NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:727
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12 PEMANGGILAN RISA

Pagi itu udara rumah besar Atmadja terasa lebih tegang dari biasanya. Para pelayan bergerak cepat, menunduk dalam, seakan tahu akan ada badai yang meletus. Amara berdiri di depan cermin kamarnya, mengenakan blus putih sederhana. Meski wajahnya masih letih, sorot matanya mantap.

Ketukan pintu terdengar. Arman muncul dengan ekspresi datar. “Pak Bagas meminta Nyonya turun ke ruang kerja. Risa sudah ada di sana.”

Amara mengangguk, lalu melangkah dengan langkah yang ia paksa tegap. Di sepanjang koridor, bisik-bisik pelayan terdengar samar, namun ia tidak membiarkan dirinya goyah.

Ruang kerja Bagas dipenuhi cahaya matahari pagi. Bagas duduk di kursi utama, jasnya rapi, ekspresinya dingin. Di hadapannya, Risa berdiri dengan wajah tegang, namun masih berusaha tersenyum.

“Duduk,” perintah Bagas.

Risa duduk perlahan, tangannya meremas rok. Amara memilih duduk di sisi kanan Bagas, bukan di belakangnya. Itu isyarat bahwa ia bukan penonton, melainkan bagian dari keputusan hari ini.

“Risa,” suara Bagas datar, “ada amplop berisi foto Amara dan seorang pria yang dikirim ke rumah ini. Catatan dari kios cetak menunjukkan nomor ponsel cadanganmu.”

Risa tersentak, wajahnya pucat. “Pak… saya tidak tahu apa-apa. Nomor cadangan itu sering saya pinjamkan ke saudara saya.”

Bagas menatapnya tajam. “Saudaramu tinggal di mana?”

“Di luar kota,” jawabnya cepat.

Amara mencondongkan tubuh sedikit. “Kalau benar begitu, kenapa waktu pengiriman amplop cocok dengan saat satpam melihat seseorang dengan gelang mutiara dan kuku merah di depan gerbang? Itu ciri khasmu, Risa.”

Risa terdiam. Wajahnya bergetar, keringat muncul di pelipis.

“Aku…” suaranya tercekat. “Aku hanya disuruh Nyonya Meylani. Dia bilang ini cara untuk menguji kesetiaan Bu Amara. Saya takut menolak.”

Ruangan hening. Arman yang berdiri di pojok mencatat semua perkataan.

Amara merasakan dadanya panas, tapi ia menahan diri. “Kau bisa bilang tidak, Risa. Kau tahu apa yang kau lakukan bisa menghancurkan hidupku.”

Air mata Risa menetes. “Saya minta maaf. Saya tidak punya pilihan.”

Bagas mengangkat tangannya, membuat Risa terdiam. “Mulai hari ini, kau dipindahkan. Tidak lagi jadi asisten Nyonya Meylani. Kau bekerja di yayasan, bagian administrasi. Semua akses ke rumah ini dicabut. Arman, atur perpindahannya.”

Risa terisak, tapi hanya bisa mengangguk. Arman menggiringnya keluar.

Begitu pintu tertutup, Bagas menghela napas panjang. “Satu masalah selesai.”

Amara menatapnya. “Tidak sepenuhnya. Meylani masih ada di sini.”

Siang itu, Amara duduk di balkon kamarnya. Ia menuliskan rencana program kelas desain untuk anak sekolah yang ingin ia ajukan ke yayasan. Di tengah kesibukannya, pintu kamar terbuka. Selvia berdiri di sana, wajahnya marah.

“Kau pikir aku tidak tahu? Kau menjebak Risa supaya kelihatan kau yang benar.”

Amara menutup bukunya, menatap Selvia. “Aku tidak menjebak siapa pun. Aku hanya menunjukkan kebenaran.”

Selvia melangkah masuk, suaranya meninggi. “Kau selalu pura-pura suci, Amara! Kau ambil Papa dariku, lalu pura-pura jadi korban. Sekarang kau hancurkan orang yang bekerja untuk keluargaku!”

