Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Satu tahun telah berlalu sejak malam di mana Senja dan Damar benar-benar menjadi satu. Kehidupan mereka berlanjut dalam pola yang stabil: Damar dengan pekerjaannya yang terus menanjak, dan Senja yang kini menjadi fotografer freelance yang cukup dikenal di komunitas kecilnya. Kehangatan rumah itu semakin kuat, dan cinta mereka tumbuh menjadi sesuatu yang kokoh dan tak tergoyahkan.
Kini, fokus mereka beralih. Mereka sepakat untuk mulai berusaha memiliki momongan.
Selain Damar, Ibu Fatimah Ibu Damar dia adalah sumber kebahagiaan terbesar Senja. Pagi itu, Senja sedang sibuk di dapur bersama Fatimah.
"Sudah setahun menikah, kalian harus lebih giat, Nak," canda fatimah, sambil mengajari Senja cara membuat kue tradisional yang sempurna.
Senja tersenyum malu. "Ibu ini! Kami sudah berusaha, Bu. Mungkin memang belum waktunya."
"Ibu tidak pernah khawatir," kata fatimah, memeluk Senja. "Lihatlah kau sekarang, kau bahagia, kau mandiri. Itu sudah cukup bagi Ibu. Tapi kalau kalian ingin cepat, Ibu akan doakan."
Hubungan Senja dengan fatimah ibu mertuanya adalah segalanya yang tidak pernah ia dapatkan dari Paramita kasih sayang tanpa syarat, kehangatan, dan dukungan. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada kekhawatiran yang mulai menyelinap.
Senja mulai merasa cemas karena setiap bulan, harapan itu pupus. Ia mulai takut, apakah kata-kata Paramita di masa lalu tentang "sial" dan "bencana" memiliki kebenaran?
Kecemasan ini memuncak saat Paramita menemukan cara baru untuk mengganggunya. Ia tidak lagi menelepon, tetapi mengirim email melalui akun anonim yang lolos dari blokir Damar.
Senja membuka email itu pada suatu sore. Isinya bukan ancaman keuangan, tetapi racun psikologis murni.
"Senja. Ibu dengar kau belum juga hamil. Itu wajar. Kau adalah anak durhaka yang tidak bisa membawa berkah. Tuhan tidak akan pernah mempercayakan anak padamu, karena kau telah menghancurkan keluarga suamimu yang bodoh itu. Kau mandul. Kau dikutuk. Kau adalah beban yang tidak akan pernah bisa memberikan apa pun. Kau pikir kau bisa bebas? Kau akan tahu rasanya menjadi wanita tak berguna tanpa keturunan. Sama seperti saat kau tidak berguna saat Fajar meninggal."
Membaca email itu, tubuh Senja langsung menegang. Satu tahun penyembuhan seolah runtuh dalam sekejap. Air mata mengalir deras. Ia buru-buru menghapus email itu, tidak ingin Damar melihatnya.
Malam-malam berikutnya, Damar merasakan ada yang berubah pada Senja. Senja tidak lagi memeluknya seerat biasanya saat tidur, dan tawa ringannya seringkali terhenti di tengah jalan.
Suatu malam, saat mereka sedang menonton TV, Damar mematikan volume.
"Ada apa, Sayang?" tanya Damar lembut, mengusap rambut Senja.
"Tidak ada, Damar. Aku hanya lelah. Pekerjaan freelance hari ini cukup menguras tenaga," jawab Senja, berusaha tersenyum.
"Jangan bohong, Senja. Kau adalah istriku, aku tahu perbedaan antara lelah dan tertekan. Kau sudah tidak lagi bicara tentang kegugupan, tapi kini kau bicara tentang rasa bersalah dan kesedihan yang kau sembunyikan. Siapa? apa dia ibumu?"
Damar membalik tubuh Senja agar menghadapnya. "Lihat aku. Kita berjanji tidak ada rahasia. Katakan padaku apa yang dia lakukan. Aku tidak akan marah. Tapi aku tidak bisa melawan bayangan jika kau tidak menunjukkan wujudnya padaku."
Mendengar desakan Damar yang penuh kasih, pertahanan Senja runtuh. Ia menangis tersedu-sedu, akhirnya menceritakan tentang email anonim itu dan semua kata-kata Paramita.
"Dia bilang aku mandul, Damar," isak Senja. "Dia bilang aku durhaka dan Tuhan menghukumku karena aku meninggalkan dia. Dia bilang aku tidak akan pernah bisa memberikanmu anak, dan aku akan jadi beban selamanya! Aku takut, Damar. Bagaimana kalau dia benar? Bagaimana kalau aku memang dikutuk?"
Damar memeluk Senja erat-erat. Wajahnya mengeras, bukan pada Senja, tetapi pada Paramita.
"Dengar, Istriku," kata Damar, suaranya tegas, memegang wajah Senja. "Ibumu itu pembohong. Dia menggunakan agama dan masa lalu untuk membuatmu takut lagi. Aku tidak peduli dengan apa yang dia katakan. Tapi aku tidak akan membiarkan kebohongan itu merusak kedamaian yang sudah kita bangun."
"Kita akan buktikan," lanjut Damar. "Kita akan buktikan bahwa kau sehat, aku sehat, dan kita tidak dikutuk oleh siapa pun."
Pagi harinya, Damar menelepon dan membuat janji dengan dokter kandungan (OB-GYN) terbaik.
"Kita akan periksa berdua," kata Damar pada Senja. "Kita akan hadapi ini sebagai tim. Jika ada masalah, kita hadapi berdua. Tapi aku yakin, kita baik-baik saja."
Kunjungan ke dokter itu berjalan dengan pemeriksaan Damar dan Senja. Setelah beberapa tes, dokter memanggil mereka berdua.
"Bapak Damar dan Ibu Senja," kata Dokter Obgyn itu, tersenyum. "Berdasarkan hasil, Anda berdua sama-sama subur. Tidak ada masalah kesuburan. Kesehatan Anda berdua sangat baik."
Mendengar kata-kata "sangat subur," air mata Senja langsung mengering. Kata-kata Paramita tentang "mandul" dan "kutukan" langsung terasa hampa.
"Mungkin memang belum saatnya, atau mungkin ada faktor stres yang mempengaruhinya," jelas Dokter. "Teruslah berusaha, nikmati pernikahan Anda. Hasilnya sangat positif."
Di mobil dalam perjalanan pulang, Senja memeluk Damar erat-erat.
"Aku tidak mandul, Damar," bisik Senja, penuh kelegaan. "Dia berbohong. Aku tidak dikutuk!"
"Tentu saja tidak," kata Damar. "Kau tidak pernah menjadi Beban Kelahiran yang Tragis, Senja. Kau adalah istriku yang paling kuat. Ibu mertuaku itu sudah kalah. Kita tidak hanya melawan dia, kita melawan bayangan yang dia tanamkan di pikiranmu. Dan kita yang menang."
Damar dan Senja, lega dan bersatu, siap menghadapi serangan Paramita berikutnya dengan benteng cinta dan fakta medis.