[Lanjutan dari novel "Aku hanya Figuran"]
Awalnya kupikir Kamu hanyalah gadis biasa-biasa saja. Namun mata polosmu mengalihkan semuanya. Aku tak bisa berpaling. Timbul ketertarikan untuk mengenalmu lebih dalam lagi. Hingga akhirnya Aku sadar, Aku telah jatuh sejatuh-jatuhnya pada pesonamu.
Hei Khansa Aulia, Yohan Alexander menyukaimu. Sadarkah Kau dengan hal itu? (Yohan Alexander)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[POV Alex] Ch 24 - Pergi ke Pernikahan Dino
Kami berbincang-bincang cukup lama. Membicarakan hal-hal yang telah lalu. Harapan di masa depan. Kami mengakhiri percakapan itu dengan janjiku akan membawa Khansa ke pernikahan Dino. Aku kembali melanjutkan kunjungan ke beberapa perusahaan.
Pergi ke pernikahan Dino membuatku memiliki ide. Mungkin dengan membawa Khansa pulang ke kampung halaman akan membuat moodnya membaik. Siapa tahu dengan bertemu keluarga, Khansa akan kembali ceria.
"Winda, besok Aku akan pergi ke J*****. Tolong pesankan dua tiket untukku."
"Saya pesankan tiket pulang-pergi apa bagaimana Pak?"
"Perginya saja. Pulangnya masih belum tahu. Tergantung istriku mau di sana sampai kapan. Ini mungkin akan menjadi tugas terakhirku di perusahaan ini."
"Maksudnya Pak?"
"Aku akan keluar dari perusahaan minggu-minggu ini. Setelah ini, tugasmu bukan mengikutiku lagi tapi menjaga istriku."
"Baik Pak."
"Tugasmu hanya menjaganya ketika aku tidak ada. Semisal aku pergi ke luar kota atau luar negeri, kamu harus menjaganya full time. Tapi di saat aku tidak kemana-mana, kamu dibebastugaskan. Gajimu tiga kali lipat dari yang kamu dapat selama ini. Jam kerjamu fleksibel, sesuai dengan kebutuhan. Apa ada hal yang membuatmu keberatan? Atau ada yang ingin kamu tanyakan?"
"Untuk saat ini masih belum ada Pak. Saya akan bertanya bila ada hal yang kurang saya mengerti."
"Bagus. Aku akan menyuruh sekretaris perusahaan untuk menyiapkan kontraknya."
"Baik Pak."
Winda bersiap memesan tiket untuk kami berdua ketika ponselku kembali berdering. Jantungku berdegup kencang ketika mengetahui siapa yang meneleponku. Aku menyiapkan hatiku untuk mendengar berita buruk. Selalu saja seperti itu bila ada panggilan dari *rumah*.
"Iya Ma? Apa ada sesuatu yang terjadi?"
"Nggak ada Al. Kondisi kakakmu masih stabil. Al, Mama di J***** sekarang. Ada urusan yang harus Mama selesaikan. Papamu sekarang di Singapura, menggantikan Mama. Kalau kamu tidak sibuk, kamu bawa Diana kemari ya. Setelah itu, Mama akan ajak dia berangkat bersama."
"Iya Ma. Besok aku akan ke J*****. Aku akan membawanya bersamaku."
"Kamu jaga dia Al. Kasihan dia. Di saat-saat seperti ini, harusnya ada suami yang mendampingi. Tapi dia malah hamil seorang diri. Jaga dia untuk Mama dan kakakmu Al..." suara Mama kembali sedih setiap kali bahasan mengenai Aaron mencuat. Aku menghibur Mama selama beberapa saat. Setelah Mama tenang, aku mengakhiri panggilan itu.
"Winda, pesan tiket untuk tiga orang. Diana akan ikut bersama kami."
"Baik Pak." Aku menelepon Diana. Mengabarkan titah Mama yang harus dipenuhinya, sekaligus mengabarkan mengenai pernikahan Dino. Diana setuju untuk ikut dengan kami.
Hari itu aku melanjutkan kunjungan. Kegiatan itu selesai ketika hari sudah malam. Begitu mencapai rumah, aku kembali berlari-lari kecil, berharap Khansa kembali menyambutku. Perasaanku sedikit kecewa melihat ruang tamu yang kosong. Tidak putus harapan, aku langsung ke kamar kami. Secara perlahan aku membuka pintu kamar, takut kedatanganku mengganggu Khansa.
Benar saja. Kulihat Khansa berbaring di ranjang dengan posisi membelakangiku. Sepertinya wanita itu masih menyimpan amarahnya padaku.
Aku berjalan ke ranjang dan membaringkan tubuhku tepat di sampingnya. Aku memeluk tubuhnya dan menciumi tengkuknya, berusaha merayunya. Mengucapkan kata-kata manis dan menunjukkan kesedihanku. Namun Khansa tak mau berpaling. Aku menggunakan jurus pancingan paling jitu, yaitu mengajaknya pulang kampung. Benar dugaanku. Khansa langsung bereaksi dengan kata-kataku. Dia membalikkan tubuhnya dan menatapku dengan pandangan penuh harap.
