Tujuh dunia kuno berdiri di atas fondasi Dao, dipenuhi para kultivator, dewa, iblis, dan hewan spiritual yang saling berebut supremasi. Di puncak kekacauan itu, sebuah takdir lahir—pewaris Dao Es Surgawi yang diyakini mampu menaklukkan malapetaka dan bahkan membekukan surga.
Xuanyan, pemuda yang tampak tenang, menyimpan garis darah misterius yang membuat seluruh klan agung dan sekte tertua menaruh mata padanya. Ia adalah pewaris sejati Dao Es Surgawi—sebuah kekuatan yang tidak hanya membekukan segala sesuatu, tetapi juga mampu menundukkan malapetaka surgawi yang bahkan ditakuti para dewa.
Namun, jalan menuju puncak bukan sekadar kekuatan. Tujuh dunia menyimpan rahasia, persekongkolan, dan perang tak berkesudahan. Untuk menjadi Penguasa 7 Dunia, Xuanyan harus menguasai Dao-nya, menantang para penguasa lama, dan menghadapi malapetaka yang bisa menghancurkan keberadaan seluruh dunia.
Apakah Dao Es Surgawi benar-benar anugerah… atau justru kutukan yang menuntunnya pada kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Suasana malam di paviliun Azure Cloud tampak tenang di permukaan, namun hati Xuanyan sama sekali tidak. Setelah pertemuannya dengan Grand Elder Qingshan dan Beihai, pikirannya masih dipenuhi wejangan dan rahasia tentang Dao Es Surgawi.
Langkahnya ringan, namun hatinya berat. Saat ia memasuki kamarnya, pandangan matanya tertegun. Semua kekacauan yang sebelumnya disebabkan oleh tubuh Dao-nya—lapisan es yang membekukan segala sudut—kini lenyap tanpa jejak. Lantai giok berkilau bersih, udara hangat kembali mengisi ruangan. Seolah tidak pernah ada badai es yang merobek tempat ini.
Xuanyan tersenyum pahit. Sepertinya… kedua Grand Elder sudah turun tangan membersihkan kekacauan ini.
Dadanya terasa semakin sesak. Utang budi menumpuk, sementara dirinya masih begitu lemah.
Ia duduk bersila di atas tikar meditasi. Perlahan, ia mengeluarkan botol giok pemberian Beihai. Pil berwarna biru pucat itu memancarkan aroma dingin, namun saat ia menelannya, rasa hangat mengalir ke dalam tubuhnya.
“Ukh…!” Xuanyan mengerang pelan, merasakan perubahan dahsyat terjadi.
Energi spiritual menyerbu ke dalam Dantiannya, membuat fondasinya semakin padat. Meridian demi meridian bergetar, diperkuat oleh energi murni dari pil itu. Tubuhnya seakan ditempa ulang. Dantiannya semakin kuat, lebih stabil dibanding sebelumnya. Dan yang paling mengejutkan—meridian keempat belas, yang selama ini terasa seperti tembok baja, kini mulai retak… seolah siap terbuka kapan saja.
“Sedikit lagi… hanya sedikit lagi… aku bisa menembus ranah Qi Refining!” Xuanyan berbisik dengan mata terpejam, napasnya teratur.
Namun tepat ketika ia hendak menerobos, sebuah suara lirih memecah konsentrasinya.
“Xuan’er… ini ibu. Tolong buka pintunya, nak…”
Xuanyan tersentak. Matanya melebar. Ibu? Kenapa… beliau ada di sini malam-malam begini?
Ia segera bangkit, melangkah ke pintu, lalu membukanya. Dan saat itu—dunia seakan berhenti berputar.
Di hadapannya berdiri Xueya, wajah cantiknya tampak begitu lesu, pucat, dan penuh bekas air mata. Rambut hitamnya kusut, bahunya bergetar. Ia terlihat begitu rapuh, tidak seperti biasanya.
“Ibu…” Xuanyan tercekat, darahnya mendidih melihat kondisi ibunya. “Kenapa… siapa yang membuatmu menangis? Katakan! Aku akan membunuhnya!”
Namun sebelum Xuanyan bisa bereaksi lebih jauh, Xueya langsung merangkulnya erat. Tubuhnya gemetar di pelukan anaknya.
“Xuan’er… kau harus lari sejauh yang kau bisa! Demi keselamatanmu, nak… kau harus pergi sekarang juga!”
Xuanyan membeku. Jantungnya berdetak kencang. Ia tak pernah mendengar ibunya berbicara seperti itu. Ada kepanikan, ketakutan, seakan seluruh dunia hendak runtuh.
“Ibu… tenanglah dulu.” Xuanyan mencoba menenangkan dengan suara lembut, meski hatinya penuh kegelisahan. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Xueya hanya menangis semakin keras, mencengkeram pakaiannya erat, seakan takut kehilangan.
Dan tiba-tiba, suara berat terdengar dari belakang.
“Ada yang harus kita bicarakan, nak.”
Xuanyan menoleh cepat. Sosok ayahnya, Ling Tianyao—Patriark Sekte Azure Cloud—berdiri di sana dengan wajah suram. Untuk pertama kalinya, Xuanyan melihat sosok ayahnya tampak begitu lelah, pundaknya seakan menanggung gunung yang akan runtuh.
“...Ayah?” Xuanyan ragu. Namun segera ia meralat, “Maksudku… Patriark. Ada apa?”
