NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PERTEMUAN TEMAN LAMA

Kaelith bersandar pada dinding marmer lorong istana keluarga Vemund. Suasana acara kumpul keluarga yang diselenggarakan untuk menyambut pernikahan Kevin terasa makin menyesakkan bagi pria itu. Hiruk-pikuk pembicaraan formal, tawa-tawa basa-basi, dan ucapan selamat yang berulang hanya membuatnya ingin pergi lebih cepat.

Ponselnya kembali ia buka, entah sudah yang keberapa kali. Panggilannya pada Nayara masih tidak dijawab. Pesan yang dikirimnya pun belum dibaca.

Wajah Kaelith mengeras. Ia menahan emosi, rahangnya mengencang sementara tangan kanannya terkepal di dalam saku celana.

“Kenapa kau tidak menjawab, Nay?” gumamnya pelan, lebih ke dirinya sendiri.

Ia melangkah keluar ruangan, menuju balkon samping yang sepi dari keramaian. Udara malam menyapa, tapi tetap tak cukup meredakan kegelisahannya.

Ia sempat mengetik pesan:

"Katakan kalau kau marah. Jangan diam seperti ini."

Tapi ia hapus kembali.

Kemudian ia menulis ulang:

"Hubungi aku setelah kau selesai. Aku serius."

Pesan itu akhirnya ia kirimkan.

Namun dalam diamnya, Kaelith mulai dihantui rasa takut yang selama ini jarang ia rasakan takut benar-benar kehilangan Nayara, satu-satunya yang berhasil bertahan dengannya sejauh ini.

Saat Kaelith masih termenung di balkon, sebuah tepukan ringan di bahunya membuatnya sedikit terkejut. Ia menoleh cepat, dan pandangannya langsung bertemu dengan sosok gadis yang begitu familier meski wajah itu sudah lama tak ia lihat.

"Hai, Kaelith. Aku hampir tidak mengenalimu... Sempat ragu mau menyapa," ujar gadis itu sambil tersenyum lembut. Gaun satin berwarna wine yang membalut tubuhnya begitu pas, menonjolkan siluet rampingnya seperti gitar Spanyol.

Kaelith diam sejenak, memandangi wajah gadis itu seakan memanggil kembali potongan kenangan masa kecil.

"Eliz...," ucapnya pelan, sedikit canggung. "Lama sekali... Kau cantik sekali sekarang."

Elizabeth Callistavera, teman masa kecilnya tersenyum lebar, matanya berbinar seolah senang benar bisa bertemu kembali.

"Kau sedang apa di sini? Ini kan acara keluarga Vemund," tanya Kaelith sambil memiringkan kepala, masih bingung dengan kemunculannya.

Eliz terkekeh kecil. "Damian menikah dengan Irene, kakak sepupumu. Aku datang sebagai tamu undangan keluarga mereka."

Kaelith mengangguk, mulai memahami. Damian adalah kakak kandung Elizabeth, dan Irene adalah sepupunya dari pihak Ayah. Tentu saja itu menjelaskan kenapa Eliz bisa ada di tempat ini.

"Sudah berapa tahun ya... sejak terakhir kita bertemu?" tanya Kaelith, suaranya merendah, hampir seperti menggumam.

"Sejak aku pindah ke Bordeaux, kurasa. Kau masih pakai seragam sepak bola waktu itu." Eliz tersenyum, matanya sedikit menyipit saat mengingat kembali masa lalu.

Ada jeda. Sunyi yang nyaman. Mereka berdiri bersebelahan, memandang langit malam yang menggantung di atas Sevilla.

Dan untuk sesaat, Kaelith lupa bahwa ia baru saja hampir kehilangan kendali karena Nayara. Eliz, entah bagaimana, membawanya kembali ke titik yang lebih tenang walau hanya sebentar.

Dengan angin malam yang lembut membelai rambut mereka, Eliz dan Kaelith berdiri berdampingan di balkon. Keheningan yang terbentuk di antara mereka bukan canggung, justru terasa nyaman seperti dua orang lama yang menemukan kembali ruang untuk bernapas bersama.

“Aku dengar… kau tinggal di Sevilla sekarang?” tanya Eliz, menoleh padanya dengan senyum tipis.

