Cover by me
Dipertemukan lewat salah paham. Dinikahkan karena perintah. Bertahan karena luka. Jatuh cinta tanpa rencana.
Moza Reffilia Abraham tak pernah membayangkan hidupnya akan terikat pada seorang prajurit dingin bernama Abrizam Putra Bimantara—lelaki yang bahkan membenci pernikahan itu sejak awal. Bagi Abri, Moza adalah simbol keterpaksaan dan kehancuran hidupnya. Bagi Moza, Abri adalah badai yang terus melukai, tapi juga tempat yang entah kenapa ingin ia pulangi.
Dari rumah dinas yang dingin, meja makan yang sunyi, hingga pelukan yang tak disengaja, kisah mereka tumbuh perlahan. Dipenuhi gengsi, trauma masa lalu, luka yang belum sembuh, dan perasaan yang enggan diakui.
Ini bukan kisah cinta biasa. Ini tentang dua orang asing yang belajar saling memahami, bertahan, dan menyembuhkan tanpa tahu apakah pada akhirnya mereka akan benar-benar saling memiliki… atau saling melepaskan.
Lanjut baca langsung disini ya👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kapten yang Tak Siap Jatuh Cinta Lagi
"Kaptenmu itu kenapa, Bam? Kerasukan? Udah hampir jam sepuluh, dari jam delapan dia lari-lari terus!" tanya Gilang sambil memperhatikan Abri yang sejak tadi mengitari lapangan depan barak tanpa lelah. "Istirahat sebentar, lanjut muter lagi. Gak capek apa?"
Istirahat sebentar lanjut muter-muter lagi. Gak capek apa?
Ibam yang tengah melakukan video call dengan pacarnya menoleh, mengedikkan bahu "lari dari kenyataan mungkin." Lalu setelahnya tergelak dengan beberapa rekannya yang lain.
"Enggak biasanya loh si Komandan kayak gitu. Sejak pulang dari rumah mamaknya, mukanya udah kayak sempak gak diganti seminggu. Lecek kali!" celetuk Denis dengan logat Medannya yang khas.
Saat itu mereka semua duduk santai di teras barak bujang, memperhatikan kelakuan sang kapten yang tampak sedang melarikan diri—entah dari siapa, entah dari apa.
"Iya, ale betul sekali. Beta juga dari tadi perhatikan. Kapten Abri sempat dapat telepon dari mamanya, tapi malah ditolak. Aneh, toh? Biasanya dia paling gak bisa nolak panggilan dari mamanya," tambah Dico, logat Timurnya kental.
Ternyata bukan cuma Gilang saja yang menyadari kejanggalan yang terjadi pada Abri, Dico juga.
Mereka semua mengangguk setuju, lalu memandangi Abri yang kini duduk di pinggir lapangan. Tubuhnya bersandar di rumput, napasnya ngos-ngosan, wajahnya nelangsa.
"Jangan bilang dia kelilit utang gara gara main slot terus jual mobil Rubiconnya buat bayar utang dan ketauan mamanya."
Tak!
Satu jitakan mendarat di kepala Gilang yang di lakukan oleh Ibam dengan tidak estetik "kepala bapak kau itu main slot! abislah burungnya paok kalo sampe ketauan sama bapaknya dia main slot!" desis Ibam.
"Ya kan mana tau, gue kan nebak aja." kelit Gilang sambil meringis.
Sakit juga ternyata jitakan Ibam.
Sementara itu, Marvin—anak baru di barak itu hanya mondar-mandir memperhatikan mereka. Dalam hati ia berpikir, ini urusan pribadi atasan, kenapa malah jadi bahan dedikasi gosip barak?
_________________
Beberapa Minggu Kemudian...
Waktu yang sakral bagi para penghuni barak bujang. Aroma parfum menyeruak dari tiap sudut ruangan. Semua orang berdandan rapi. Bukan dengan seragam dinas, tapi dengan setelan kasual terbaik masing-masing. Ada yang bersiap nongkrong di cafe, ada yang mau ngapel, ada juga yang sekadar cuci mata di mall.
