Aku seorang gelandangan dan sebatang kara, yang hidupnya terlunta-lunta di jalanan, setelah ibuku meninggal, hidup yang penuh dengan kehinaan ini aku nikmati setiap hari, terkadang aku mengkhayalkan diriku yang tiba-tiba menjadi orang kaya, namun kenyataan selalu menyadarkanku, bahwa memang aku hanya bisa bermimpi untuk hidup yang layak.
Namun di suatu siang bolong, saat aku hendak menata bantal kusam ku, untuk bermimpi indah tiba-tiba, ada segerombolan pria berpakaian rapi, mereka menyeretku paksa, tentu saja hal seperti ini sudah biasa, aku kira aku kena razia lagi.
Dan ternyata aku salah, aku dibawa ke rumah yang megah dan di dudukan di sofa mewah berlapis emas, karena terlalu fokus pada kemewahan rumah itu.
Tiba-tiba saja aku adalah anaknya, dan besok aku harus menikah dengan duda beranak satu yang tak bisa bicara, untuk menggantikan kakakku yang kabur.
Ayo baca yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vie Alfredo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Ketahuan
" Tuan, anda mau makan saya belikan." Hamis yang tiba-tiba nongol.
" Tidak-tidak, apa yang membuatmu muncul?" tanya Ishkan lirih.
" Ada, tapi nanti saat kembali saya akan kembali melapor." ujar Hamis segera pergi lagi.
Dan setelah seharian bermain sampai puas, dia bocil itu pun akhirnya merasa lelah dan lapar.
Mereka buru-buru minta makan dan istirahat, Divon pun membawa Vania ke restoran paling mahal.
Saat akan parkir, Lenard meminta pada papahnya, untuk makan di pinggir jalan saja.
Divon mengerti maksud putranya itu.
"Lenard mengajak papahnya makan di bebek bakar Madura pinggir jalan pakai tenda yang mereka harus makan dengan tikar dipinggir jalan.
Saat turun dari mobil, semua orang melihat kearah keluarga kecil itu, mereka tidak menyangka jika warung makan sederhana itu akan mendapatkan pelanggan nasabah BCA prioritas.
"Pak, mau 3 porsi, minumnya es teh 3 ya." ujar Vania tampak terbiasa dengan hal itu.
"Silahkan duduk dulu Nona kecil, tuan muda, Om." ujar penjual itu, yang mengira jika Vania dan Lenard itu kakak adik, dan Divon adalah bapaknya.
Divon hanya menarik nafas dalam, ya dia mau menjelaskan bagaimana orang dia sedang stay membisu, mau nulis juga malas.
"Hehehe, Om ayo duduk dulu." Vania meledek Divon.
Divon mencubit pipi Vania yang mulai mengembang itu karena dia tidak bisa membalas dengan ucapan.
"Ah, ah, sakit Om." ujar Vania yang masih memanggil Divon Om, tapi memang itu cocok untuk Divon.
"Mohon maaf ini minumnya nona." ujar penjual itu dengan senyum ramahnya.
Kemudian makanan pun datang, dan juga mangkuk pencuci tangan.
"Mama, ... Ini air putih?" tanya Lenard melihat mangkok berisi air.
Maklum karena mereka tidak pernah makan di pinggir jalan.
"Bukan Lenard, itu buat cuci tangan." jawab Vania.
Buuuurrrrrrrrr ...
Vania dan Lenard langsung kena sembur Mbah Divon, karena dia sudah meminum air di mangkok duluan.
"Uhuk, uhuk, uhuk." Divon LAN menulis si kertas.
"Kenapa tidak bilang dari tadi." tulis Divon.
Vania dan Lenard sibuk mengelap wajah mereka dengan tisu karena semburan cukup banyak.
"Kau masak tidak tahu hal seperti itu!" ujar Vania kesal.
"Ini tu gunanya begini!" Vania memberikan contoh dengan memasukan tangan ke dalam air.
"Pfffft, papah hahahaha." Lenard tak kuasa menahan tawanya.
"Pak, minta air cuci lagi ya." ujar Vania
"Iya Non ini, loh kok non dan si Aden kok basah?" tanya bapak penjual itu.
"Itu pak, om saya mengira air di mangkok ini air minum putih." ujar Vania.
"Oh astaga, itu air buat kobokan tuan, aduh apa anda tidak apa-apa." ujar pak penjual setengah tertawa.
Divon memberi isyarat dengan tangan jika dirinya tidak ada masalah, hanya saja kenapa tidak ada sendok untuk makan, padahal sudah menanti.
"Sendok mana pak?" tulis Divon.
"Oh mau pakai sendok?" tanya bapak penjual.
"nggak pak, biar makan pake tangan saja pak, makasih." sahut Vania.