Kaelith mengangguk. “Ya bermain bola. Cukup sibuk, tapi masih bisa tidur.”

Eliz terkekeh, “Kau masih sarkastik seperti dulu.”

“Kau masih cerewet seperti dulu.”

Mereka sama-sama tertawa. Tawa ringan yang menguarkan nostalgia masa kecil tentang sore-sore di lapangan, sepeda yang rusak, dan tawa tanpa beban.

“Eliz,” ucap Kaelith setelah jeda, “Kau masih sering main biola?”

“Kadang-kadang. Kalau tidak sedang dibunuh kerjaan,” sahutnya. “Tapi aku lebih sering ngurus galeri sekarang.”

“Galeri seni?” Kaelith menaikkan alis.

Eliz mengangguk bangga. “Di distrik lama. Kecil, tapi cukup untuk pameran lukisan lokal. Kau harus datang sekali-sekali.”

“Aku akan pikirkan.”

Mereka kembali terdiam, hingga Eliz berkata, “Mau tukar nomor? Siapa tahu kita bisa ngopi atau nonton pameran kalau kau sedang ada waktu.”

Kaelith mengeluarkan ponselnya tanpa banyak komentar, lalu mereka bertukar kontak. Ada senyum kecil di sudut bibir Eliz saat ia menyimpan nomor Kaelith.

“Masih pakai nama Kaelith Vemund, ternyata. Kukira kau akan ganti jadi ‘Kaelith yang tidak suka pesta." candanya.

Kaelith mengangkat bahu. “Mungkin setelah malam ini.”

“Elizabeth Callistavera,” katanya memperkenalkan lagi sambil menyodorkan tangan. “Teman lama, yang kebetulan masih ingat caramu merusak sepeda dulu.”

Kaelith menyambut jabatannya sambil terkekeh. “Dan kau masih menyimpan dendam soal itu rupanya.”

“Untuk kenangan, tentu saja.”

Malam mulai beranjak larut, dan suara musik dari ruang utama semakin riuh. Namun di balkon kecil itu, dua orang dewasa yang pernah berbagi dunia kecil, kini kembali bertemu sebagai dua pribadi yang lebih kompleks dan mungkin, akan saling menyusuri hidup lagi dari awal.

Nayara berbaring di atas tempat tidurnya, menatap layar ponsel yang menyala dengan satu pesan terakhir dari Kaelith. Sudah ia baca sejak tadi, tetapi tak ada niat sedikit pun untuk membalas. Matanya terasa berat, bukan hanya karena lelah fisik, tapi karena pikirannya yang tak berhenti berputar.

Dengan helaan napas pelan, ia mematikan layar dan meletakkan ponsel di samping bantal. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri meski dadanya masih sesak oleh banyak hal yang tak bisa ia ucapkan.

"Besok akan lebih berat," gumamnya lirih, seolah sedang menyemangati diri sendiri.

Malam pun memeluknya dalam diam. Tak ada suara, tak ada pesan yang dijawab hanya Nayara dan keheningan, yang menjadi satu-satunya teman tidurnya malam itu.

Pagi hari menyapa dengan cahaya matahari yang menembus tirai tipis di kamar Nayara. Suara burung-burung di luar jendela terdengar samar, namun tidak cukup untuk membuat semangatnya muncul. Ia bangun perlahan, duduk di tepi ranjang sambil menatap lantai kosong.

Hari ini, ia tahu, akan melelahkan. Bukan karena kelas atau tugas kampus, tetapi karena pikirannya sendiri yang masih penuh dengan bayang-bayang semalam.

Setelah menarik napas panjang, Nayara menyeret langkahnya menuju kamar mandi. Ia ingin memulai hari, meski hatinya belum benar-benar siap.

Sementara itu, di tempat berbeda rumah keluarga Vemund yang sudah mulai kembali sepi setelah semalam penuh dengan gelak tawa dan formalitas Kaelith terduduk di sofa ruang tamu. Ponselnya berada di genggaman, layar masih menampilkan nama Nayara di atas pesan yang tak kunjung terbalas.

