Wu Lan Cho, adalah sebuah Negeri yang sangat penuh dengan misteri, pertumpahan darah, perebutan kekuasaan. salah satu kekaisaran yang bernama Negeri Naga yang di pimpin oleh seorang Kaisar yang sangat kejam dan bengis, yang ingin menguasai Negeri tersebut.
Pada saat ini dia sedang mencari penerusnya untuk melanjutkan tekadnya, dia pun menikahi 6 wanita berbeda dari klan yang mendukung kekaisarannya. dan menikahi satu wanita yang dia selamatkan pada saat perang di suatu wilayah, dan memiliki masing-masing satu anak dari setiap istrinya.
Cerita ini akan berfokus kepada anak ketujuh, yang mereka sebut anak dengan darah kotor, karena ibunya yang bukan seorang bangsawan. Namanya Wēi Qiao, seorang putri dengan darah gabungan yang akan menaklukan seluruh negeri dengan kekuatannya dan menjadi seorang Empress yang Hebat dan tidak ada tandingannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api Yang Membara
Pagi itu, langit biru bersih tanpa awan, namun udara di lapangan latihan terasa berat seolah dipenuhi gelombang tekanan dari ratusan murid yang berkumpul.
Suara genderang besar dipukul tiga kali—dum! dum! dum!—menggetarkan dada setiap orang.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba: Ujian Tahap Kedua.
Di pendopo utama, Penjaga Kedua berdiri tegak di sisi Ketua Para Guru. Tubuhnya bagaikan pilar baja, mata tajamnya menyapu kerumunan seperti seorang jenderal yang memeriksa pasukannya sebelum perang.
Suara beratnya memecah keheningan:
"Pemimpin kelompok satu hingga empat, maju ke depan!"
Serentak, empat orang melangkah dari barisan depan.
Langkah yang paling menyita perhatian adalah milik pria berperawakan tinggi besar, bahu lebar seperti benteng, dan wajah dingin bak ukiran batu—Wēi Longzhen, kakak pertama Wēi Qiao.
Tatapannya lurus ke depan, setiap hentakan kakinya menggetarkan papan lantai pendopo, memancarkan keyakinan mutlak bahwa kemenangan adalah miliknya.
Sorakan mulai pecah di kerumunan.
"Ketua Longzhen! Tunjukkan kekuatanmu!"
"Kelompok satu akan menghancurkan mereka!"
Beberapa murid bahkan memukul-mukul dada atau mengangkat senjata kayu mereka di udara, membuat suasana semakin membara.
Ketua Para Guru menyerahkan kotak undian. Satu per satu, para pemimpin kelompok mencabut gulungan kecil dari dalamnya.
Dengan gerakan perlahan namun penuh wibawa, Ketua Para Guru membuka hasil undian dan membacakan:
"Pertandingan pertama: Kelompok Satu melawan Kelompok Tiga!"
"Pertandingan kedua: Kelompok Dua melawan Kelompok Empat!"
Kerumunan langsung pecah. Ada yang bersorak gembira, ada yang berteriak menantang, ada pula yang diam sambil menghitung peluang kemenangan masing-masing kelompok.
Namun genderang kembali berdentum. Penjaga Kedua mengangkat tangannya, menunggu riuhnya sorakan reda.
Suaranya kembali menggema:
"Ketua kelompok lima sampai delapan, maju ke depan!"
Dari barisan tengah, empat sosok lain mulai bergerak. Ada yang melangkah dengan percaya diri, ada pula yang tampak menahan gugup. Namun langkah terakhir membuat sebagian penonton membelalak—Wēi Qiao, kini berdiri menggantikan Wēi Xiaolan sebagai ketua kelompok delapan.
Senyum tipis terbentuk di bibir Penjaga Kedua. Matanya berkilat seperti seekor elang yang baru melihat kelinci keluar dari lubang.
"Oho… ini akan menarik."
Sementara itu, di sisi kiri lapangan, Wēi Yuqi, kakak keenam Wēi Qiao, berdiri dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan amarah. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.
"Xiaolan bodoh… aku sudah memperingatkanmu."
Dua Hari Sebelumnya
Matahari sore condong ke barat, memandikan bukit latihan dengan cahaya keemasan. Dari puncak bukit, Wēi Xiaolan berdiri dengan tangan bersedekap, matanya menyapu pemandangan di bawah. Kelompoknya sedang berlatih formasi bertahan—rapat, teratur, namun… terlalu terbaca.