Vania pun menyuapi putranya lebih dahulu sebelum dia makan, karena putranya ini lebih manja sekali kalau mau makan.
Melihat cara Vania menyuapi Lenard, Divon pun mengikuti cara itu, dan menyuapi Vania.
"Apa?, kau makan saja dulu, aku nanti" ujar Vania, namun Divon kekeh mendorong untuk Vania mau membuka mulut.
Vania pun membuat mulutnya dan makan disuapi oleh Divon, melihat papahnya menyuapi mamahnya, Lenard dengan tangan mungilnya mengambil nasi dan lauk, lali menyuapi papahnya dengan senang.
"Aaggh, papah aaahhh." ujar Lenard.
Divon pun membuka mulutnya dan memakan makanan yang disuapkan oleh putra kecilnya.
Hal itu membuat Divon terkekeh, Karo siklusnya memutar, Vania menyuapi Lenard, Lenard menyuapi papahnya, dan papahnya mamanya.
Orang yang melihat pun tersenyum bahagia.
Tidak ada komentar apapun dari bapak dan anak itu untuk rasa, mereka menikmati makanan mereka tanpa protes.
Dan pada akhirnya mereka selesai makan.
Saat membayar tagihan pun Divon sangat terkejut karena makan bertiga habisnya hanya 150 saja.
Itu berpuluh-puluh lipat dari biasa dia makan sampai berjuta-juta.
Setelah membayar mereka pun segera kembali pulang, karena 2 bocil itu tampak sudah mengantuk karna kekenyangan.
Di dalam mobil dan perjalanan mereka langsung tidur dengan pulas.
Setelah sampai di kediaman Sandreas, Divon pun meminta bantuan Bella untuk menggendong Lenard ke kamarnya, dan Divon menggendong Vania ke kamarnya.
"Astagah, mengasuh 2 anak seharian sangat melelahkan." Gumam Divon mengeluh.
Divon pun segera menyelimuti Vania dan segera keluar untuk beristirahat ke ruang baca, dan juga ingin mendengar laporan Hamis.
Setelah Divon menutup pintu, Vania langsung terbangun, wajahnya tampak terkejut, karena rupanya Vania memang pura-pura tidur.
"Di--dia tidak bisu." Vania menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
Kemudian Vania mencoba menenangkan dirinya terlebih dahulu, jelas mungkin ada maksud dari suaminya itu berpura - pura untuk bisu.
"Kegilaan macam apa lagi ini?" gumam Vania memegangi kepalanya.
" Ini sih beneran gila aku lama-lama, aku harus tetap pura-pura tidak tahu." ujar Vania.
Dan akhirnya Vania memutuskan untuk Diam dan mengamati suaminya dalam bertindak.
"Oke lanjut tidur saja dulu, besok kita pikirkan lagi." gumam Vania.
Vania segera menarik selimut dan tidur dengan penuh isi kepalanya.
Sementara di ruang baca.
"Apa yang kau mau laporkan?" tanya Divon.
" Ini tentang berkas identitas nyonya muda, ada yang ganjal, dan saya sulit untuk menyelidikinya, karena ada yang tidak cocok dengan yang terdaftar." ujar Hamis.
"Coba kau cari lebih dalam dan pelan-pelan, di mana yang mengganjal." ujar Divon penasaran.
"Baik Tuan,.saya mau coba tes DNA saja gimana, Nyonya muda dengan ayahnya." ujar Hamis.
"Apa lagi ini?" tanya Divon terkejut.
"Ehm, itu ayah Nyonya itu sudah tidak subur, setelah kelahiran anak keduanya." ujar Hamis.
"Kau curiga jika, Vania bukan anak kandung dari keluarga Horem?" tanya Divon dengan nada tinggi.
"Ini hanya dugaan, Tuan." ujar Hamis.
Namun selama Hamis bekerja dengannya Hamis tidak pernah salah dalam praduganya.
"Aku akan mengambil rambut Vania, kau bisa urus sisanya dan kabari secepatnya." pinta Divon.
"Baik Tuan, saya undur diri ." ujar Hamis segera pergi.
Oh astaga, jika dia bukan anak kandung lalu dia anak siapa?, apalagi ini?, jelas-jelas dia anak haram, tapi kenapa Hamis curiga kalau buka anak kandung, permainan apa yang dilakukan oleh keluarga Horem ini.
Dalam hati Divon
Divon merasa sangat pening karena banyak sekali hal tak terduga yang terjadi.
"Hais, ... Apa yang harus ku lakukan pada anak itu kalau bukan anak dari keluarga Horem?" gumam Divon.
Kasihan sekali Vania ini karena identitasnya semakin tidak jelas.