Queen memilih memendam perasaannya pada Safir, karena tidak ingin merusak hubungan persahabatan mereka berdua. Queen pikir, selama ini Safir juga memiliki perasaan yang sama seperti dirinya. Perasaan itu semakin bersemi di hati Queen karena sikap Safir yang begitu perhatian terhadap dirinya. Meskipun perhatian tersebut tidak terang-terangan di tunjukkan oleh safir karena sikapnya yang pendiam dan juga dingin. Namun, siapa yang bisa menduga jika setelah mereka lulus kuliah, Safir datang ke rumah untuk melamar. Bukan Queen yang di lamar oleh Safir, tapi Divya. Bagaimana kisah selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nia masykur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 Omelan Ruby
“Safiiirrr …”
Baru saja Safir menerima panggilan dari saudara kembarnya yang ada di Jakarta, kini Safir memilih untuk menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara pekikan Ruby yang menggelegar.
“Kakak ini, bukannya salam malah teriak. Sakit telinga Safir,” sebisa mungkin Safir mencoba untuk biasa saja. Padahal saat ini Safir sudah berprasangka kalau Ruby juga pasti akan mengomeli dirinya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam. Tumben Kakak telpon.”
“Stop Safir. Kakak enggak berniat basa basi sama kamu,” ucap Ruby karena merasa Safir akan mengalihkan pembicaraan dan beralih ke ketiga anak kembarnya. “Kamu serius mau menikah sama Kak Divya?”
“Seriuslah. Memangnya Safir terlihat bercanda?”
“Dasar kulkas sepuluh pintu dan mati rasa karena sangking bekunya,” geritu Ruby yang semakin kesal dengan adiknya tersebut.
“Kakak bilang apa?”
“Fir, Kakak mau tanya sama kamu untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Kamu dan Queen itu dekat sudah sejak lama. Bahkan kamu sama Queen terus bersama sejak Kakak pindah ke Jakarta. Kamu serius tidak memiliki perasaan sedikitpun sama Queen?”
Safir hanya bisa menghela nafasnya pasrah. Ia bingung kenapa semua orang menuntutnya dengan pertanyaan seperti ini. Padahal sudah jelas, ia dan Queen memang murni hanya bersahabat saja.
“Kak, Safir dan Queen hanya murni bersahabat tanpa adanya perasaan yang lebih dari kami. Sudahlah. Safir sudah sejak lama yakin dengan perasaan Safir ini. Kami akan segera menikah Kak. Jangan bertanya hal-hal yang mungkin saja nantinya membuat Divya tersinggung.”
“Kak Divya juga tidak akan tahu ucapanku sekarang, kalau kamu tidak ceritakan,” di seberang sana, Ruby tersenyum kecut menanggapi adiknya tersebut. “Menikah itu bukan hanya soal cinta, Fir. Tapi berkaitan
dengan kenyamanan. Nyaman dalam segala hal, yang membuat pasangann suami istri
itu saling membicarakan segala hal dengan pasangan hidupnya. Intinya nyambung
saat sedang mengobrol. Hal seperti itu sepele, tapi itu sangat penting dalam
sebuah rumah tangga.”
“Kakak dulu tidak suka dengan Mas Zen tapi lihat sekarang? Kakak bahagia kan? Safir yakin bisa bahagia dari yang Safir perkirakan karena Safir menikah dengan perempuan yang Safir suka, dan dia pun menyukai Safir?”
“Kamu yakin Kak Divya menerima kamu karena Cinta?” pertanyaan Ruby tersebut membuat Safir terdiam. “Seperti yang Kakak tangkap saat pembicaraan keluarga tadi, Kak Divya menerima kamu karena komitmen yang telah kamu berikan. Benar bukan?”
“Ya. Awalnya memang seperti itu. Tapi sekarang Safir bisa merasakan kalau Divya juga membalas perasaan Safir.”
“Jika memang kamu sudah yakin dengan keputusan kamu. Kakak harap kamu bisa menciptakan kebahagiaan di dalam keluarga. Ingan satu hal, Safir. Dalam rumah tangga kebahagiaan istri itu sangat penting. Kamu sebagai kepala rumah tangga juga harus pintar menciptakan suasana yang sangat
menyenangkan. Perempuan itu suka di perlakukan dengan sangat lembut dan satu
hal lagi, perempuan suka jika suaminya mau mengajak istrinya berbicara dalam
segala hal. Jadi Kakak harap, Safir bisa begitu nanti dengan Kak Divya.”
