NovelToon NovelToon
Istri Yang Tak Di Inginkan Pengacara Terkenal

Istri Yang Tak Di Inginkan Pengacara Terkenal

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Cinta pada Pandangan Pertama / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:10.7k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Sabina

Maya Amelia, seorang mahasiswi hukum Universitas Bangsa Mulya, tak pernah menyangka kalau takdir akan mempertemukannya dengan Adrian Martadinata pengacara muda,tampan,dan terkenal di kalangan sosialita.
Awalnya, Maya hanya mengagumi sosok Adrian dari jauh. Namun, karena sebuah urusan keluarga yang rumit, Adrian terpaksa menikahi Maya gadis magang yang bahkan belum lulus kuliah, dan tak punya apa-apa selain mimpinya.
Setelah Menikah Adrian Tak bisa melupakan Cinta Pertamanya Lily Berliana seorang Gundik kelas atas yang melayani Politisi, CEO, Pejabat, Dokter, Hingga Orang-orang yang punya Kekuasaan Dan Uang. Lily Mendekati Adrian selain karena posisi dirinya juga mau terpandang, bahkan setelah tahu Adrian sudah memiliki istri bernama Maya, Maya yang masih muda berusaha jadi istri yang baik tapi selalu di pandang sebelah mata oleh Adrian. Bahkan Adrian Tak segan melakukan KDRT, Tapi Ibunya Maya yang lama meninggalkannya kembali Greta MARCELONEZ asal Filipina untuk melindungi Putrinya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Greta Marcelonaz Ibu Dari Maya Amelia

Malam hari di kota Manila. Cahaya dari gedung pencakar langit menembus jendela-jendela kaca, memantulkan kilau ke jalanan yang tak pernah tidur.

Di sudut salah satu bangunan tinggi itu, seorang perempuan berdiri di balkon apartemen, menatap layar ponselnya. Setelah beberapa detik, ia menekan tombol dan berbicara dengan suara dingin.

"Boss, gadis itu… sudah tumbuh dewasa." Suara di seberang terdengar lembut tapi tegas. Suara seorang perempuan.

"Datang ke kantor saya. Bawa semua foto dan berkasnya."

"Baik, Boss.

Beberapa menit kemudian, di lantai tertinggi gedung korporat mewah di jantung kota, seorang wanita duduk tenang di balik meja kerja besar berwarna putih gading.

Greta mengenakan blazer hitam rapi dan celana formal. Rambutnya disanggul anggun, wajahnya angkuh namun menawan—berdarah Austronesia, dengan sorot mata yang menyimpan banyak rahasia.

Di hadapannya, terpajang sebuah bingkai kecil, foto seorang bayi perempuan, tersenyum polos dalam pelukan selimut. Wanita itu menyentuh bingkai foto itu perlahan. Jemarinya gemetar.

“Maya… sa wakas, lumaki ka na, anak…” ujarr Greta dengan bahasa Tagalog atau bahasa Filipina.

(“Akhirnya kamu tumbuh besar, Nak...”)

“Miss ka na ni Mama…” Lanjutnya dengan bahasa Tagalog dengan air mata yang jatuh di kedua pelupuk matanya.(“Mama merindukanmu...”)

Sebuah air mata jatuh dari sudut matanya, membasahi pipi yang berhias make-up sempurna. Tapi ia tak menyeka. Ia biarkan rasa itu mengalir.

Ia berdiri, berjalan ke arah jendela besar di ruangannya. Dari ketinggian itu, seluruh kota Manila terlihat kecil. Tapi hatinya terasa sesak.

Ia menghela napas panjang.

"Sudah bertahun-tahun..." bisiknya dalam hati.

"Aku meninggalkanmu, Maya...Dan membawa kakakmu bersamaku—Hanna."

Kini, gadis yang dulu ditinggalkannya telah tumbuh dewasa Maya waktunya… hampir tiba.

Malam makin larut di Manila.

Hujan rintik turun membasahi jendela-jendela kaca gedung pencakar langit itu. Di dalam ruangan bernuansa putih dan biru gelap, suara langkah kaki menggema lembut di lantai marmer.

Seorang wanita berpakaian hitam dengan ID card perusahaan menggantung di lehernya masuk ke ruang kerja Greta. Ia membawa satu map kulit berwarna krem. Tanpa banyak bicara, ia meletakkannya di atas meja, membungkuk hormat, lalu pergi.

Greta menatap map itu lama. Hatinya berdegup tak beraturan. Tangannya sedikit gemetar saat menarik tali pengikat map tersebut.