Kecuali satu orang.
Kapten mereka.
Abri.
Lelaki itu hanya terbaring di ranjang, memandangi langit-langit kamar dengan mata kosong.
"Abang gak balik lagi malam ini?" tanya Ibam, sibuk membongkar isi lemari entah mencari apa.
"Gak," jawab Abri singkat, sebelah lengannya terlipat di atas dahi, matanya tertutup.
"Gak," jawab Abri enteng, lengannya ia letakkan diatas jidat dan memejamkan mata.
"Kenapa?" Denis ikut nimbrung sambil memakai celana jeans miliknya.
Mereka sudah memperhatikan Abri di beberapa malam libur tidak pernah pulang seperti biasanya, sangat aneh sekali tapi saat di tanya pasti jawabannya 'males,' Kan, aneh kan?
Abri nampak berpikir cukup lama, menimbang-nimbang. Namun setelahnya ia berucap "males," Dan ini jawaban males yang kesekian kalinya.
"Gak percaya aku! Abang yang biasanya gak pernah absen pulang tiap malam Minggu, sekarang malah 'males'? Bohong kali!" cetus Denis, curiga.
Perasaan Denis semakin janggal saja dengan keanehan kaptennya akhir-akhir ini dengan keluarganya.Yang lain mengangguk mengamini. Mereka semua tau seberapa sayangnya Abri dengan keluarganya hingga jika tidak tugas di malam Minggu ia pasti akan izin IB, pulang ke rumah orangtuanya dan sekarang tiba-tiba di beberapa malam libur ini dia bilang malas pulang? Bohong sekali.
Akhirnya Marvin ikut bersuara, "Izin, Bang... Apa akhir-akhir ini Abang punya masalah sama keluarga?"
Nah, si Marvin yang di bilang baru bergabung dengan mereka saja menotice keanehan Abri, apa lagi mereka berempat yang sudah khatam memahami sikap Komandan mereka ini.
Abri membuka matanya, lalu perlahan bangkit dari posisi tidurnya. Ia memandang satu per satu wajah para anggotanya.
Apa dia harus cerita pada anggotanya ini?
Hening. Lalu...
Abri menghela nafas lelah. "Saya cuma... banyak pikiran."
Empat orang itu langsung duduk mengelilingi ranjang. Mereka tahu, ini saatnya sesi curhat Kapten dimulai. Semua agenda
malam Minggu mereka langsung terlupakan.
"Pikiran apa itu bang? Jangan bilang Abang kelilit hutang ya," todong Denis seenak jidat. Lagi lagi otaknya berpikir Abri kalah main slot. Apa tampang Abri seperti bandar judi di mata Denis?
Abri melotot. "Sembarangan kau! Gak ada utang-utang!"
Denis terkekeh "wes, chill lah bang. Jadi apa yang membuat kapten gantengku ini banyak pikiran?" ia merangkul pundak sang kapten.
Abri menundukkan kepala "saya di jodohkan."
Keempatnya cukup kaget, namun setelahnya bisa menguasai diri merasa tak heran juga melihat umur Abri yang terbilang tak lagi muda tapi belum menikah malah di langkahi adik bontotnya sudah pasti orangtuanya akan bertindak mencarikannya jodohkan?
"Lah, terus? Apa salahnya dijodohkan?" tanya Marvin.
Abri menatap Marvin sejenak, lalu menghela nafas panjang dan kembali menunduk "saya gak mau nikah."
"Alasannya bang?" tanya Ibam, mulai serius.
"Jangan bilang masih kepikiran sama cewek gak tau diri itu ya, Bang?" sindir Denis.
Mengingat wajah wanita itu saja buat Denis pingin jatuhkan rudal ke rumahnya sangking geramnya.
Abri menatap kosong. "Saya gak bisa... Belum siap. Hati saya masih berantakan."
Ibam, Denis, dan Gilang saling pandang. Mereka tahu benar sejarah kelam percintaan sang Kapten.
"Berantakan karena Abang tra da mau coba tata ulang deng orang baru, to?" tanya Dico pelan.