Dalam hati, ia mendesah:
"Kalian masih mengandalkan formasi berkelompok? Semakin lama kalian berlatih begini, semakin mudah musuh membaca strategi kita."
Ia berbalik, hendak meninggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba terdengar siulan pendek dari arah pepohonan.
Xiaolan menghentikan langkahnya, matanya menyipit. Dari balik bayangan pohon, muncul sosok Wēi Yuqi dengan senyum tipis yang samar-samar terlihat di wajahnya.
Yuqi: "Sore yang indah, bukan? Untuk seorang ketua kelompok yang sibuk, kau tampak punya banyak waktu berdiri di sini."
Xiaolan: "Langsung saja, Yuqi. Aku tidak mood untuk permainanmu."
Yuqi melangkah mendekat, dan tanpa peringatan ia mengangkat tangannya. Pergelangan itu tampak terluka parah—goresan merah kehitaman membekas, masih segar.
Mata Xiaolan membesar.
Xiaolan: "Siapa yang melakukan ini padamu?"
Yuqi tersenyum miring, namun matanya dingin.
Yuqi: "Tidak tahu… tapi aku yakin ini bukan kebetulan. Seseorang sedang mengirimkan peringatan. Dan mereka memilihku sebagai contoh."
Xiaolan terdiam sesaat, pikirannya berputar.
Xiaolan: "Kalau begitu, kau harus—"
Yuqi memotong cepat, suaranya tegas.
Yuqi: "Tidak hanya aku. Kau juga harus berhati-hati. Ada orang yang jauh lebih licik daripada yang kita sangka."
Xiaolan menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk singkat dan berbalik meninggalkan tempat itu. Tak ada kata terima kasih, tak ada ucapan perpisahan.
Melihat punggung kakaknya menghilang di balik pepohonan, Yuqi mendengus pelan.
"Kakak… dari semua kakak yang kupunya, kau yang paling bodoh."
Di malam hari, Di hari yang sama, Bulan purnama menggantung di langit, memandikan hutan dengan cahaya perak pucat.
Di tengah lapangan kosong yang tersembunyi di balik pepohonan rimbun, Wēi Qiao berdiri dengan napas terengah-engah.
Baju latihannya basah oleh keringat, setiap helaan napas terdengar berat dan terputus-putus. Pedangnya terangkat setengah, ujungnya bergetar tipis—bukan karena takut, tapi karena otot-ototnya sudah bekerja tanpa henti selama berjam-jam.
Ia mengayunkan pedang sekali lagi. Bayangan pedangnya membelah udara, bergerak cepat, lalu… pecah menjadi kilasan tipis yang hampir tak terlihat, meninggalkan riak udara yang mengguncang dedaunan di sekitarnya.
Namun tatapannya masih belum puas.
Wēi Qiao: “Micro Bots… gerakan ‘Bayangan Memecah Awan’ ini… sudah sempurna belum?”
Suara mekanis yang halus namun dingin terdengar di dalam kepalanya:
Micro Bots: “Hampir sempurna, Tuan. Tingkat presisi: 87,3%.”
Alis Qiao langsung berkerut.
Wēi Qiao: “HAMPIR?! Sudah dua minggu aku latihan sampai tulang pinggang mau copot, dan masih ‘hampir’?! Kapan aku bisa dapat 100%?!”
Micro Bots: “Jika Tuan berlatih lebih keras, kemungkinan besar akan segera—”
Wēi Qiao: “Nyenyenye ‘latihan lebih keras’, nyenyenye ‘kemungkinan besar’… itu jawabanmu dari kemarin!!”
Seperti anak kecil yang ngambek, ia meronta-ronta dengan memukul tanah menggunakan tumit kakinya. Tapi akhirnya ia menghela napas panjang.
Wēi Qiao: “Udahlah, pulang ke asrama aja… mumpung nggak ada yang lihat, biar harga diri selamat.”
Ia melompat ke atas pohon, bergerak ringan dan cepat. Langkahnya begitu senyap, hanya terdengar gesekan ranting saat kakinya mendarat. Ia melesat di antara bayang-bayang, bagaikan arwah malam.
Namun di tengah perjalanan, langkahnya terhenti.
Di bawah sinar bulan, di antara akar pohon yang besar, Wēi Xiaolan tergeletak tak bergerak. Dan di sampingnya—seseorang dengan wajah tertutup kain tengah berdiri sambil menggenggam pedang yang terlihat sangat familiar bagi Wēi Qiao.
Refleks, Qiao melompat turun.