Malam sebelumnya, ia sempat tersenyum saat bertemu kembali dengan Elizabeth. Gadis itu membawa sedikit warna di tengah kejenuhannya. Tapi saat malam beranjak, pikirannya kembali tertuju pada Nayara.

Ia menarik napas, kemudian mengirim satu pesan lagi.

"Aku tahu aku banyak salah. Tapi aku tetap ingin tahu kabarmu, Nayara."

Setelah mengirim pesan itu, Kaelith bangkit dari duduknya dan menatap bayangannya di kaca besar ruang tengah.

Hari ini juga akan panjang baginya. Bukan karena acara atau pertandingan, tapi karena seseorang yang penting tidak menjawab, dan ia sadar diam Nayara lebih menyakitkan dari kata-kata kasar sekalipun.

Kaelith mengambil tas hitam miliknya yang sudah ia siapkan sejak pagi. Setelah berpamitan singkat dengan ibunya, Liora, dan hanya mengangguk dingin pada Alaric, ia keluar dari rumah keluarga Vemund tanpa banyak bicara.

Langkahnya mantap menyusuri pekarangan yang sunyi. Kepalanya dipenuhi berbagai hal latihan, pertandingan mendatang, dan tentu saja… Nayara.

Ia membuka pintu mobilnya, melempar tas ke kursi belakang, dan duduk di kursi pengemudi. Mesin dinyalakan, dan lagu-lagu instrumental mulai terdengar mengalun dari speaker. Tapi pikiran Kaelith jauh lebih bising dari suara lagu mana pun.

Ia menatap ponsel yang tergeletak di dashboard. Tak ada notifikasi baru dari Nayara.

“Diam terus, ya?” gumamnya lirih, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Setelah itu, ia menginjak pedal gas dan melajukan mobil keluar dari gerbang rumah. Tujuannya jelas kembali ke Sevilla. Selain karena latihan, ia tahu hanya di kota itu ia bisa berada dekat dengan satu-satunya gadis yang akhir-akhir ini paling sering muncul dalam mimpinya… dan juga pertengkarannya.

Tiba di Lapangan latihan sore itu dipenuhi teriakan pelatih dan suara sepatu menghantam rumput. Kaelith datang sedikit terlambat, tapi tak satu pun dari rekan setimnya yang berani memprotes. Semua tahu, Kaelith adalah pemain kunci satu-satunya yang mampu membalikkan keadaan dalam pertandingan genting.

“Kaelith!” seru pelatih sambil menunjuk ke arah lapangan, “Kita sedang latihan strategi bertahan. Segera ke posisimu!”

Tanpa banyak bicara, Kaelith menggulung lengan bajunya dan melangkah masuk ke lapangan. Gerakannya cepat dan presisi, seolah energi amarahnya berubah menjadi fokus yang tajam. Ia memotong umpan, membalikkan serangan, dan mengatur ritme permainan tanpa satu pun keluhan.

Rayneth melirik ke arah Draven dan Thalion. “Dia seperti bukan Kaelith yang kita kenal hari ini,” gumamnya pelan.

“Diamlah, kau tak lihat dia sedang tak ingin diganggu?” sahut Thalion.

Saat istirahat minum air, Kaelith duduk terpisah dari yang lain, handuk di leher dan pandangan kosong ke arah langit.

“Kau baik-baik saja?” tanya Draven akhirnya, sedikit khawatir.

“Aku tidak apa-apa,” jawab Kaelith datar, lalu meneguk air dan berdiri kembali meskipun istirahat belum usai.

Setelah hampir dua jam latihan keras, pelatih akhirnya meniup peluit panjang.

“Cukup untuk hari ini! Yang masuk line-up utama, jangan datang telat untuk briefing lusa!”

Kaelith tak membalas. Ia berjalan ke ruang ganti, mengganti kausnya dengan cepat tanpa mandi, lalu meraih ranselnya dan pergi tanpa banyak bicara.

Langit mulai gelap saat ia sampai di apartemen, lelah dan kepalanya penuh dengan pikiran.

Pintu apartemen dibukanya pelan, berharap menemukan Nayara di ruang tengah seperti biasa. Namun ruangan itu kosong, hanya suara mesin pendingin udara yang menyambutnya. Sepatunya ia lepas sembarangan, lalu ia melangkah masuk, memeriksa setiap sudut.