Ucapan Dico membuat Abri termenung sejenak. "Bukan gak mau, Dico... Saya cuma takut. Takut jatuh cinta lagi. Takut ditinggal lagi."
Boleh tidak sih mengkorek isi kepala Senior sendiri? Baik Ibam, Gilang, Denis dan Dico merasa geram akan ucapan Abri barusan. Jika memang punya masa lalu yang mengenaskan ya mbok jangan kelihatan ngenes banget lah, yang ada mantannya makin kesenangan kalau tau Abri segalon ini.
"Gak semua cewek kayak cewek gila itu bang. Apa lagi ini pilihan orangtua Abang, udah pasti milihin cewek yang terbaik di antara yang terbaik. Percayalah samaku. Orangtua Abang itu sayang sama Abang makannya nyarikan Abang calon istri supaya Abang gak kek gini lagi."
"bener, bang kata Ibam. Gak semua cewek kek dia. Buktinya gak usah jauh-jauh, mamak Abang juga perempuan. Di tinggal tugas sama bapak pangdam selama apapun juga gak pernah pindah jalur, lurus dan sabar nunggu bapak pangdam balik."
Abri lagi lagi terdiam setelah mendengar perkataan Ibam dan Denis yang tak sepenuhnya salah, hanya saja gimana ya, Abri benar benar gak berani memulai, dia benar benar takut kejadian mengenaskan itu terjadi untuk yang kedua kalinya.
"Kalian katanya mau malam mingguan. Lihat jam udah mau jam delapan tu. berangkat sana." ujung-ujungnya Abri tak ingin meneruskan obrolan serius malam ini dengan anggotanya. Ia malah mengalihkan pembicaraan dan secara halus mengusir mereka.
"Wih, iya cok! Mampus! Ibuk negara udah ngeromet ini! Gak dikabarin dari tadi! Gak dapat jatah aku, gak dapat jatah!" Ibam panik, langsung kabur. Yang lain menyusul.
Abri melihat seluruh anggotanya langsung berhamburan pun terkekeh lalu setelahnya membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan menatap langit-langit kamar. Ruangan sudah tak sebrisik tadi otaknya mulai menggalau lagi.
Hidupnya benar benar berantakan setelah di tinggal nikah sekitar lima tahun lalu. Gambaran masa lalu mereka saja masih tergambar jelas dalam ingatan Abri yang dulu menurutnya begitu indah jika di ingat namun sekarang bagai belatih yang mampu menyayat nyayat hatinya sampai tak berbentuk lagi.
Hubungan yang di jalin Abri dengan sang mantan bukan setahun dua tahun melainkan hampir tujuh tahun terhitung dari Abri duduk di bangku pertengahan SMA. Tapi mengapa wanita itu begitu tega meninggalkannya dan memilih menikah dengan pria lain padahal mereka masih menjalin hubungan.
Dret! Dret!
Ponsel Abri bergetar, membuat sang empu langsung tersadar dan kembali ke masa kini. Nama Dwika tertera disana. Ia jadi teringat akan perkataan sang papa yang mengatakan bahwa gadis yang di jodohkan dengannya itu adalah anak dari panglima jenderal Hamzah, yang berarti adik ipar dari Dwika. Apa Dwika sudah mendengar kabar perjodohan tersebut dan meminta pendapatnya?
"Ya, halo." Abri mulai berbicara.
"Lagi dimana?"
"Di barak, apaan?"
"Kau gak keluar?"
"Gak, males. Kenapa?"
"Gak ada, aku cuma mau kasih kabar. Bulan depan aku di pindah tugaskan ke sat 81."
Spontan Abri mendudukkan dirinya "Hah? Serius? Lulus seleksi?" mengingat jika ingin masuk satuan 81 Gultor itu harus melewati seleksi yang cukup ketat karena yang berada di sat 81 itu adalah prajurit kopassus pilihan terbaik di antara yang terbaik.
Dwika terkekeh. "Sepele. Mantunya Panglima Jenderal, bro. Gak mungkin gak lolos." ucap Dwika sombong.
