Kiara dan Axel berteman sejak kecil, tinggal bersebelahan dan tak terpisahkan hingga masa SMP. Diam-diam, Kiara menyimpan rasa pada Axel, sampai suatu hari Axel tiba-tiba pindah sekolah ke luar negeri. Tanpa memberitahu Kiara, keduanya tak saling berhubungan sejak itu. Beberapa tahun berlalu, dan Axel kembali. Tapi anak laki-laki yang dulu ceria kini berubah menjadi sosok dingin dan misterius. Bisakah Kiara mengembalikan kehangatan yang pernah mereka miliki, ataukah cinta pertama hanya tinggal kenangan?
*
*
*
Yuk, ikuti kisah mereka berdua. Selain kisah cinta pertama yang manis dan menarik, disini kita juga akan mengikuti cerita Axel yang penuh misteri. Apa yang membuatnya pindah dan kembali secara tiba-tiba. Kenapa ia memutus hubungan dengan Kiara?.
MOHON DUKUNGANNYA TEMAN-TEMAN, JANGAN LUPA LIKE, DAN KOMEN.
Untuk menyemangati Author menulis.
Salam Hangat dari tanah JAWA TENGAH.❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Story Yuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Piknik Bareng Tetangga
Malam itu Axel berbaring di kasurnya. Wajah Kiara yang murung siang tadi terus menghantui pikirannya.
Kenapa aku mikirin dia? Ah, bodoh amat, batinnya, malas berlarut.
Ia bangkit, melangkah ke arah jendela kamar lalu membukanya pelan. Begitu terbuka, matanya langsung tertuju pada jendela di rumah seberang.
“Sedang apa dia? Sunyi sekali... apa lukanya udah membaik?” gumamnya lirih, masih menatap jendela kamar Kiara.
“Axel!” suara Widia terdengar dari lantai bawah.
“Iya, Ma,” sahut Axel, berbalik meninggalkan kamar.
“Ayo makan. Mama udah selesai masak,” ujar Widia sambil menyiapkan piring di meja makan.
“Oke.”
Mereka duduk berdua, menikmati makan malam sederhana.
“Gimana sekolahmu, Nak?” tanya Widia membuka obrolan.
“Baik-baik aja.”
“Kiara bagaimana?”
Axel mengernyit. “Kenapa menanyakan Kiara? Sebenernya siapa anak Mama?” gerutunya.
“Kenapa? Kalian bertengkar?”
“Kami memang tidak pernah akur” balas Axel datar.
Widia mengangkat alisnya. “Apa maksudmu, kalian dulu sangat dekat, kan?,” tanyanya
Axel menunduk, menatap lurus ke arah sendok di tangannya. “Benarkah? Axel gak yakin,” gumamnya pelan.
“Kamu ini, sejak kamu kembali dari London Mama merasa kamu sudah berubah,” omel Widia mengkritik putranya.
Axel hanya melirik sekilas ibunya tanpa kata.
“Ya sudah cepat makan,” ucap Widia mengakhiri omelannya.
Suara ketukan sendok dan piring, jadi satu-satunya yang terdengar di ruang makan itu. Axel menatap kursi kosong di sebelahnya. “Ma, Papa nggak pernah datang kesini?” tanyanya tiba-tiba.
Widia sontak berhenti menyendok nasi, ia tertegun, pertanyaan itu jelas mengejutkannya. “Kenapa? Kamu rindu Papa?”
Axel menggeleng cepat, “Enggak, Cuma asal tanya aja,”
Widia mengangkat tangannya, meraih tangan putranya dengan lembut. “Axel... kalau kamu kangen Papa, Mama bisa meminta dia segera berkunjung,”
“Enggak Ma, kalau Papa mau ketemu Axel, kita nggak perlu memintanya datang. Seharusnya dia sudah datang sendiri kesini,” jawabnya sambil menundukan kepala.
“Axel...”
“Ma, kalau Papa nggak mau ketemu Axel, Axel juga nggak mau ketemu Papa," potongnya cepat.
Ucapan putranya jelas menampar batin Widia, ia hanya menghela napas berat, “Maafin Mama, ya”
Axel mengangkat wajahnya, menatap ibunya dengan lekat-lekat. “Kenapa meminta maaf? Mama nggak salah. Papa yang menelantarkan kita,” ucapnya dengan suara bergetar.
“Nak, Papa nggak menelantarkan kita. Dia masih memberi nafkah untuk Mama, untuk sekolahmu juga.”
