenang.

Lin Feng membeku. Dunia terasa berhenti berputar. Perlahan ia menyadari tangan gurunya kini dingin, tak lagi menggenggam balik.

“Guru…” suara itu pecah. “Guruuu!!!”

Ia berlutut di samping ranjang, menangis sejadi-jadinya. Air mata membasahi lantai kayu, bercampur dengan darah yang masih tersisa di bibir Qingyun.

Yunhai berdiri di sudut ruangan, menunduk. Ia tak berkata apa-apa, hanya menatap punggung kecil Lin Feng yang terguncang oleh tangis. Dalam hatinya, ia tahu, anak itu kini sendirian di dunia ini.

Namun di tangannya, Lin Feng menggenggam erat jimat giok peninggalan ibunya. Di balik kesedihan, bara kecil mulai menyala—api yang tak pernah padam, seperti pesan terakhir gurunya.

1
Didi h Suawa
gmn thor ,tidak perna berlatih tapi sudah lihai berkelahi,,lucu kan jln ceritanya,,
Didi h Suawa
kata2 yg selalu di ulang2,,,nda baik itu thor,,,🤭
Didi h Suawa
kayu atau pedang besi,,gmn eeerh
Didi h Suawa
lucu dan lelucon,
Didi h Suawa
masi lucu jln ceritanya,,,gmn thor,,,nda ada gregetnya
Didi h Suawa
masih gtu2 aja,,gimana yach,,,🤭
Didi h Suawa
cerita gaya roman picisan,
Didi h Suawa
kata2 tinggi tapi masih anak kecil,,gmn dia mengerti thor,,coba di rubah,,
Didi h Suawa
jangan alur cerita kaya novel anak2 ,,bahasanya juga bukan gaya pesilat,,
Didi h Suawa
jangan jalan ceritanya di ulang2 thor,,nda greget nantinya,
Didi h Suawa
baik2 aja
Didi h Suawa
lanjut,
Didi h Suawa
jalan ceritanya baru dimulai,,mudah2an sumua pembaca salah menebak jln ceritanya,itu bru fiksi tingkat tinggi thooor,,😆
Didi h Suawa
mudah2an ceritanya xsampai tamat,,dr awal yg baik,,
Rhaka Kelana
ceritanya bagus, tapi alurnya terlalu panjang untuk mengurai intrik, kalau boleh usul kurangi intrik politik dan lebih masuk kedalam alur cerita perkembangan tokohnya.
Nanik S
Keren dan keren cerita 💪💪👍👍
Nanik S
Gas Pooool Lin Feng
Nanik S
NEXT
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lin Feng... jadilah Jenius diantara orang yang membencimu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!