Di dalamnya, tersusun rapi berkas-berkas kehidupan Maya. Satu per satu, ia buka.

📄Lembar pertama: Foto terbaru Maya. Gadis itu berdiri di depan gedung kampus, mengenakan almamater biru. Senyumnya mengembang, matanya hidup. Wajahnya… begitu mirip dirinya saat muda. Terlalu mirip, hingga dada Greta terasa sesak.

“Kau cantik sekali, Maya…” bisiknya.

“Sudah sebesar ini, tanpa Mama di sampingmu…”

Air mata menggenang lagi, tapi ia menahannya. Kali ini, tidak boleh larut. Ia harus kuat.

📄Lembar kedua: Riwayat akademis Maya. Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas ternama. Nilai-nilainya nyaris sempurna. Teratur, disiplin, dan aktif di berbagai Lomba memasak dan bahkan cerdas cermat.

"Kamu hebat, Nak…," puji Greta kepada putrinya. "Meski tanpa Mama, kamu bisa berdiri tegak." Gerta mencium foto Maya yang di upload lewat Instagram sambil memegang sertifikat dan piala.

📄Lembar ketiga: Laporan kegiatan dan pengawasan rutin. Foto-foto candid Maya—di halte bus, di perpustakaan, di kantin, bersama teman-temannya. Termasuk satu foto saat Maya sedang berbicara dengan seorang pemuda berkacamata. Greta mengerutkan kening.

“Siapa dia?” gumamnya lirih.

“Teman? Kekasih?”

Tangan Greta menekan tombol interkom.

“Suruh tim intel kirim identitas pria dalam foto ini. Detail lengkapnya.” Greta mengeryitkan keningnya melihat pria bersama Maya.

“Baik, Madam.” Patuh seseorang suruhannya.

Greta mengumpulkan kembali semua berkas, menyusunnya dengan hati-hati, lalu menatap kembali foto bayi Maya di bingkai di atas meja.

“Sudah cukup kamu tumbuh sendirian, Maya...”

“Sudah cukup kamu berjalan tanpa tahu siapa dirimu sebenarnya.”

“Waktunya kamu tahu… siapa ibumu. Dan kenapa Mama meninggalkanmu.”

Greta berdiri, menatap keluar jendela sambil meminum susu dengan kilatan petir membelah langit Manila.

Rumah Maya, pukul 20.15.

Lampu ruang tamu menyala redup. Suasana rumah itu tenang—terlalu tenang, seperti menahan sesuatu di bawah permukaannya.

Maya membuka pintu perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. Hujan masih rintik di luar, rambutnya sedikit lembap. Sepatunya basah.

Namun begitu langkahnya menjejak lantai ruang tamu.

“Pukul berapa ini?”

Suara itu terdengar datar, namun mengandung kemarahan yang ditekan. Ayahnya, Ahmad, berdiri di ambang pintu ruang tengah dengan tangan bersedekap. Sorot matanya tajam.

Maya menelan ludah.

“Tadi… macet, Yah. Ada kecelakaan di perempatan. Aku—”

“Alasan.”

Nada Ahmad memotong, dingin dan tajam.

“Macet bukan alasan untuk pulang larut malam. Kau pikir ini kos-kosan?”

Maya diam. Napasnya mulai berat. Ia ingin membalas, ingin menjelaskan, tapi ia tahu percuma.

“Perempuan tidak seharusnya berkeliaran malam-malam,” lanjut Ahmad.

“Apa kau mau jadi bahan omongan tetangga? Mau bawa malu ke rumah ini?”

“Aku bukan anak kecil lagi, Yah,” ujar Maya pelan, tapi tegas.

“Aku pulang jam delapan, bukan tengah malam.” Ahmad melangkah maju, wajahnya makin keras.

“Jangan jawab!”

“Kau tinggal di rumah ini, kau ikut aturanku. Kau boleh pintar di kampus, tapi di rumah ini kau tetap anak. Jangan sekali-sekali membantah ayahmu.”

Maya menggertakkan gigi. Hening menggantung di antara mereka, tebal dan menyakitkan. Di luar, suara hujan terdengar samar.

Ahmad akhirnya menarik napas panjang.

“Pergi ke kamar. Dan besok, pulang sebelum maghrib. Titik.” Maya mengangguk tanpa bicara. Ia berlalu tanpa menatap ayahnya.

Di dalam kamarnya, pintu ditutup pelan… lalu ia bersandar di baliknya. Matanya mulai basah, tapi ia menahannya.

“Kenapa aku harus merasa bersalah hanya karena ingin menjadi diriku sendiri?”