Axel menggigit bibir bawahnya, tangannya menggenggam sendok dengan erat. “Mama sebegitu cintanya sama Papa? Kenapa selalu membelanya,” protesnya.
“Axel...”
“Axel udah kenyang. Makasih makan malamnya,” potongnya lagi, lalu bangkit dan meninggalkan meja makan.
Widia hanya bisa terdiam. Sorot matanya sendu mengikuti punggung anaknya yang pergi tergesa. Pelupuk matanya basah. “Maafkan Mama, Nak,” bisiknya, tak kuasa menahan tangis.
Widia dan suaminya, Adi, belum bercerai. Namun keduanya sepakat untuk hidup terpisah. Widia ingin tinggal di rumah sederhana bersama putranya, sedangkan Adi masih tinggal di rumah mewah bersama kedua orang tuanya.
Keputusan itu jelas membebani batin Axel. Namun, anak itu tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti kemauan kedua orang tuanya.
****
Keesokan harinya.
Kiara terbangun, ia masih berguling-guling malas di kasurnya. Sampai aroma tumis daging favoritnya tercium menyengat di hidungnya, matanya langsung terbuka lebar.
“Tumis daging? Saus tiram?!” serunya langsung bangkit dan berlari keluar. “Akh...” rintihnya, lupa kalau kakinya masih terluka.
“Sial, masih sakit,” gumamnya namun terus tertatih menuju dapur.
Sampai di dapur, ia disambut dengan pemandangan hangat. Ayahnya, Adam, duduk di meja makan sambil membolak-balik koran, sementara Bundanya, Desy, sibuk menumis masakan di wajan.
“Ayah, Bunda. Semalam pulang jam berapa? Nggak bangunin Ara?” tanyanya langsung memeluk Desy dari belakang.
Desy menoleh tersenyum, “Semalam kamu terlihat sangat lelah, Bunda jadi kasian mau bangunin”
Adam melipat koran, menyadari ada yang aneh dengan putrinya. “Kenapa kakimu, Nak?”
“Ara jatuh kemarin, lecet sedikit” sahut Kiara sambil menunjukan lukanya.
“Sini biar Ayah periksa.”
“Nggak papa ayah, udah di obatin kemarin”
“Udah sini...”
Mau tak mau Kiara mendekat, Adam dengan sigap langsung membuka kotak obat, membersihkan luka putrinya dengan telaten.
“Kenapa bisa begini?” tanyanya khawatir.
“Ara berlatih cheerleader, terus kehilangan keseimbangan. Jatuh deh,” sahutnya tak merasa kapok.
Adam menatap heran, “Cheerleader? Sejak kapan kamu tertarik?”
“Nggak tau, pengen aja tiba-tiba. Hehe”
“Itu berbahaya, kenapa nggak milih kegiatan yang lain?” timpal Desy, jelas cemas.
“Ara suka bunda...” sahutnya manja
Desy hanya bisa menggeleng.
“Bunda masak banyak banget, ada acara?” tanya Kiara melihat banyak makanan berjejer di meja.
“Ini hari minggu, kita mau piknik”
“Hah? Piknik?!” serunya, matanya langsung membulat. “Tumben banget”
“Kita udah lama nggak quality time” sahut Desy
“Tapi gimana sama kakimu, memang bisa buat jalan-jalan?” tanya Adam
Kiara sontak menurunkan kakinya dengan cepat. “Ara nggak apa-apa, udah sembuh,” ucapnya sambil menghentakan kaki, meski giginya merapat menahan sakit.
Adam terkekeh, “Jangan di paksakan, kita cari tempat yang enak buat duduk-duduk aja”
Kiara mengangguk cepat, “Ara siap-siap dulu”
“Iya cepat sana.” sahut Desy
****
Kiara sangat antusias dengan piknik hari ini, jarang sekali orang tuanya bisa libur dan memiliki banyak waktu menemaninya.
“Kiara cepat...” suara Desy memanggil dari luar.
“Iya Bunda,” sahutnya bersemangat.
Saat keluar gerbang, matanya membelalak melihat Axel juga berdiri di samping mobil Ayahnya.
Axel? batinnya bingung, ia menoleh kesamping. Tante Widia juga?
“Hai sayang...” sapa Widia hangat langsung memeluknya.