Mereka bertiga masuk kembali ke dalam ruangan. Xueya duduk di samping, masih terisak. Tianyao menatap Xuanyan lama, lalu menghela napas panjang.
“Xuan’er, sebelum apapun… aku ingin meminta maaf. Aku telah membuat keputusan yang sangat egois.”
Xuanyan terdiam, alisnya berkerut. Ia tak pernah mendengar ayahnya berkata seperti itu.
“Ayah adalah pria bodoh,” Tianyao melanjutkan dengan suara getir, “bahkan mungkin tidak layak menjadi kepala keluarga, apalagi seorang Patriark.”
“Jangan katakan begitu, Ayah!” Xuanyan spontan menolak. “Kenapa Ayah berkata seakan… menyesal hidup sebagai Patriark? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Keheningan sejenak. Lalu Tianyao membuka kebenaran.
“Lima hari lagi… kau akan menghadapi Jianyu dalam pertarungan hidup dan mati.”
Xuanyan terdiam. Jantungnya berdetak keras, namun wajahnya tidak menunjukkan ketakutan. Hanya kebisuan.
Tianyao melanjutkan dengan suara pahit.
“Jianyu dan Yanshan… mereka bekerja sama dengan tiga Elder. Tujuan mereka jelas—menendangmu keluar dari sekte, karena menganggapmu tak berguna. Mereka menuduhku menyalahgunakan wewenang karena terus membelamu. Dan lebih dari itu… Jianyu mengincar posisi Putra Suci sekte. Jika ia berhasil… mereka juga akan menggulingkanku dari posisi Patriark.”
Kata-kata itu seperti pedang yang menusuk ke dalam dada Xuanyan. Ia mengepalkan tangannya, urat di lengannya menegang.
“Jadi… mereka semua benar-benar menganggapku sampah…?” Xuanyan tertawa getir, tapi matanya merah.
Tianyao menatap putranya dalam-dalam, lalu mengeluarkan sebuah cincin ruang. Ia meletakkannya di atas meja.
“Di dalamnya ada uang, pil berharga, dan beberapa pusaka sekte. Gunakan itu… untuk lari. Aku rela kehilangan posisiku sebagai Patriark, tapi aku tidak sanggup melihatmu mati di hadapan semua orang. Biarlah kali ini… aku menjadi seorang ayah sepenuhnya.”
Xuanyan terdiam, menatap cincin itu. Hatinya campur aduk. Lalu ia mengangkat wajahnya, menatap kedua orang tuanya.
“Apakah… aku benar-benar sampah di mata kalian juga?”
Xueya tersentak, air matanya jatuh semakin deras. Tianyao terdiam, wajahnya penuh rasa bersalah.
Xuanyan menggertakkan gigi. “Kenapa kalian menyuruhku kabur? Bahkan tanpa menanyakan keinginanku?”
“Xuan’er, ini bukan saatnya berdebat—” Tianyao hendak berbicara, namun Xuanyan memotong.
“Aku tidak akan pergi dari pertarungan itu!” suaranya menggema, penuh tekad. “Aku akan menghadapinya!”
Ruangan itu membeku sejenak.
Xuanyan berdiri, napasnya berat, namun tatapannya menyala bagai api.
“Cukup sudah aku kabur dari kenyataan. Aku sudah terlalu lama dipandang rendah, dicemooh, dianggap tak berguna. Kukira… setidaknya Ayah dan Ibu tidak akan melihatku seperti itu. Tapi kenyataannya… kalian pun meragukanku.”
“Bukan begitu, Nak!” Xueya berteriak, suaranya penuh kepedihan.
“Tapi biarkan aku bicara!” Xuanyan memotong dengan suara bergetar. “Aku tahu kalian khawatir. Aku tahu aku bahkan tidak bisa membuka meridian seperti anak-anak lain. Tapi… untuk sekali ini saja…”
Ia lalu berlutut, bersujud dalam-dalam di hadapan kedua orang tuanya. Air matanya jatuh, membasahi lantai giok.
“Kumohon, biarkan aku memilih jalanku sendiri. Biarkan aku menghadapi pertarungan ini dengan caraku. Aku akan menerima segala konsekuensinya. Ayah… Ibu… berikan restu kalian. Aku bersumpah… aku tidak akan mengecewakan kalian lagi. Aku tidak akan membuat kalian dipermalukan karena memiliki anak sepertiku.”
Tangisan Xueya pecah. Ia hendak membantah, namun Tianyao menahan bahunya. Sang Patriark menatap putranya lama, lalu tersenyum getir.
“Kalau begitu… kami tidak akan memaksakan kehendak kami. Ayah percaya… kau sudah tahu resiko dari pilihanmu.”
Xuanyan mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca.
Tianyao lalu tersenyum, kali ini tulus, hangat.
“Kau sudah tumbuh dewasa, Xuan’er. Dan ketahuilah… kami selalu bangga… memiliki anak sepertimu.”
Kata-kata itu membuat Xuanyan tak sanggup menahan air matanya. Senyum tipis terukir di wajahnya, meski butiran bening mengalir di pipinya.
“Ibu… Ayah…” bisiknya lirih.
Xueya akhirnya tak kuasa lagi. Ia memeluk putranya erat, air matanya membasahi bahu Xuanyan. Tianyao ikut merangkul keduanya. Untuk sesaat, dunia seakan berhenti. Tidak ada intrik sekte, tidak ada ancaman pertarungan hidup dan mati. Yang ada hanyalah kehangatan keluarga yang begitu rapuh… namun juga begitu nyata.