Bayang-Bayang yang Tidak Pergi adalah sebuah novel puitis dan eksistensial yang menggali luka antar generasi, kehancuran batin, dan keterasingan seorang perempuan serta anak-anak yang mewarisi ingatan dan tubuh yang tidak pernah diminta.
Novel ini terbagi dalam tiga bagian yang saling mencerminkan satu sama lain:
Bagian Pertama, Orang yang Hilang, mengisahkan seorang perempuan yang meninggalkan keluarganya setelah adik perempuannya bunuh diri. Narasi penuh luka ini menjelma menjadi refleksi tentang tubuh, keluarga, dan dunia yang ia anggap kejam. Ia menikahi seorang pria tanpa cinta, dan hidup dalam rumah penuh keheningan, sambil mengumpulkan kembali kepingan-kepingan jiwanya yang sudah dibakar sejak kecil.
Bagian Kedua, Bunga Mawar, Kenanga dan Ibu, melanjutkan suara narator laki-laki—kemungkinan anak dari tokoh pertama—yang menjalani rumah tangga bersama seorang istri polos, namun hidup dalam bayangan cinta masa lalu dan sosok ibu yang asing. Kenangan, perselingkuhan, dan percakap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah cinta yang kelam bagian ll
Aku tersenyum dan menyerahkan uang kepadanya, bukan untuk benar-membantunya tapi sebagai bayaran, bayaran atas tubuhnya yang akan aku nikmati. Tante cantik ini seperti makanan enak tapi tidak sehat– begitulah yang aku pahami setelah lama berpisah dengannya.
Ibu guru ini istimewa dan karena dia adalah wanita pertama yang datang kepadaku, wajar ada tempat dalam memori yang tersimpan.
Teman-temanku mulai mengejekku setelah pertemuan kami dan aku hanya tersenyum, menantang semuanya untuk melihat bagaimana aku akan menaklukkannya. Aku pada saat itu sudah seperti komodo yang menggigit mangsanya, menyalurkan racun kemudian menunggu apa yang terjadi. Tapi seiring waktu menjauh, aku berpikir siapa yang sebenarnya memburu di antara kami? Aku atau ibu guru cantik itu?
Aku duduk di depan gerbang.
Angin tiba-tiba berhembus dan suara lembut datang dari belakangku, nyaris seperti hantu kehadirannya.
“Kenapa kau tidak memakai baju hangat?”
Keheningan itu berhenti begitu saja. Lara menyelimutiku kemudian pergi kembali. Aku tidak menoleh memandangnya, cukup mendengarkan langkah kakinya yang menjauh.
Lalu kita bisa melanjutkannya.
Aku selalu teringat dengan wanita paruh baya yang cantik itu. Pikiranku selalu saja bergerak kepadanya. Dan karena tempat keluargaku tinggal seperti ruang hening yang hanya ada manusia-manusia aneh, kemunculan wanita cantik itu memberi aroma baru bagi kehidupanku. Wanita itu layaknya warna merah dalam kehidupan keluarga kami yang putih dan membosankan.
“Aku bertemu dengan seorang wanita cantik. Kami bercakap-cakap. Aku memberinya uang, coba ibu tebak, apa yang bisa dia berikan padaku?”
Itu ketika aku berusaha menghibur ibu yang nyaris bukan manusia, duduk di balkon, matanya seperti genangan air hitam, ekspresinya dingin seperti mayat dan caranya menjalankan hidup bagaikan seorang yang tidak punya niat apa pun.
Di tangannya ada secangkir teh. Ibu pernah berkata, cangkir itu ada retakan, tapi aku tidak bisa melihatnya dan saat di gunakan, cangkir itu baik-baik saja. Karena tidak berguna, aku tidak mempedulikannya dan anggap saja ibu menggodaku dengan cara yang aneh.
“Sungguh?” katanya, tidak ada ketertarikan yang terlihat.
Aku jadi jengkel. Pembicara Kami berhenti di sana. Tapi tiga hari kemudian ibu membawaku ke toko bunga. Aku bertanya dan ibu menjawab, “Tunanganmu menunggu di dalam.”
Hari itu adalah pertemuan aku dengan Lara santi, cucu dari penjual bunga. Jika di pikir-pikir, itulah kasih sayang yang paling berkesan yang aku alami selama bersama ibu. Namun waktu itu aku berpikir, wanita cantik paruh baya, ibu guru seksi itu jauh lebih menggoda.