Ayunan kakinya menghantam sisi tubuh orang itu keras-keras, membuatnya mundur tiga langkah sambil menggeram tertahan.
Wēi Qiao: “Kau… kakak Xiaolan nggak apa-apa?!”
Xiaolan membuka sedikit matanya, wajahnya kusut.
Wēi Xiaolan: “Bukan aku yang harus kau khawatirkan… bajingan…”
Belum sempat Qiao mengerti maksudnya, kilatan dingin melintas di sudut matanya. Ujung pedang sudah meluncur cepat, tepat ke arah kepalanya.
Micro Bots: “PERINGATAN! Ancaman fatal dalam 0,4 detik!”
Dengan insting bercampur adrenalin, Qiao menunduk rendah. Ujung pedang itu hanya memotong udara, menyisakan jejak tajam yang membuat rambutnya sedikit terpotong.
Qiao memutar tubuh, mengayunkan pedang pendeknya untuk memblok serangan berikutnya.
Bunyi logam beradu meledak di udara—CLANG!—percikan api memercik dari benturan itu.
Orang bertopeng itu bergerak cepat, tekniknya rapi, nyaris tak memberi celah.
Setiap tebasannya bagaikan arus sungai deras: sekali terbawa, akan sulit melawan.
Namun Qiao punya gaya yang berbeda, liar, tak terduga, dan sedikit… menyebalkan.
Ia berpindah dari satu titik ke titik lain seperti bayangan yang tak bisa diprediksi, terkadang menyerang dari sudut yang mustahil, membuat lawannya terpaksa mundur setengah langkah.
Wēi Qiao: “Heh, aku tahu pedang itu… jangan-jangan kau—”
WHOOSH! Tebasan mendatar nyaris mengenai lehernya.
Micro Bots: “Tuan, fokus pada pertarungan, bukan drama!”
Wēi Qiao: “Iya-iya… nyenyenye ‘fokus pada pertarungan’…”
Lawannya mengubah tempo, menusuk lurus ke depan. Qiao menangkis, memutar pergelangan, lalu menyelip di sisi kanan sambil menghantam lutut lawan dengan tumit. Dentuman keras terdengar, membuat si penyerang sedikit oleng.
Melihat peluang, Qiao melancarkan jurus Pedang Bayangan—tiga tebasan cepat dalam satu tarikan napas, menciptakan ilusi seolah ada tiga pedang yang menyerang bersamaan.
Orang bertopeng itu berhasil menahan dua tebasan pertama, tapi yang ketiga menggores bahunya.
Darah menetes. Lawan itu mendesis, lalu mundur tiga langkah. Matanya yang terlihat dari celah kain menatap Qiao dengan tajam, lalu—SWOOSH!—ia melompat tinggi ke pohon dan menghilang dalam kegelapan.
Qiao menoleh ke Xiaolan, lalu berjongkok.
Wēi Qiao: “Kakak, ayo, aku bawa ke asrama.”
Xiaolan terbatuk, namun tersenyum tipis.
Wēi Xiaolan: “Aku… tidak menyangka… orang yang menyelamatkanku… adalah kau, anak haram…”
Qiao mengangkat sebelah alis sambil nyengir.
Wēi Qiao: “Yayayaya, sama-sama, kakak tersayang~”
Dengan langkah ringan di atas pepohonan, Qiao membawa Xiaolan menuju asrama. Cahaya bulan mengikuti mereka, sementara suara jangkrik kembali mengisi malam, seakan pertarungan sengit itu hanyalah bagian kecil dari badai yang akan datang.
Langkah Wēi Qiao mantap, tapi tubuhnya menyimpan ribuan luka. Di bahunya, Wēi Xiaolan terbaring lemah—kulitnya pucat, napasnya pendek-pendek. Begitu mereka melewati gerbang asrama, suara riuh langsung pecah.
"Xiaolan! Putri, Anda baik-baik saja!?"
"Cepat panggil tabib, dia terluka parah!"
"Siapa yang berani menyentuh nona kita!?"
Orang-orang berlari ke arah mereka, tangan-tangan terulur, tapi bukan untuknya—semuanya tertuju pada wanita yang ia pikul. Tatapan khawatir, teriakan panik, semua untuk Wēi Xiaolan.
Wēi Qiao melirik sekilas, bibirnya mencebik.
“Ah… tentu saja. Tak ada yang peduli kalau aku hampir mati di luar sana,” gumamnya lirih, separuh sarkastis.
Suara-suara itu terus membanjiri telinganya.