“Nayara?” panggilnya.

Tak ada jawaban.

Ia menghela napas, lalu menuju kamar Nayara. Gagang pintu itu tak bisa diputar—terkunci dari dalam.

“Nayara.” Suaranya terdengar lebih tegas.

Masih tak ada balasan.

Kaelith mengepalkan tangannya, menahan diri agar tidak membenturkan kepalanya ke tembok. Sudah sejak tadi Nayara tak menjawab telepon, dan kini pun ia memilih mengunci diri?

“Nayara, buka pintunya. Sekarang.” Nada suaranya berubah tajam.

Sunyi.

Kaelith menyentakkan napas keras. Ia tahu Nayara sedang dalam suasana hati yang buruk, tapi diperlakukan seperti ini membuatnya merasa asing di rumahnya sendiri.

“Kalau kau tidak mau bicara denganku, setidaknya katakan kau baik-baik saja. Jangan membuatku menunggu dan menebak-nebak di luar pintu seperti orang bodoh,” ucapnya dengan suara lebih rendah tapi penuh tekanan.

Masih tak ada balasan.

Kaelith memukul pintu dengan kepalan tangannya. Bukan untuk membukanya, tapi untuk menahan luapan emosi yang mulai meledak.

“Aku serius, Nayara,” desisnya. “Jangan buat aku meledak malam ini.”

Ia berdiri beberapa saat di depan pintu, menanti tetapi sunyi tetap mendominasi.

Dengan geram, Kaelith akhirnya berbalik dan berjalan ke ruang tengah. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan wajah muram, menatap langit-langit tanpa berkata apa-apa, mencoba menenangkan diri meski dadanya masih penuh bara.

Tengah malam, Kaelith terbangun karena gelisah. Kepalanya berat dan lehernya pegal akibat tertidur di sofa, tapi bukan itu yang membuatnya kesal.

Ia melirik ke arah koridor. Pintu kamar Nayara masih tertutup rapat belum terbuka sejak sore tadi.

Ia bangkit, berjalan dengan langkah berat menuju pintu itu. Dicoba sekali lagi, dan seperti yang sudah diduganya... masih terkunci. Ia merogoh kantong celana, lalu mengumpat pelan saat teringat bahwa kunci cadangan kamar Nayara tertinggal di rumah orang tuanya.

"Sialan..." gerutunya. "Harusnya aku bawa kemarin."

Dadanya sesak. Kekhawatiran dan kemarahan bercampur aduk. Ia menempelkan telinga ke pintu, mencoba menangkap suara dari dalam tapi yang terdengar hanya keheningan yang membuatnya makin frustasi.

“Nayara, buka pintunya. Sekarang juga,” ucapnya keras, nyaris berteriak.

Tak ada suara.

Tanpa pikir panjang lagi, Kaelith mundur selangkah dan...

Brak!

Sekali dobrakan keras membuat kunci pintu jebol. Pintu terbuka menghantam dinding, dan Kaelith masuk dengan napas memburu, siap marah, siap meledak...

Tapi langkahnya terhenti.

Di ranjang, Nayara meringkuk memunggunginya. Selimut setengah melorot, dan rambutnya berantakan menutupi sebagian wajahnya. Matanya bengkak. Pipi pucatnya lembap bekas air mata yang entah kapan berhenti mengalir.

Hatinya mencelos.

Semua amarah yang sempat membuncah runtuh begitu saja. Ia hanya bisa berdiri terpaku, menatap gadis itu seperti tak percaya apa yang dilihatnya.

"Nayara..." ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan.

Gadis itu tidak menjawab, tidak juga bergerak.

Kaelith mendekat perlahan. Ia berlutut di tepi ranjang, mencoba mengintip wajah Nayara yang tersembunyi.

"Apa yang terjadi padamu?" tanyanya, suara lebih lembut dari sebelumnya.

Tetap tak ada jawaban.

Ia menahan napas, lalu dengan ragu menyentuh ujung selimut. Tangannya gemetar. Ada rasa bersalah, ada takut, dan ada luka yang tak bisa ia namai. Ini pertama kalinya ia melihat Nayara seperti ini hancur, tapi memilih diam.