Lara santi adalah gadis polos yang tidak akan mengerti bagaimana hidupku berjalan. Dia seperti bunga yang menebar keharuman, sementara aku adalah serangga kotor yang suka kotoran hewan dan membuat rumah di sana. Kami berbeda, kami sangat bertolak belakang, tapi kenapa kami seperti terikat selama ini seolah-olah dia adalah orang yang di pilih dan ibu tahu bagaimana memilihkanku pasangan? Apa ibu benar-benar peduli denganku waktu itu? Apa ibu tahu aku adalah seorang yang menyukai film dewasa dan berkeinginan menikahi wanita cantik yang seksi yang pernah aku katakan kepadanya? Apa ibu mengetahui semuanya?
Angin semakin dingin, aku tidak memikirkannya dan menghabiskan segera minumku, meletakkan botolnya di bawah pohon, yang di mana patung Dewi yang penuh kehidupan lumut hijau bernaung kemudian masuk ke dalam dalam keadaan mabuk.
Lalu besoknya, tahu-tahu aku memeluk istriku sendiri, dan dalam mimpiku aku telah menghabiskan malam yang hangat bersama ibu guru Kirana yang cantik itu. Mengapa aku harus bermimpi dengannya?
Dan saat aku tersadar, Lara Santi masih tidur. Aku bisa bangun dengan tenang tanpa godaannya. Saat dia tahu aku telah memeluknya, sering kali dia berkata, ‘Oh, cahaya kecil, lagi-lagi kau memelukku. Cahaya kecil, itu pelukan yang hangat. Cahaya kecil, mengapa kau selalu memelukku, ada apa denganmu?’
Dia akan berkata sembari tersenyum dan berharap aku akan senang, namun aku sulit dihibur, apalagi dengan cara seperti itu. Lara, setidaknya lakukan untuk lebih kreatif lagi. Dia tidak mengubah caranya dan itu di lakukan saat pertama kali aku memeluknya.
Suaranya terdengar lebih bersahabat, tapi seperti sahabat yang enggan melakukannya. Itu terlihat jelas dari dua pasang matanya. Ada lautan, ada alam dan yang lebih besar tersembunyi. Tetapi, di bandingkan dengan godaan ibu, Lara lebih baik. Suaranya memang indah, tapi jika di pikir-pikir itu menyeramkan. Sementara ibu, tidak ada keindahan, kecuali rasa kasihan dan seiring dia melihatku seolah-olah memiliki pertanyaan yang membuatnya bersedih. Aku mungkin kesedihan terbesarnya, dan ibu tidak pernah mengatakannya. Dia diam, dan karena diam itulah, aku sering merasa merinding dan ketakutan.
Ibu seperti ibu tiri bagiku, tapi entah mengapa aku selalu punya hubungan yang dalam denganku. Ibu punya banyak hal yang tidak aku ketahui.
...----------------...
Aku buru-buru bangun, menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya di taman. Aku tidak tahu mengapa lidahku tidak merasakannya. Tapi aku sudah melupakannya, toh juga yang aku inginkan adalah ketenangannya.
Asap itu mengepul saat aku keluarkan dan perlahan-lahan terangkat. Angin sedikit mengganggunya, tapi masih bisa mempertahankan bentuk aslinya yang perlahan-lahan terbang lalu membesar. Itu seperti asap gunung meletus. Dan kemudian menghilang.
Ada embun di daun-daun hijau di taman dan udaranya jauh lebih segar. Aku menyukai banyak tanaman dan itu berhasil menghasilkan banyak oksigen. Aku perlu itu untuk menjadi waras. Kemudian membuka gerbang. Suara tua seperti besinya akan hancur. Aku suka suaranya dan berharap kapan gerbang ini rusak, sehingga aku bisa melihat pemandangan gerbang rusak ini. Aku ingin menunggu waktu yang melakukannya, itu terasa lebih menyenangkan.
Lalu aku melihat lumut-lumut di Patung penuh air hujan yang membuatnya terlihat lebih hijau. Lalu patung yang satunya lagi meskipun retak dipenuhi embun-embun pagi. Itu terlihat indah. Tapi dupa bekas sesajen tadi malam telah mati dan menyisakan abu panjang. Itu bekas kehidupan. Ibu pasti berkata seperti itu.
Lalu aku diam menikmati cahaya matahari yang mulai terbit di timur