“Kenapa... dunia seolah selalu ingin aku diam?”

Kamar Maya. Malam hari.

Hujan masih bergulir pelan di luar jendela. Lampu meja belajarnya menyala temaram, menyinari setumpuk buku dan map tugas kuliah. Namun malam ini, bukan skripsi yang menyita pikirannya.

Di laci yang nyaris tak pernah disentuhnya, Maya menemukan sebuah amplop lusuh berwarna cokelat. Tidak ada nama, tidak ada tulisan. Hanya debu dan waktu yang melekat di permukaannya.

Perlahan, ia membukanya. Di dalamnya—sebuah foto lama. Bukan sekadar foto, tapi kenangan yang selama ini dikubur diam-diam.

Gambar itu menampilkan seorang wanita berwajah Filipina—berkulit sawo matang, senyumnya hangat, bibirnya dilapisi lipstik merah. Ia mengenakan gaun putih sederhana. Di pelukannya, seorang balita perempuan, mengenakan baju pantai bermotif bunga.

Di belakang mereka, ombak tenang menggulung di sebuah pantai yang asing. Namun bukan pantainya yang membuat Maya tercekat.

Bukan pula suasana dalam foto. Tapi ekspresi penuh cinta wanita itu. Dan betapa erat pelukannya. Seolah ingin melindungi anak itu dari seluruh dunia.

Maya mengangkat foto itu dengan tangan gemetar. Ia tahu siapa wanita itu.

"Greta Marcelonaz? mama kenapa sih? kemana sih mah aku bentar lagi 20 tahun loh," ungkap Greta melihat foto sang ibu.

Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

“Kenapa harus aku yang disisihkan, Ma? Kenapa bukan Kak Hanna yang ditinggal?”

Tangannya menggenggam foto itu erat-erat. Ia mencoba mencari jawaban di balik selembar kertas usang, mencoba mendengar suara ibunya dari pantai yang bisu itu.

Namun yang ada hanya sunyi Maya tenggelam dalam tangisnya sendiri.

1
partini
🙄🙄🙄🙄🙄
Azka Bara
kapan maya bahagianya,,terus itu Adrian kq tidak si pecat sih
Azka Bara
mosok Adrian masih mau sama lily sih,di tunggu karmamu Adrian
Daplun Kiwil
semangat up nya thor
partini
ini baru lawan sepadan good girl 👍👍 adikmu terlalu lemah lembut gampang di sakiti ,, pertarungan seperti apa yah selanjutnya di antara mereka lanjut thor
partini
OMG ini mah wow buangttt kalau masih balikan double wow no good
partini
suami gemblung
Uthie
sebenarnya sy kadang aga malas kalau baca di awal, dimulai proses yg panjang nya dulu 😁
Pinginnya gak panjang-panjang awalan ceritanya...
malah kadang suka lebih seru kalau awalan nya langsung yg konflik atau sudah jadi nya aja 👍😁
Ditengah atau setelahnya baru dehh bisa di ceritakan lagi sedikit atau pelan-pelan proses dari awalan Konflik tsb 👍😁🙏

kalau di awalin sebuah perjalanan cerita tsb,kadang suka nimbulin boring dulu baca nya... kelamaan ke konflik cerita tsb nya 🙏🙏🙏
Putri Sabina: berarti suka yang alurnya mundur ya daripada maju/Smile/
total 1 replies
partini
nyeseknya,,so kita lihat the next episode apakah anding nya bersatu lagi seperti ana dan adam atau berpisah
Uthie
ketidak beranian kadang meninggalkan penyesalan dikemudian hari .. saat seorang wanita butuh laki2 yg berani dan pasti-pasti aja 👍😁
Uthie
coba mampir 👍
Eridha Dewi
kok kasihan Maya ya Thor, dah cerai saja
Qian Lin
tapi memang bukan perempuan baik2 kan li? adrian tau engga ya kamu simpenan2 lain? kamu terlalu pinter nutupin atau memanh si adrian yang buta.
Qian Lin
yaaampun,. menyadari kalau kamu ani - ani. ya sifat manusia sih.
Qian Lin
yang bener Mario Santiego atau mario Dantes. wkwkwkw lupa ganti kah autor
Putri Sabina: Mario Dantes Santiago
total 1 replies
Qian Lin
aduh bingung ai, diawal bapak bilang, ibu bakal balik, ini dia nglarang buat jangan panggil ibu. Kontradiksi. jadi gimana sifat bapak ahmad ini, dingin dan tegas atau lembut penyayang?
Putri Sabina: nanti revisi Kakakku/Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!