Masih saling sayang, masih saling cinta, namun terpaksa harus berpisah karena ego dan desakan dari orang tua. Ternyata, kata cinta yang sering terucap menjadi sia-sia, tak mampu menahan badai perceraian yang menghantam keras.
Apalagi kehadiran Elana, buah hati mereka seolah menjadi pengikat hati yang kuat, membuat mereka tidak bisa saling melepaskan.
Dan di tengah badai itu, Elvano harus menghadapi perjodohan yang diatur oleh orang tuanya, ancaman bagi cinta mereka yang masih membara.
Akankah cinta Lavanya dan Elvano bersatu kembali? Ataukah ego dan desakan orang tua akan memisahkan mereka dan merelakan perasaan cinta mereka terkubur selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jesslyn Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hasil pemeriksaan
Bahkan sepagi ini, mama Erika dan mama Citra sudah datang ke rumah Vano. Mereka begitu antusias menyambut calon cucu mereka.
Elana terbangun karena riuh suara dari luar kamar, "Ada apa Papi?" Tanya Elana bingung.
"Tidak ada apa-apa sayang. Elana sudah siap sekolah hari ini?" Vano mencoba mengalihkan perhatian Elana.
Elana mengangguk, lebih baik ia pergi ke sekolah, daripada terus tetap tinggal di rumah.
"Vano! Kamu malah sibuk urus Elana sih?! Elana bahkan punya dua pengasuh," Mama Erika tiba-tiba masuk kedalam kamar Elana, bahkan wanita paruh baya itu sudah emosi sepagi ini.
Elana yang ketakutan reflek memeluk Vano dengan erat.
"Ma... tolong pelankan suara Mama," ucap Vano dengan suara tertahan, berusaha keras meredam amarahnya.
"Elana kamu jangan manja! sebentar lagi kamu akan punya adik dari mama Bella," mama Erika seolah tak perduli dengan peringatan dari Vano.
"Mama cukup!" Vano akhirnya terbawa emosi dengan ucapan mama Erika, yang pastinya melukai hati Elana. Jadi sikap baik mama Erika kemarin hanya sandiwara, karena ternyata hari ini mama Erika menunjukan sikap aslinya.
"Cepat atau lambat Elana pasti akan tahu Vano, tidak usah disembunyikan,"
"Semuanya belum pasti Ma," Vano mengelak.
"Karena itu, cepatlah ke rumahsakit. Ada suster dan supir yang mengurus dan mengantar Elana sekolah,"
"Tidak! Vano yang akan mengantar Elana ke sekolah," Vano tetap dengan pendiriannya.
"Dasar keras kepala!!" Mama Erika kesal kemudian pergi begitu saja.
"Apa yang di katakan Oma benar, Papi?" Sorot matanya sendu, kini bahkan wajah Elana bahkan nampak murung.
"Tidak sayang, Elana tidak usah dengar kata Oma," ucap Vano lembut sambil membelai kepala Elana, ia tak tega membiarkan anak sekecil itu mendengar perkataan yang tidak pantas, terlebih dari neneknya sendiri.
Seperti janjinya, Vano mengantar Elana ke sekolah. Elana berdiri cukup lama di depan gerbang, ia memperhatikan keadaan sekitar, berharap Vanya datang. Keinginan Elana sederhana, ia hanya ingin memastikan Vanya dalam keadaan baik, dan oma Erika tidak mencelakainya lagi.
"Kenapa belum masuk?" Tanya Vano yang juga memperhatikan Elana hanya berdiam diri di depan gerbang.
"Iya... Elana masuk," Elana melambaikan tangan pada Vano, kemudian gadis kecil itu benar-benar masuk ke dalam sekolah.
Vano pun kembali ke rumah, dan mengajak Bella pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan. Sejujurnya, ia merasa gamang jika Bella benar-benar hamil, mengingat tekadnya untuk segera menggugat cerai Bella.
Pagi ini Bella melakukan pemeriksaan di dokter spesialis kandungan, mama Erika dan mama Citra begitu antusias mendengar penjelasan dokter. Berbeda dengan Vano, pria itu nampak tegang.
"Apa Ibu sudah terlambat datang bulan?" Tanya dokter wanita tersebut.
"Sudah Dok," jawab Bella mantap.
"Sudah di lakukan tespack di rumah?" Tanya dokter itu lagi.
"Sudah," jawab Bella singkat.
"Bagaimana sudah kelihatan hasilnya?"
Bella menggeleng, "Masih samar,"
"Baik kalau begitu kita periksa dulu ya Bu," Dokter itu dengan sopan meminta ijin menyingkap baju Bella. Kemudian mengolesinya dengen gel khusus, setelah itu menempelkan alat USG pada perut Bella yang masih rata itu.
Dokter itu dengan teliti memeriksa perut Bella.
"Mari saya jelaskan Bapak, Ibu. Silahkan lihat ke monitor di depan anda," ucap dokter seraya menunjuk monitor.
"Menurut pemeriksaan yang saya lihat, janin memang belum terdeteksi, mungkin karena masih terlalu dini. Tapi itu bukan berarti Ibu tidak hamil," dokter menjeda ucapannya.
"Lalu bagaimana Dok?" Kini Bella nampak cemas.
Dokter itu kemudian menunjuk sesuatu di monitor. "Kemungkinan ini bakal kantung janin, tapi saya juga tidak bisa memastikan. Sebaiknya Ibu kembali dua minggu lagi, untuk melakukannya pemeriksaan kembali." Jelas dokter itu.
Vano merasa masih cemas, meski hasil pemeriksaan sudah keluar.
Mama Erika dan mama Citra saling berpegangan menguatkan Bella.
