Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Tanda Lahir
Hiro terdiam seketika. Dia mulai merasa bersalah dengan keputusan yang sudah diambil secara sepihak itu. Dia sendiri tidak mau mengeluarkan Gendis dari anggapan bahwa Reina adalah putrinya dengan Rumi.
Mendadak semuanya menjadi lebih rumit. Hiro hanya bisa mengusap wajah kasar. Pikirannya berkecamuk, berusaha memecahkan masalah rumit yang kini justru berbalik kepadanya.
Hiro memiliki alasan tersendiri kenapa tidak ingin mengungkapkan bahwa Reina bukanlah putrinya. Dia mencurigai satu hal dan sedang menyelidiki suatu hal. Sesuatu yang juga berhubungan dengan Reiki, kakak yang sekarang terbaring koma karena kecelakaan.
"Tapi tolong kendalikan perasaanmu, Ndis. Bagaimanapun juga Reina bukan putrimu." Hiro perlahan beranjak dari kursi.
Langkah terasa senyap di antara dengung mesin pendingin ruangan. Keraguan seakan tengah merantai kaki lelaki tersebut. Akan tetapi, dia masih butuh kepastian lain agar bisa melakukan langkah dengan tepat dan memperbaiki kesalahan yang sudah terlanjur terjadi.
Gendis pun akhirnya memilih untuk tetap berdiam diri di kamar. Hingga malam dia terus memeluk Reina. Pelukannya semakin larut makin erat, seakan takut bayi mungil itu direnggut dari sisinya.
Mata Gendis sulit terpejam. Di ambang batas malam dan pagi menjelang, barulah dia bisa terlelap dan jatuh ke dalam mimpi. Tangannya masih tak lepas dari Reina yang sudah tertidur pulas sejak tadi.
"Bu, Bu Gendis. Bu, bangun."
Suara lembut itu berhasil membuat Gendis menggeliat. Awalnya dia masih belum sadar kalau sedang berada di kediaman Hiro. Namun, saat terdengar suara Reina yang sedikit merintih ketika menggeliat, mata Gendis langsung terbuka lebar.
Di samping ranjang, Nana tersenyum lembut ke arahnya. Perempuan tersebut membawa handuk kecil dan kotak perawatan khusus kulit bayi. Saat Gendis melirik nakas yang ada di dekatnya, sudah ada beberapa pakaian bayi.
"Maaf, Bu. Sudah waktunya Reina mandi. Boleh saya mandikan?" tanya Nana dengan sopan.
Gendis melirik Reina sekilas. Bayi tersebut masih terlelap dengan kedua tangan terbuka lebar di samping badan. Gendis ingin memandikan Reina sendiri, tetapi dia belum memiliki pengalaman.
"Aku sebenarnya ingin memandikannya sendiri, apa boleh?" tanya Gendis tanpa menatap ke arah Nana.
"Apa Bu Gendis sudah memiliki pengalaman sebelumnya?" Nana bicara selembut mungkin agar todak melukai hati Gendis.
Gendis menggeleng cepat. Perlahan tatapannya beralih dari Reina kepada Nana. Matanya berkaca-kaca dengan bibir sedikit berkedut.
"Maukah kamu mengajariku?"
"Bagaimana, ya, Bu. Saya takut jika Anda melakukan kesalahan. Maaf sebelumnya, tapi pekerjaan saya menjadi taruhannya." Wajah Nana tampak tenang, tetapi jemarinya mulai meremas handuk yang ini ada dalam genggaman.
"Jika hanya membuka bakunya nggak masalah, kan? Selanjutnya aku akan melihat cara kamu memandikan Reina. Saat dia menjadi sedikit lebih besar, boleh aku mandikan sendiri?" Tatapan Gendis penih harap dengan bibir sedikit gemetar.
Nana mengangguk sebagai hawaban. Bukan jawaban sebenarnya, melainkan hanya untuk menenangkan hati Gendis. Perlahan bibir Gendis naik ke atas.
Gendis mulai menciumi Reina. Bayi tersebut kembali menggeliat sehingga membuat kulit putihnya berubah menjadi kemerahan. Sesekali terdengar suara khas bayi yang menggemaskan.
"Rei, ayo bangun. Kita mandi dulu. Lihat, baumu seperti yogurt karena ASI Ibu semalam." Gendis tersenyum lebar, dia tak menyangka akhirnya bisa menyebut dirinya sendiri dengan panggilan ibu.
Reina sedikit merengek kali ini, tetapi matanya mulai terbuka. Saat manik matanya memantulkan bayangan Gendis, perlahan sebuah senyum terukir di bibir Reina. Melihat senyuman bayi tersebut membuat hati Gendis seakan ditetesi embun di tengah gurun.