“Tentu Kak.”
Kalau saja Ruby tahu semuanya ini sejak lama. Pasti Ruby akan meminta Safir untuk melihat Queen sebagai gadis yang bisa di cintai. Bukan sebagai sahabat saja. Karena di mata Ruby, Safir dan Queen memang sangat cocok. Safir yang pendiam dan perhatian dengan caranya sendiri. Sedangkan Queen yang memiliki kepribadian yang sangat ceria dan terkadang ceroboh. Hal itulah yang membuat Safir sangat melindungi Queen. Bahkan untuk menaiki taksi seorang diri saja, Safir akan melarang Queen.
Deg!
Mengingat cerita Queen yang di larang keras menaiki taksi selama ini, membuat perasaan Ruby menjadi aneh. Lalu selama ini Safir membiarkan Divya yang setiap hari mengendarai mobil seorang diri. Sedangkan Queen, selalu mendapatkan sikap posesif safir selama ini.
“Sudah malam ini Kak. Besok Safir punya janji temu dengan klien.”
“Fir.”
“Iya Kak.”
“Manusia memang seperti itu, tidak sadar dengan hal-hal kecil yang sebenarnya penting. Semuanya akan terasa jika sudah kehilangan. Semuanya akan berbeda jika sesuatu hal yang sudah seperti kehidupan kita telah pergi.”
“Maksud Kakak?”
“Safir pikir saja sendiri. Oh iya, maaf jika Kakak tidak bisa membantu Safir mempersiapkan pernikahan. Kami dari keluarga yang ada di Jakarta kemungkinan bisa pulang ke Malang sekitar satu minggu sebelum hari acara.”
“Tidak apa-apa, Kak. Semuanya juga memang sudah siap.”
Setelah selesai berbincang, Safir segera membersihkan diri dan ganti baju yang lebih nyaman untuk tidur.
Meski sudah sejak tadi lelaki muda tersebut merebahkan diri di atas ranjang, nyatanya Safir tetap tidak bisa memejamkan kedua matanya. Ia terus menatap langit-langit kamarnya yang nampak remang-remang. Pikirannya kalut dengan perkiraan Zantisya dan Reina.
“Kenapa bisa Bunda dan Tante Reina mengira aku dengan Queen. Padahal selama ini semua orang juga tahu kalau kami hanya bersahabat. Selama ini aku mengantarnya pulang juga demi keamanannya juga kan?” gumam Safir menilai tentang apa yang telah ia lakukan pada Queen. Setelah itu, Safir
kembali terdiam dan mencerna ucapan Ruby. “Aaaggghhh, enggak tahu ah. Yang
penting sekarang aku hanya akan fokus sama pernikahan aku,” lelaki tersebut
tersenyum. Mengingat lagi bagaimana cantiknya Divya tadi. “Dia cantik sekali.”
Esok paginya, Safir sudah bersiap karena pagi ini ia akan menemui klien bersama Queen. Begitu dirinya sudah rapih, sambil keluar kamar, Safir menghubungi Queen. Maksud hati Safir dengan mereka pergi bersama seperti biasanya agar bisa sampai lokasi tujuan juga bersama-sama. Tapi siapa yang menduga jika Queen tidak biasanya menjawab teleponnya dengan nada yang begitu ketus.
“Pagi-pagi kok sudah terdengar marah-marah. Kenapa sih dia ini?” gumam Safir sambil menatap layar ponselnya setelah Queen mengakhiri panggilan suaranya secara sepihak.
“Mau kemana?” tanya Zantisya saat Safir baru saja memasuki ruang makan. Ia melihat Safir yang sudah sangat rapih dan juga wangi.
“Ketemu dengan klien, Bun. Setelah itu, mau melihat bangunan kantor,” ucapnya sambil duduk. Safir segera meraih roti bakar dan mengambil daun selada, telur, saos, dan juga mayoneis.
“Dengan Queen?” tebak Zantisya. Ia hanya melirik Safir sebentar saja.
“Iya, Bun.”
“Jangan selalu bepergian dengan Queen. Safir tidak takut Divya cemburu?”
“Tidak akan Bun. Divya tahu kalau selama ini kami hanya bersahabat. Lagi pula Safir selalu bilang sama Divya kalau kami akan bepergian.”
“Sekalipun Queen adiknya. Apakah Divya tidak sekalipun pernah cemburu?”
Pertanyaan Zantisya berhasil membuat Safir yang akan menggigit kembali sarapannya berhenti begitu saja.
demo rumah emak guys