"Putri, Anda pingsan berapa lama? Apa yang terjadi?"
"Siapa yang melukai Anda? Katakan, kami akan balas!"
Ia menahan tawa getir, lalu dengan nada yang dibuat ringan namun menohok, ia berkata cukup keras untuk didengar semua orang:
“Wah… luar biasa. Tak satu pun yang bertanya, ‘Hei, Wēi Qiao, kau baik-baik saja?’ Sungguh… mengharukan.”
Beberapa orang terdiam canggung, tapi kebanyakan tetap mengerumuni Wēi Xiaolan.
Di tengah kerumunan itu, satu sosok menembus barisan—Liang Riu. Pandangannya tegas namun khawatir.
“Tuan, tangan Anda—berdarah. Apakah luka parah?” tanyanya pelan, tapi nadanya sungguh-sungguh.
Wēi Qiao memandangnya, lalu tersenyum tipis, berbeda dari nada ketusnya sebelumnya.
“Hanya lecet, Riu. Tidak perlu khawatir.”
Liang Riu mengangguk, tapi matanya jelas tak percaya itu hanya lecet.
Keributan semakin membesar saat salah satu murid berteriak,
“Kalau Wēi Xiaolan tak bisa memimpin ujian tahap kedua… kita selesai!”
Bisik-bisik ketakutan segera menyebar. Beberapa anggota kelompok 8 mulai saling pandang, wajah mereka suram.
Di tengah kekacauan itu, Wēi Xiaolan yang setengah sadar mengangkat jari telunjuknya, menunjuk langsung ke Wēi Qiao.
“Dia… dia yang akan menggantikan aku…” suaranya lemah, tapi cukup untuk menghentikan semua suara.
Tatapan penuh keraguan segera menyapu Wēi Qiao.
“Dia? Serius?”
“Bahkan bukan murid inti…”
“Bagaimana bisa—”
Wēi Qiao menghela napas, meletakkan Wēi Xiaolan perlahan di kursi panjang dekat dinding. Lalu ia melangkah maju, berdiri tepat di tengah ruangan.
Tatapannya menyapu semua orang. Tidak ada senyum, tidak ada canda.
“Kalian marah?” suaranya pelan, namun menusuk.
Tidak ada yang menjawab.
“Tidak usah bohong. Kalian marah. Aku juga marah. Kita semua marah!” suaranya naik satu nada, menggetarkan ruangan.
“Mereka menyerang kita ketika kita lengah. Mereka menggunakan racun, jebakan, dan trik kotor. Bukan karena mereka kuat—tapi karena mereka takut menghadapi kita secara langsung.”
Ia melangkah satu langkah ke depan, matanya menatap tajam setiap wajah yang masih ragu.
“Kalian mau membalas dendam? Atau mau kita diam dan menjadi bahan tertawaan mereka?”
Seorang anggota kelompok 8 menelan ludah, lalu menjawab pelan, “Tentu saja kita mau balas…”
“Bukan mau—tapi harus,” potong Wēi Qiao.
“Kita akan membuat mereka membayar setiap tetes darah yang mereka tumpahkan. Kita akan balas mereka bukan dengan kata-kata, tapi dengan hasil di ujian tahap kedua!”
Ia mengepalkan tangannya tinggi-tinggi.
“Siapapun yang menghalangi langkah kita… akan kita injak sampai mereka rata dengan tanah. Tidak ada ampun. Tidak ada belas kasihan. Karena hari ini—kita tidak hanya bertarung untuk lulus. Kita bertarung untuk harga diri kita!”
Suara itu menghantam seperti palu. Api kemarahan mulai menyala di mata anggota kelompok 8. Keraguan mereka memudar, digantikan tekad yang membara.
Wēi Qiao berteriak sekali lagi, penuh tenaga:
“Sekarang aku tanya untuk terakhir kali… SIAPA YANG BERSAMA AKU!?”
Satu suara menjawab, “AKU!”
Lalu disusul yang lain, “AKU!”
Gelombang itu membesar, menggelegar, hingga seluruh asrama bergema:
“KITA SEMUA BERSAMA!”
Liang Riu berdiri di sampingnya, dada membusung, matanya menyala.
Di kursi panjang, Wēi Xiaolan tersenyum tipis—lemah, tapi penuh kebanggaan.
Wēi Qiao menundukkan kepalanya sebentar, lalu tersenyum tipis.
Bagus… api ini akan membakar mereka sampai habis.
Lanjuuuuutttt