Amara berdiri, menahan amarah. “Aku tidak pernah ingin jadi musuhmu, Selvia. Tapi kalau kau terus menyerangku, aku tidak akan diam. Kau boleh membenciku, tapi jangan tuduh aku dengan hal-hal yang tidak kulakukan.”

Selvia terdiam sejenak, matanya berkilat. “Kau pikir Papa benar-benar percaya padamu? Kau hanya numpang nama. Cepat atau lambat, semua akan melihatmu jatuh.”

Ia berbalik pergi, membanting pintu dengan keras.

Amara menutup mata, menarik napas panjang. Hatinya perih, tapi kata-kata Bagas pagi tadi terngiang: “Jangan beri mereka celah.”

Malam harinya, Bagas masuk ke kamar Amara membawa map. “Ini laporan yayasan. Kalau kau sungguh ingin memimpin program kelas desain, mulai besok kau ikut rapat tim.”

Amara menerima map itu, terkejut. “Kau benar-benar memberiku kesempatan?”

Bagas menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Kau sudah membuktikan dirimu hari ini. Sekarang buktikan lagi di luar rumah.”

Ada jeda singkat yang membuat dada Amara hangat. Ia mengangguk. “Aku tidak akan mengecewakanmu.”

Bagas hendak pergi, namun berhenti di ambang pintu. “Amara.”

Amara menoleh.

“Kau berani berdiri di sisiku tadi. Itu pertama kalinya aku melihatmu bukan hanya sebagai beban, tapi sebagai sekutu.”

Setelah itu ia melangkah keluar, meninggalkan Amara terdiam dengan wajah bergetar. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada celah kecil di dinding dingin Bagas.

Amara duduk kembali, menatap map di tangannya. Ia tahu jalannya masih panjang, tapi hari ini ia menang satu langkah. Risa sudah dipindahkan, Meylani kehilangan satu tangan kanan, dan Bagas mulai membuka sedikit pintu kepercayaannya.

Ia menuliskan satu kalimat di buku catatannya:

Aku tidak akan berhenti sampai semua yang ingin menjatuhkanku kehabisan cara.

Keesokan harinya, gosip soal pemindahan Risa sudah beredar di seluruh rumah. Para pelayan berbisik di dapur, sebagian menatap Amara dengan rasa ingin tahu, sebagian lagi dengan rasa curiga.

“Katanya Bu Risa dipindahkan ke yayasan,” ucap seorang pelayan muda.

“Pasti gara-gara Nyonya Amara,” balas yang lain. “Lihat saja, sekarang Nyonya Meylani pasti marah besar.”

Amara yang kebetulan lewat pura-pura tidak mendengar, meski jantungnya berdebar. Ia tahu setiap langkahnya kini diperhatikan.

Sore itu, ia duduk di taman belakang, berusaha menenangkan pikiran. Angin sepoi membawa aroma melati, tapi hatinya masih gelisah. Ia teringat tatapan Risa saat menangis tadi pagi—ada rasa bersalah, tapi juga ketakutan.

“Kalau Meylani bisa menyuruh Risa, artinya ia punya cara untuk mengendalikan orang-orang di sekitarnya,” batinnya. “Aku harus lebih waspada. Ini baru awal.”

Langkah kaki terdengar. Bagas muncul, tanpa jas, hanya kemeja sederhana. Ia jarang terlihat santai seperti itu.

“Kau sendiri di sini?” tanyanya.

Amara mengangguk. “Aku hanya… mencoba berpikir.”

Bagas duduk di bangku seberang. “Hari ini kau sudah membuat pilihan. Memindahkan Risa, menahan amarahmu di depan Selvia. Itu bukan hal kecil.”

Amara menatapnya. “Aku tidak tahu apakah itu cukup. Kadang rasanya, semakin aku melawan, semakin banyak musuh yang muncul.”