Kaelith menghela napas pelan, lalu perlahan naik ke atas ranjang. Kasur bergoyang sedikit saat tubuhnya menyentuh permukaan, namun Nayara tetap bergeming.

Dengan hati-hati, ia berbaring di sampingnya tanpa suara, tanpa paksaan.

Tangannya terulur, melingkari tubuh mungil Nayara dan menariknya dalam dekapan. Gadis itu tidak menolak, meski tubuhnya sempat menegang sesaat.

“Maaf,” gumam Kaelith, nyaris tak terdengar. Bukan karena ia yakin Nayara akan memaafkannya tapi karena itu satu-satunya hal yang mampu keluar dari bibirnya malam itu.

Nayara tetap diam. Tapi ia juga tidak menjauh.

Gadis itu tidak tertidur, hanya memejamkan mata. Menenangkan diri. Menyembunyikan sembab yang masih terasa panas di kelopak matanya.

Pelukannya hangat dan meski Nayara tak ingin mengakuinya, pelukan itu membuatnya merasa sedikit lebih aman. Sedikit lebih tenang.

Hanya sedikit.

Dan malam pun berlalu dalam keheningan yang tidak nyaman, tapi juga tidak sepenuhnya dingin. Seperti ada jeda antara dua jiwa yang saling menyakiti, namun tetap kembali pada satu sama lain.

Esok paginya, Nayara bangun lebih dulu. Cahaya matahari menyelinap masuk dari celah tirai jendela, menerpa lembut wajahnya yang masih tampak lelah. Ia memiringkan tubuhnya perlahan, menatap Kaelith yang masih tertidur pulas di sampingnya.

Untuk sesaat, Nayara hanya diam. Memandang wajah lelaki itu tenang, tanpa beban, seperti tak ada luka yang pernah terjadi di antara mereka. Tapi ia tahu, semua itu hanya permukaan.

Ia menghela napas, lalu bangkit perlahan dari ranjang. Dengan langkah ringan, Nayara menuju kamar mandi untuk membasuh wajah dan menenangkan pikirannya. Setelah itu, ia melangkah ke dapur dan mulai menyiapkan sarapan.

Bukan sesuatu yang rumit hanya roti panggang, telur orak-arik, dan teh hangat. Tapi setiap gerak tangannya terasa hati-hati, seolah ia sedang berusaha menata ulang pikirannya yang sempat kacau semalam.

Bunyi panci dan aroma mentega mulai memenuhi ruang kecil itu. Sesekali ia mencuri pandang ke arah pintu kamar, bertanya-tanya kapan Kaelith akan bangun... dan apa yang akan ia katakan setelah ini.

Untuk saat ini, Nayara memilih diam. Ia hanya ingin pagi ini tenang meski sejenak.

Kaelith terbangun saat ponselnya berdering nyaring di meja samping ranjang. Matanya yang masih setengah terbuka melirik layar nama Elizabeth Callistavera tertera jelas sebagai penelepon.

Ia mengerjap beberapa kali, duduk perlahan sambil menyapu rambutnya ke belakang dengan tangan. Napasnya masih berat, tubuhnya masih terasa lelah, tapi dering ponsel itu membuatnya tak punya pilihan selain menjawab.

Dengan nada suara serak dan sedikit berat, ia menekan tombol hijau.

“Halo, Eliz?”

“Kaelith? Maaf ganggu pagi-pagi. Aku cuma mau bilang terima kasih untuk obrolan beberapa waktu lalu. Rasanya menyenangkan bisa bertemu lagi,” suara Elizabeth terdengar ceria dari seberang.

Kaelith mengangguk meski tahu gadis itu tak bisa melihatnya.

“Senang juga bisa lihat kau lagi,” ucapnya singkat, sembari berdiri dari tempat tidur.

Ia melirik ke arah dapur, mendapati punggung Nayara yang sibuk di depan kompor. Ada aroma teh dan roti panggang yang memenuhi udara.

“Eh, aku mau tanya juga,” lanjut Elizabeth, “Kau sibuk nanti malam? Kalau tidak, mungkin kita bisa ngopi sebentar, catching up. Kebetulan aku sedang berada di Sevilla,”

Kaelith terdiam sejenak, matanya berpindah dari telepon ke sosok Nayara yang masih diam di dapur, seolah tak menyadari panggilan itu untuk orang lain.