"Baik Dok," ucap Bella kemudian.
"Saya hanya akan resepkan vitamin untuk Ibu, saya harap setelah dua minggu Ibu datang lagi ya," Dokterpun menulis resep vitamin untuk Bella.
Setelah selesai mereka pun keluar dari ruangan.
Secara tidak sengaja Vanya melihat Vano, Bella, mama Erika juga seorang perempuan yang tak ia kenal keluar dari ruangan. Vanya memilih menghindar, dan bersembunyi di balik tembok.
"Tidak apa-apa sayang, kemungkinan hamil masih besar 'kan. Jadi kita tunggu saja ya, apa mau pindah rumah sakit saja?" Mama Erika menggenggam tangan Bella dan meyakinkan.
"Tidak usah Ma," tolak Bella takut lagi kecewa dengan hasilnya nanti. Lebih baik ia tunggu saja sesuai saran dokter tadi.
"Ya sudah kita sekarang lebih baik pulang, Bella kamu juga harus banyak istirahat, mama juga yakin kalau kamu hamil. Feeling seorang ibu itu kuat," Mama Citra berusaha menenangkan Bella yang nampak kecewa.
Vanya keluar dari persembunyiannya setelah mereka semua meninggalkan tempat itu, Vanya tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan.
Kemudian ia berjalan ke arah ruangan tempat dimana mereka keluar tadi, ternyata ruangan tersebut bertuliskan 'Spesialis obgyn'.
"Bella hamil?" Vanya masih berdiri di depan pintu itu dengan tatapan kosong.
Vanya mencoba mengabaikan perasaannya, Syukurlah jika memang benar, itu artinya Bella tidak akan memanfaatkan Elana lagi untuk mengikat Vano. Dan Elana bisa segera kembali tinggal bersamanya.
Vanya pun akhirnya melanjutkan niatnya, dan beranjak ke ruang pemeriksaan.
"Ibu, saya sarankan anda di rawat inap," ucap dokter saat selesai melakukan pemeriksaan terhadap Vanya.
"Apa bisa rawat jalan saja dok," Vanya menolak rawat inap, sebab masih banyak sekali yang harus ia urus, terutama soal Elana.
"Itu sangat beresiko Bu, tensi darah anda rendah, juga ada masalah di lambung anda." dokter tersebut menjelaskan kondisi kesehatan Vanya.
"Dokter... saya merasa masih kuat. Jika memang nanti saya benar-benar tidak kuat saya akan kembali lagi ke rumah sakit untuk rawat inap," Vanya meyakinkan.
"Semua keputusan ada di tangan Ibu, saya hanya menyarankan yang terbaik," ucap dokter pada akhirnya, ia pun tak bisa memaksa jika pasien tidak mau.
"Terimakasih Dokter."
"Tapi untuk sekarang Ibu butuh di infus vitamin dulu, dan saya akan meresepkan obat, setelah nanti cairannya habis Ibu boleh pulang,"
Suster mengantar Vanya ke ruangan untuk mendapat infus vitamin.
Kali ini Vanya tak lupa menghubungi Ryuji untuk mengabarkan keterlambatannya. Atau jika tidak memungkinkan, hari ini Vanya ijin tidak masuk bekerja.
Dengan tatapan hampa Vanya memandangi tetes demi tetes cairan infus yang jatuh, seolah waktu berjalan sangat lambat dan membosankan.
"Elana... Mami rindu," gumamnya pelan.
Tanpa di duga tiba-tiba saja Ryuji datang dan menghampiri Vanya, "Bagaimana keadaanmu?" Wajah Ryuji terlihat cemas.
"Sudah lebih baik Pak, setelah ini saya boleh pulang." jawab Vanya berbohong. Ia hanya tak ingin merepotkan orang-orang di sekiranya. Bahkan mama Herlina pun tak ia beri tahu.
"Vanya, lebih baik kamu di rawat inap saja," kini Ryuji memberi saran.
Vanya menggeleng, "Saya ingin menemui Elana di sekolah,"
"Baiklah, nanti saya akan temani,"
"Bapaknya bukannya sedang sibuk?" Vanya tahu persis jadwal Ryuji hari ini.
"Saya sudah batalkan agenda hari ini. saya juga sudah minta Papa untuk menggantikan pekerjaan yang memang sangat penting,"
"Mr. Tanaka?"
"Biarkan saja, Vanya. Papa 'kan memang pemilik perusahaan ini. Mumpung ada di sini, biarkan beliau lihat sendiri bagaimana kondisi perusahaan," ucap Ryuji tersenyum, mengingat usahanya memaksa ayahnya untuk menggantikan dirinya hari ini.
Vanya hanya mengangguk, kalau sudah begini mau menolakpun sungkan.
Tak terasa, cairan infus telah habis. Perawat akhirnya mencabut selang di tangan Vanya. Tak lupa Ryuji juga menebus obat Vanya di apotik.
Ryuji membantu memapah tubuh Vanya keluar dari rumah sakit. "Kamu yakin kuat?" sejujurnya Ryuji merasa khawatir melihat kondisi Vanya.
"Yakin Pak," jawab Vanya, wanita itu terus meyakinkan.
"Langsung ke sekolah Elana?"
"Iya Pak," jawab Vanya yakin.
"Baiklah," Ryuji hanya menurut, Padahal biasanya di kantor Ryuji yang memerintah Vanya, di sini keadaan terbalik.
Ryuji pun melajukan mobil menuju sekolah Elana.
***
Jangan lupa, like, komen dan subscribe yaa...
akankah Karina kapur jadi kunci??? nantikan kelanjutannya.........