Abri mendengus. "Baru lulus percobaan kelima, sombongnya udah kayak lulus Harvard. Aku aja yang sekali nyoba langsung jebol aja kayak kau sombongnya."
"Ya si anjing, gak usah di perjelas juga dong!"
Abri tertawa mendengar umpatan Dwika di sebrang sana. Suasana hatinya sedikit membaik. "Udah ah, gue mau tidur."
"Dih, jomblo ngenes. Malam Minggu bukannya pelukan sama pacar malah sama guling." ejek Dwika.
"Bacot!"
Tut!
Langsung saja Abri putuskan sambungan panggilan mereka setelah mengumpati sang sahabat.
______________
Pukul delapan malam, Moza baru pulang dari studio. Tentu saja di jemput Aji, sang ajudan setia.
Dan kini keduanya secara bersamaan memasuki kediaman Abraham dengan Aji yang berjalan tepat di belakang gadis itu.
"Assalamualaikum," salam keduanya secara bersamaan.
"Waalaikumsalam," jawab Clara yang saat itu tengah duduk di ruang santai sambil menonton televisi.
"Kok malam benget kalian baru pulang?" tanya Clara.
"Bulan-bulan rame nikahan, Mi. Studio full order prewed," jawab Moza sambil duduk di sebelah sang mama.
Clara mengangguk "letnan Aji sudah makan?" tanya Clara begitu perhatian.
"Belum Bu."
Clara langsung menatap tajam sang putri membuat Aji kembali bersuara "bukan karena nona Moza gak kasih saya makan, tapi karena saya memang pingin makan di rumah Bu, makan di luar terus juga bosan."
Clara lalu tersenyum "ya sudah kalau begitu, lauk sama sayurnya sudah ada di atas meja makan. Kalau sudah dingin, minta bibi panaskan ya."
"Siap Bu. Kalau gitu saya permisi dulu." Aji langsung pergi ke kamarnya yang terletak di bawah tangga bersama dengan kamar Marwan karena keduanya sekamar.
"Papi belum pulang?" tanya Moza tak melihat sang papi yang biasanya pasti selalu menempel pada sang mami jika berada di rumah.
"Belum."
"Kalau bang Julian, kak Fira sama Sean mana?"
"Julian masih di kantor, kalau Fira sama Sean lagi di kamar ngerjain tugas prakarya sekolah Sean."
Moza manggut-manggut "Kalau gitu, Moza juga pamit mi, mau mandi," Moza lantas bangkit dari duduknya.
"Eh, tunggu dulu dek, mami mau ngomong sesuatu sama Oza."
"Ngomong? Ngomong apa?" Moza kembali duduk di tempatnya.
Clara tak langsung mengatakan apa yang ingin ia katakan lebih dulu, melainkan menatap wajah putri bungsunya ini Lamat-Lamat lalu membelai pipi gadis itu dengan sayang. "Oza..."
"Iya mi?"
Kembali Clara diam sejenak lalu selanjutnya menarik nafas mungkin ini saat yang tempat untuk memberi tahukan Moza soal perjodohan yang mereka rencanakan untuknya.
"Apa pendapat Oza tentang perjodohan?"
Moza langsung menegakkan duduknya, ia menatap wajah maminya begitu lekat. "Kenapa mami tanya begitu?"
Clara tersenyum "Mami tanya, Oza harus Jawab."
Moza berpikir sejenak. "Gak masalah, sih. Asal gak dipaksakan dan dikasih ruang buat saling kenal. Kalau cocok lanjut, kalau enggak ya udah. Anak muda sekarang banyak fokus cari uang dulu, bukan jodoh mi, nggak sempat juga. Jadi kalau di jodohkan sama orangtua gak masalah sih."
Clara mengangguk puas. "Kalau gitu, gimana kalau Papi dan Mami jodohkan Oza?"
Moza termenggu sejenak "gak salah ini papi jodohin Oza?" bukan bagaimana, banyak loh pria di luar sana yang menginginkan Moza tapi tak satupun menembus benteng pertahanan Hamzah dan sudah pasti pria itu menolaknya keras seakan-akan tak akan pernah menikahkannya dengan siapapun seumur hidupnya. Tapi ini apa? Bahkan Hamzah yang berinisiatif dengan menjodohkannya.