"Beneran besok boleh pulang?"
"Iya. Seneng? Sini cium dulu."
"Aku boleh melahirkan di sana?" Mata Khansa tampak berbinar-binar. Sepertinya wanita ini salah tanggap dengan ucapanku. Aku berusaha mengkoreksinya. Khansa tampak kecewa, namun Aku tidak berputus asa. Aku mencoba merayunya dengan hal lain. Mengiming-ngimingi dengan berbagai tempat yang mungkin mau dikunjungi, sembari memeluk dan menciumnya. Meskipun masih cemberut, akhirnya Khansa mau menerima keputusanku.
***
Pagi itu kami mulai bersiap-siap. Selesai mempacking baju-bajuku, Khansa mulai mempacking bajunya sendiri. Aku cukup merasa aneh ketika melihat Khansa mempacking cukup banyak baju, padahal kami tidak akan pergi terlalu lama. Khansa beralasan, kebutuhan bumil banyak, sehingga perlengkapan yang dibawa pun menyesuaikan. Aku memutuskan untuk mempercayainya.
Kami turun ke lantai bawah ketika mengetahui mobil jemputan sudah datang. Begitu semua barang dimasukkan ke bagasi, mobil mulai melaju dan berhenti di depan rumah Diana. Aku turun dari mobil dan menjemput Diana. Hari itu Kami pergi ke kota J***** bersama-sama.
Menjelang sore hari, kami tiba di kota itu. Aku mengantar Khansa ke rumahnya terlebih dulu. Setelah itu aku mengantar Diana.
"Al, Khansa manis ya."
"Dari dulu."
"Cie yang bucin. Tapi beneran deh dia manis. Masih polos juga..."
"Ya, polos, lugu, cantik, imut, baik, lembut..."
"Stop, stop. Aku nggak mau dengerin orang lagi ngebucin. Eh, tapi nggak apa-apa nih kamu nganterin aku kayak gini?"
"Nggak apa-apa. Emang kenapa?"
"Ya, takut ada perasaan apa gitu. Bumil kan sensitif Al..."
"Nggak apa-apa. Dia pasti tahu kalau kamu itu iparku. Kamu lihat sendiri tadi, dia nggak marah kan? Berarti nggak apa-apa."
"Oh, syukurlah kalau gitu. Eh Al, aku seneng deh lihat kalian berdua bersatu gini. Itu artinya kesalahpahaman kalian sudah selesai..."
"Kesalahpahaman apa?"
"Ah, lupakan, lupakan. Aku yakin sudah selesai sih. Btw, kamu yakin nggak mau ngenalin Khansa ke Mama? Mumpung Mama pulang nih."
"Sikonnya belum memungkinkan Di. Tunggu sampai sikonnya oke. Papa Mama emosinya stabil, baru aku kenalin Khansa ke mereka."
"Perlu bantuanku nggak?" tanya Diana sembari tersenyum usil.
"Kita lihat aja nanti. Kalau bupres nggak mau terima Khansa, aku perlu bantuanmu."
"Okelah. Aku siap deh lakuin apapun untuk adik iparku. Hitung-hitung nebus kesalahan." Diana bergumam dengan suara lirih. Aku mengabaikan kata-katanya.
"Di, nanti kamu bantu aku carikan alasan. Aku mau nginap di rumah Khansa. Carikan alasan supaya Mama mau percaya, oke?"
"Oke, siap."
"Kamu ikut ke nikahan Dino nggak?"
"Ikut dong. Sudah lama juga nggak ketemu temen-temen yang lain."
"Ya sudah, jam tujuh nanti aku jemput."
"Oke, oke."
Supir membawa kami ke rumah utama. Di rumah, Mama menyambut kami dengan antusias, lebih tepatnya menyambut Diana. Mama memeluk dan menciumi perut Diana, seolah-olah sedang mencium cucunya secara langsung. Hatiku menghangat melihat Mama seperti itu. Bila Mama bisa memperlakukan Diana dan calon cucunya sebaik itu, beliau juga pasti akan memperlakukan Khansa dengan hal yang sama. Aku benar-benar tidak sabar untuk mengenalkan Khansa pada keluarga besarku. Mungkin Khansa kurang berminat, tapi setidaknya itu akan menjadi keuntungan sendiri bagiku. Dengan mengenalkan Khansa pada keluarga besar, maka kesempatan wanita itu untuk pergi dariku akan semakin kecil.
Aku menurunkan koper-koper kami. Koper Diana kuletakkan di kamar Aaron, sementara koperku sendiri kuletakkan di dalam salah satu mobil. Rencananya aku akan menggunakan mobil itu untuk pergi ke rumah Khansa.
"Mau kemana Al? Kok kopermu nggak diturunin?" Bupres datang mendekat. Aku begitu bingung mencari-cari alasan.
***
Happy Reading 🤗
anw, aku dari 2025 yah. kangen Alkha.
tapi ada yg lucu..
pov nya tukang telur gulungg/Facepalm//Facepalm/..
ada² aja yg nulis novel ini..
ampe nasib telor gulung pun di tulis.