“Musuh akan selalu ada,” jawab Bagas singkat. “Yang penting, jangan biarkan mereka tahu kelemahanmu. Kau berhasil hari ini karena kau tenang. Lanjutkan itu.”

Ada jeda hening. Hanya suara dedaunan bergesekan. Untuk pertama kalinya, Amara merasa kata-kata Bagas bukan sekadar perintah, tapi juga pengakuan.

Malamnya, sebelum tidur, Amara menulis di buku catatannya. Ia mencatat detail kejadian hari ini—pemanggilan Risa, kata-kata Meylani, bahkan reaksi Bagas. Setiap catatan ia tulis dengan hati-hati, seolah sedang mengarsipkan medan perang.

“Kalau aku lupa rasa sakit hari ini, aku bisa lengah,” tulisnya. “Aku harus selalu ingat siapa yang ingin menjatuhkanku.”

Ia menutup buku, lalu menatap ke cermin. Wajahnya tampak letih, tapi matanya berkilat dengan tekad baru.

“Aku akan tetap berdiri. Bahkan kalau mereka mencoba seribu cara untuk menjatuhkanku,” bisiknya pada bayangan dirinya sendiri.

Dengan perasaan itu, ia memejamkan mata. Malam menelan rumah besar dalam keheningan, tapi di dalam hati Amara, api kecil menyala lebih terang dari sebelumnya.

Keesokan paginya, kabar pemindahan Risa sudah jadi topik utama di kalangan pelayan. Mereka berbisik di dapur sambil mencuci piring, ada yang merasa iba, ada pula yang tersenyum sinis.

“Kasihan Bu Risa, padahal sudah lama kerja di rumah ini,” bisik seorang pelayan muda.

“Kasihan? Dia pantas. Kalau benar ikut campur urusan Nyonya, itu berbahaya,” balas yang lain.

Amara yang kebetulan melewati dapur pura-pura tidak mendengar, tapi dalam hati ia sadar satu hal: mulai sekarang, setiap langkahnya akan selalu diperhatikan. Ia bukan hanya menantu baru, melainkan pusat gosip yang terus dipelototi.

Menjelang sore, Amara menulis ulang konsep kelas desain untuk yayasan di ruang bacanya. Pena di tangannya sempat berhenti. Ia teringat kata-kata Selvia yang menuduhnya menjebak Risa. Luka itu masih terasa, tapi kini lebih banyak memicu tekad daripada air mata.

Pintu ruang baca terbuka. Bagas berdiri di ambang pintu, membawa map cokelat. “Arman sudah siapkan laporan internal. Risa resmi dipindahkan ke kantor yayasan, mulai besok.”

Amara mengangguk, mencoba tenang. “Baik. Setidaknya, satu duri berkurang.”

Bagas berjalan masuk, meletakkan map di meja. “Amara,” suaranya lebih rendah dari biasanya, “kau sudah membuat langkah yang tepat. Tidak semua orang bisa tetap tenang dalam keadaan seperti tadi.”

Amara menatapnya. Ada sejenak hening, hanya suara detik jam berdenting di dinding. “Aku tidak punya pilihan lain selain tetap berdiri.”

Bagas menatapnya lebih lama dari biasanya. “Itu yang kubutuhkan darimu.”

Kalimat sederhana itu membuat dada Amara hangat. Ia tidak menjawab, hanya tersenyum tipis sambil kembali menunduk ke kertas. Tapi dalam hati ia tahu, hari ini ada dinding tebal yang sedikit runtuh.

Malam tiba, rumah besar tenggelam dalam keheningan. Di kamar, Amara menutup catatan harian yang baru saja ia isi. Ia menulis satu kalimat terakhir sebelum tidur:

“Hari ini aku bukan lagi sekadar bertahan. Hari ini aku mulai melangkah.”

Ia meniup lilin di samping ranjang, membiarkan kamar jatuh ke dalam gelap. Tapi di dalam dirinya, api kecil itu menyala semakin terang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!