Clara mengangguk semangat tidak lupa dengan full senyum. "Dia anak pangdam Kodam jaya, papanya teman papi. Dan juga seorang tentara."
"Orangnya gimana?"
Clara mencoba berpikir dan mengingat-ingat sosok Abri itu seperti apa. "Mami baru ketemu sekali sih, anaknya manis, ramah banget, murah senyum, penurut, penyayang dan tentunya ganteng dong sama satu lagi, dia tinggi banget loh dek, mami bahkan cuma sebatas ketiaknya doang. Pokoknya dia gagah banget cocok banget sama Oza." jelas Clara dengan antusias.
Melihat cara maminya bercerita Moza yakin jika memang pilihan orangtuanya kali ini tidaklah salah, sudah pasti pemuda itu begitu berkesan sampai membuat kedua orangtuanya tanpa ragu menjodohkannya dengan pria itu.
"Dia juga teman dekatnya Dwika. Dan setelah mami cari tahu, ibu-ibu batalyon di tempat dia tugas juga punya julukan untuknya kamu tau gak julukannya apa?" lanjut Clara lebih antusias membuat Moza tersenyum geli lalu selanjutnya menggelengkan kepalanya. sesuka itu mamanya pada sosok pria yang belum Moza ketahui akan di jodohkan dengannya.
"Mantu idaman. Semua ibu-ibu disana pingin jadikan dia mantu mereka. Dia sesempurna itu loh dek sampai ibu-ibu disana semua menyodorkan anak-anak mereka. Jadi Oza mau ya mami jodohkan sama dia?"
Deg!
Tawa Moza langsung mereda ia menatap dalam wajah sang mami yang matanya penuh binar bahagia seperti telah menemukan harta karun yang begitu berharga untuk putrinya.
Melihat Moza yang tiba tiba terdiam Clara lantas tersenyum, ia kembali membelai wajah sang putri "papi sama mami yakin kalau dia bisa jagain Oza, bahagiakan Oza dan tentunya membimbing Oza. Gak pernah Loh papi dengan sukarela menyerahkan putrinya pada seorang pria seperti ini. Kamu tau sendiri kan seperti apa perlakuan papi ke Dwika dulu sampai mas mu itu bisa benar benar mendapat restu dari papi untuk memperistri Belian?"
Kini tangan Clara turun, menggenggam tangan Moza erat. "Papi gak pernah main-main dalam hal ini. Kalau beliau sudah pilih, itu pasti yang terbaik."
"Kamu tau kan kalau nikah itu ibadah, dan ibadah itu indah sayang, termasuk pernikahan."
"Jadi walaupun kalian belum saling kenal, mami yakin perlahan tapi pasti cinta itu akan tumbuh karena terbiasa bersama."
Moza diam. Dalam hati membenarkan perkataan sang mami.
"Jadi bagaimana? Apa Moza mau di jodohkan dengan pria itu?"
Melihat binar mata bahagia sang mami rasanya Moza benar benar tak tega untuk menolak. Belum lagi mendengar ini adalah pilihan dari papinya langsung yang sudah pasti pilihan yang terbaik dari yang tebaik.
"Iya mi, Moza mau."
lanjut cerita anak papa saga yg lain ya Thor.
samapi cucu cicitnya🤭💪💪💪🔥🔥🔥
akhir nya happy ending..tamat walaupun sebetulnya masih g rela koq ceoat berakhir.sukses terus ya kak..dinanti karya2 selanjutnya bang aidan yg blm tamat
makasih kak udah ngasih cerita yg bagus yg bisa menghibur,bisa bikin kita gemes,baper,nangis" ....
aku tunggu Aidan sama Arga nya kak ... 😘😘😘😘
super duper pleaseeeee thor nggak pkai bnyakkkk
stu lg dong boncap nya please🙏🙏🙏🙏🙏🙏