“Akan aku kabari nanti, ya Eliz,” jawabnya akhirnya, berusaha menjaga nada suara tetap datar.

“Oke, kutunggu,” balas Elizabeth, lalu telepon pun berakhir.

Kaelith menurunkan ponselnya perlahan, lalu berjalan pelan ke dapur.

Nayara membalik telur di atas wajan, aroma daging asap menyebar di dapur kecil mereka. Ia menyiapkan sarapan dalam diam, gerak-geriknya tenang namun dingin.

Kaelith duduk di meja makan dengan wajah masih kusut, rambut berantakan, dan ekspresi muram. Ia menatap punggung Nayara sambil menguap kecil.

Nayara meletakkan satu piring berisi telur dan irisan daging di hadapannya tanpa menjawab. Ia duduk di kursi seberang, menyuap makanannya tanpa berkata sepatah pun.

Kaelith menatapnya tajam. “Kenapa kemarin kau tidak mengangkat satu pun panggilanku?”

Nayara berhenti mengunyah. Ia meletakkan garpunya dengan pelan. “Aku tidak ingin bicara.”

“Itu alasanmu?” Kaelith mendesis. “Kau tahu aku mencarimu. Aku panik, Nayara.”

“Lalu?” balas Nayara datar. “Kau panik dan mengancam lewat pesan. Sudah biasa.”

Kaelith menggeram. “Kau mengunci diri di kamar, aku hampir gila! Kau bahkan tidak peduli sedikit pun aku di luar!”

“Aku butuh ruang, Kaelith. Tapi kau malah mendobrak pintu, teriak-teriak. Selalu begitu. Kau tidak pernah tanya baik-baik.” Nayara menatapnya tajam, matanya masih sembab dari tangis semalam.

"Apa kau lupa siapa kau, Nayara?" tanya Kaelith kesal.

Nayara bangkit dari duduknya, membawa piring ke wastafel. “Kadang, diam itu satu-satunya cara yang tersisa buatku.”

Kaelith menatap punggung Nayara, rahangnya mengeras. Sarapan di hadapannya kini terasa hambar.

Kaelith menyusul Nayara ke kamarnya, langkahnya cepat dan penuh emosi. Ia menarik tangan Nayara, lalu menangkup wajah gadis itu dengan genggaman yang membuatnya terkejut.

“Kau semakin aku biarkan, semakin berani melawan, ya?” desisnya dengan suara rendah.

Nayara menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu menepis tangannya.

“Aku tidak takut lagi padamu, Kaelith. Aku lelah... hampir delapan tahun bersamamu, tapi aku tak pernah bisa jadi diriku sendiri.” Suaranya pecah di akhir kalimat, air matanya mengalir deras.

Wajah Kaelith menegang. Tatapannya keras, suaranya mulai meninggi.

“Dirimu sendiri?” katanya sinis. “Kau pikir tanpa aku, hidupmu akan lebih baik? Aku yang membuatmu bertahan, Nayara. Aku yang menjaga agar kau tidak seperti ibumu.”

Nayara membalas tatapannya dengan mata yang basah tapi tajam. “Cukup,” bisiknya. “Jangan bawa-bawa ibu ku lagi.”

Hening sejenak.

Kaelith menggertakkan rahangnya. Tapi saat Nayara memalingkan wajah dan menjauh, ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Kaelith berdiri di ambang pintu kamar Nayara. Tatapannya gelap, suaranya dingin seperti baja.

“Kau harus tanamkan dalam hati dan pikiranmu, Nayara... Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Dan kalau kau berani pergi dariku jangan salahkan aku kalau video itu tersebar ke mana-mana.”

Ia tak menunggu respons. Setelah mengucapkan ancaman itu, Kaelith melangkah pergi, membanting pintu kamarnya

Sementara itu, Nayara terpuruk di lantai kamar mandi. Tubuhnya gemetar hebat, air matanya mengalir tanpa henti. Bukan hanya karena ketakutan... tapi juga karena rasa jijik terhadap dirinya sendiri yang selama ini bertahan dalam hubungan beracun itu.

1
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!