“Iya tante...” sahut Kiara kikuk
“Sudah lama kita nggak main bareng, hari ini ayo puas-puasin main” ucap Widia
“Hah?”
“Kita mau piknik bareng, lihat Axel juga sudah siap”
Kiara menoleh ke arah Axel yang hanya diam dengan wajah datarnya. Bibirnya terangkat tipis. “Tiba-tiba banget piknik bareng Axel...” gumamnya pelan, antara heran dan geli.
Semua orang bersemangat masuk kemobil, kecuali Axel yang masih mempertahankan wajah datarnya.
“Hai Axel...” sapa Kiara.
Axel hanya melirik mengangkat alis. Kemarin sok menghindar, sekarang sok akrab, apa sih maunya gadis ini? Batinnya heran.
“Hai,” jawabnya singkat akhirnya.
“Axel duduk di belakang ya, biar Ara sama Mama di kursi tengah,” titah Widia
“Iya, Ma.” Sahut Axel datar.
****
Selama perjalanan, suasana mobil di penuhi dengan kegembiraan dua keluarga. Adam menyetel musik lawas favoritnya, Desy menyanyi lirih mengikuti irama, kemudian Widia tampak sibuk merekam mengabadikan momen bersama.
Hanya Axel dan Kiara yang diam, Kiara merasa canggung sekaligus deg-degan karena ini pertama kalinya ia berlibur dengan Axel setelah kepulangan Axel ke tanah air. Sementara Axel, entahlah dia terus diam seribu bahasa, tak ada yang mengetahui isi pikirannya.
Sampai di tempat tujuan, semua orang turun dari mobil. Adam segera membongkar barang di bantu oleh Axel, Desy dan Widia bersiap menggelar karpet piknik. Sementara Kiara hanya duduk manis karena kakinya sakit, ia tak diberi tugas apapun.
“Bunda, Ara mau ke toilet dulu,” ucapnya buru-buru.
“Waduh, disebelah mana toiletnya?” sahut Desy menoleh bingung.
“Ara cari aja di sebelah sana,” sahut Kiara langsung berjalan pergi.
Widia menyadari gadis itu berjalan dengan tertatih. “Ara! Tunggu, biar di anter Axel.”
Kiara menggeleng cepat, “Nggak usah tante, ke toilet doang”
“Kamu kan nggak tau toiletnya jauh apa nggak, sama Axel aja” ujar Widia, langsung memanggil putranya. “Axel, antar Kiara sebentar”
Axel memutar bola matanya, “Memangnya dia bocah? Kenapa harus diantar?” gumamnya pelan, namun tetap berdiri menghampiri Kiara.
“Maaf, merepotkanmu lagi,” ucap Kiara menunduk malu.
“Cepat, aku ikuti dari belakang.”
Kiara mengangguk.
Mereka berjalan berdampingan, tangan mereka sesekali bersenggolan, namun buru-buru di tangkis keduanya.
Widia memerhatikan dari jauh, “Di gandeng Kiaranya! Kakinya sakit itu” teriaknya.
Axel menoleh heran, “Ada apa sih dengan Mama?”
Kiara menahan tawa, tapi wajahnya ketahuan.
“Kamu tertawa?” tegur Axel.
“Enggak,” jawabnya cepat, buru-buru menghapus senyum.
Dari jauh Widia berseru lagi. “Axel! Kiara terluka itu!”
Axel menghela napas panjang, tanpa aba-aba ia langsung mengangkat tubuh Kiara ke pelukannya.
“Axel! Apa-apaan...” ucap Kiara terkejut.
“Diam. Kugendong biar cepat sampai,” jawabnya tenang.
Kiara masih kaget, tangannya refleks memegang bahu Axel.
Sementara itu, Adam yang sedang mengangkat barang menoleh. Seketika tubuhnya menegang, matanya tajam menatap pemandangan di depan: seorang pemuda dengan berani menggendong putrinya di hadapan mata kepalanya sendiri.
Genggaman Adam pada plastik di tangannya mengencang, hingga bunyinya berkeresek. “Pria kecil itu...” desisnya rendah, sorot matanya penuh waspada.
**Duh-duh dek Axel berani banget nih di depan camer**
...*****************...
Mohon Dukungannya Teman-teman Sekalian...
Jangan Lupa Like, Vote dan Coment! Untuk Menyemangati Penulis.
Salam Hangat Dari Author, 🥰🥰
🤣
ak pasti menunggunya thor
otakku baru bangun nih