Merasa situasi memungkinkan untuk Reina membuka pakaian yang melekat pada tubuh Reina, dia mulai melepaskan kancing atasan bayi tersebut. Sesekali dia tersenyum ke arah Reina.
Namun, perlahan senyuman Gendis lenyap. Tatapannya kini tertuju pada dada Reina yang sudah polos, usai dia membuka bajunya. Pada dada kiri bayo tersebut terdapat sebuah tanda lahir berwarna kemerahan.
"Hati ...." Suara Gendis terdengar lirih, hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri.
Jemari Gendis mulai terangkat. Gemetar saat hendak menyentuh tanda lahir pada dada Reina. Sebuah tanda lahir berbentuk hati pada dada kiri bayi tersebut membuat Gendis teringat akan masa lalu.
Sekelebat adegan panas di hotel saat dia patah dan jatuh di masa lalu kembali terlintas. Awal mula kenapa dia bisa mengandung. Seorang lelaki yang dulu mengambil mahkotanya juga memiliki tanda yanh sama dengan Reina.
"Bu, Bu Gendis," panggil Nana ketika mendapatinya hanya terpaku dan tidak melanjutkan kegiatannya.
"Bu Gendis, ayo buka semua pakaian Reina. Dia harus segera mandi karena akan datang ke dokter untuk imunisasi."
Gendis masih terdiam. Perlahan dia mengangkat wajahnya, lalu menatap Nana dengan mata berkabut. Nana menautkan kedua alis saat melihat ekspresi Gendis.
"Bu, Ibu baik-baik saja?" tanya Nana sambil memiringkan kepala.
"Di mana imunisasi dilakukan?" tanya Gendis dengan suara bergetar.
"Di rumah sakit Mayapada, Bu. Kenapa?"
Jantung Gendis seakan berhenti berdetak mendengar nama rumah sakit tersebut. Kini banyak kemungkinan yang mendadak mucul. Pikiran Gendis mulai liar karena semakin menganggap Reina mungkin adalah anaknya.
Gendis tahu makam anaknya yang ditunjukkan oleh Ayaka. Namun, dia merasa memiliki ikatan batin yang kuat dengan Reina. Terlebih ketika melihat tanda lahir pada dadanya. Tanda yang sama dengan lelaki yang mungkin juga merupakan ayah kandung Reina.
Nana mengambil alih Reina. Dia melanjutkan melucuti pakaian bayi tersebut, lalu membawanya ke kamar mandi. Sementara itu Gendis mulai menitikkan air mata dan pikirannya mendadak rumit.
"Ya Tuhan, perasaan dan pikiran macam apa ini!" Gendis mulai tak terkendali, dia memukuli kepalanya sendiri yang terasa penuh.
Tiba-tiba lengannya tertahan di udara. Ketika mendongak, Gendis mendapati Hiro sudah mencengkeram lengannya. Lelaki tersebut menatapnya sendu dengan kesedihan bergelayut di sana.
"Kamu kenapa, Ndis?" tanya Hiro dengan kedua alis yang saling bertautan.
Bukannya menjawab, Gendis justru bertingkah semakin gila. Dia menarik Hiro dan membuka kancing kemeja lelaki tersebut secara paksa. Hiro yang tak memprediksi hal itu terjadi, kini terbaring di atas ranjang.
Gendis kini berada di atas perut Hiro. Dia membuka kemeja lelaki itu secara paksa. Satu demi satu kancing terlepas sehingga menampilkan dada bidang berotot milik Hiro.
Pupil mata Gendis melebar seketika saat melihat apa yang tampak. Sebuah tanda lahir yang sama dengan Reina, hanya saja lebih besar dan warnanya kecoklatan. Bibir Gendis kini terbuka lebar.
"Apa kamu orangnya, Hiro? Apa kamu lelaki itu? Apa sebenarnya Reina anakku? Jawab!"
"Apa maksudmu, Ndis. Aku tidak mengerti!" Hiro berusaha menggenggam lengan Gendis, tetapi langsung ditepis oleh perempuan tersebut.
Gendis turun dari tubuh Hiro. Dia menenggelamkan wajah pada telapak tangan dan meraung-raung. Hiro kembali hendak menyentuh bahu Gendis, tetapi tangannya kembali menggenggam.
Hiro tak sanggup melihat Gendis yang sedang kacau. Hiro menunduk, dengan posisi duduk di tepi ranjang. Namun, tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di pipi lelaki tersebut.
Semua bersumber dari otak jahat Reiki