NovelToon NovelToon
Dijual Untuk Hamil Anak Ceo

Dijual Untuk Hamil Anak Ceo

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Liana Antika , seorang gadis biasa, yang di jual ibu tiri nya . Ia harus bisa hamil dalam waktu satu bulan. Ia akhirnya menikah secara rahasia dengan Kenzo Wiratama—pewaris keluarga konglomerat yang dingin dan ambisius. Tujuannya satu, melahirkan seorang anak yang akan menjadi pewaris kekayaan Wiratama. agar Kenzo bisa memenuhi syarat warisan dari sang kakek. Di balik pernikahan kontrak itu, tersembunyi tekanan dari ibu tiri Liana, intrik keluarga besar Wiratama, dan rahasia masa lalu yang mengguncang.

Saat hubungan Liana dan Kenzo mulai meluruhkan tembok di antara mereka, waktu terus berjalan... Akankah Liana berhasil hamil dalam 30 hari? Ataukah justru cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi taruhan terbesar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 11

Setelah lamunan panjang nya ke masa lalu, Kakek Wiryo membuka mata. Pandangannya berat, penuh beban dosa dan keraguan. Ia menatap Rinto dalam-dalam.

"Rinto... bawa anak itu ke hadapanku." Suaranya terdengar pelan tapi tegas.

"Aku ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Kita bertemu besok... di Restoran X, jam dua siang. Hanya kalian berdua."

Rinto mengangguk hormat, meski ada keraguan terselip di matanya.

"Baik, Kek. Saya akan pastikan Nara datang. Tapi... saya mohon, beri dia kesempatan menjelaskan, jangan langsung menolaknya seperti dua puluh tahun lalu."

Wiryo terdiam. Nafasnya berat, tangan kirinya menggenggam tongkat dengan erat.

"Aku tidak menjanjikan apapun. Tapi... aku akan mendengarkan."

Suasana ruangan dipenuhi oleh ketegangan yang tak terucapkan. Para petinggi keluarga besar Wiratama, mulai dari anggota dewan direksi, pemegang saham senior, hingga para penasihat keluarga duduk melingkar di meja panjang marmer hitam. Di ujung meja, duduk Kakek Wiryo dengan sorot mata tajam yang sudah tak asing lagi.

Kenzo Wiratama berdiri tegak di tengah ruangan. Mengenakan setelan hitam yang rapi, ia memancarkan aura dingin, kuat, dan karismatik. Di belakangnya, Claudia berdiri tenang dengan senyum penuh perhitungan, meyakinkan semua yang hadir bahwa mereka adalah pasangan ideal yang mampu membawa perusahaan ke puncak kejayaan.

Setelah pemaparan strategi, analisis masa depan pasar, serta visi jangka panjang untuk Wiratama Corporation, Kenzo mengakhiri presentasinya.

"Saya, Kenzo Wiratama, bersedia memikul tanggung jawab ini. Demi keluarga. Demi kejayaan perusahaan yang telah dibangun oleh darah dan pengorbanan."

Semua mata tertuju pada Kakek Wiryo. Pria tua itu berdiri perlahan, dengan bantuan tongkatnya, lalu menatap satu per satu wajah yang hadir.

"Hari ini... saya, Wiryo Mahendra, pendiri dan pemegang kekuasaan tertinggi di Wiratama Corporation, dengan ini secara resmi mengangkat Kenzo Wiratama sebagai pemimpin utama."

Seketika ruangan bergemuruh pelan oleh tepuk tangan. Tapi suara Wiryo belum selesai.

"Namun—" lanjutnya, membuat semua kembali diam.

"Saya memberi waktu satu tahun... hanya satu tahun—untuk kalian memiliki penerus. Bila tidak, tampuk kekuasaan akan berpindah. Karena perusahaan ini... tidak dibangun untuk mandek. Ia harus terus hidup, terus bernafas."

Wajah Kenzo tetap tenang, namun Claudia menggenggam tangan Kenzo lebih erat. Mereka tahu, ini bukan sekadar syarat... ini peringatan. Keluarga besar Wiratama penuh intrik. Jika mereka lengah, posisi itu bisa direbut siapa saja—termasuk oleh mereka yang selama ini diam di bayang-bayang.

Setelah pengumuman resmi pengukuhan Kenzo sebagai pewaris kekuasaan Wiratama Corporation, Kakek Wiryo mengetuk tongkat kayunya perlahan ke lantai marmer, menandai berakhirnya rapat yang berjalan lancar. Para anggota dewan mulai berdiri dan memberi ucapan selamat kepada Kenzo dengan tatapan penuh hormat—sekaligus penuh perhitungan.

Di sisi lain, Rinto dan Rina duduk dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tatapan mereka tak lepas dari Kenzo yang tengah menerima ucapan selamat dari para anggota keluarga. Wajah Rinto mengeras, tapi tetap menjaga sikap. Ia tahu ini bukan waktunya untuk bertindak gegabah. Di balik sikap tenang mereka, ada rencana besar yang telah disiapkan—dan waktunya belum tiba.

Rina, yang sejak awal merasa diremehkan oleh keluarga besar Wiryo karena bukan darah murni, hanya tersenyum kecil. Bukan senyum tulus, melainkan senyum dingin yang menyimpan bara di baliknya.

Saat semua orang mulai bubar, Kakek Wiryo perlahan menghampiri Rinto. Tatapannya tajam, namun tidak sekeras biasanya.

“Rinto,” suara tua itu terdengar pelan namun tegas. “Ikut aku sekarang. Ada hal yang harus kita bicarakan. Sendiri.”

Rina menatap suaminya dengan penuh tanda tanya, namun Rinto hanya mengangguk patuh. Ia mengikuti langkah Kakek Wiryo menyusuri lorong ruangan rapat menuju ruang kerja pribadi sang kakek—tempat hanya orang-orang tertentu yang diizinkan masuk.

Pintu besar dari kayu jati tua itu tertutup rapat di belakang mereka.

Di dalam, Kakek Wiryo menatap Rinto lekat-lekat, lalu berkata pelan:

“Kau tahu kenapa aku memanggilmu?”

Rinto menegakkan badan, menahan gejolak di dalam dadanya.

“Karena ini tentang Nara... kan, Papa?”

Tatapan Wiryo perlahan berubah. Ada getir, ada sesal yang selama ini terkubur dalam diam.

“Aku ingin melihat dia. Sekarang.”

Ruangan VIP restoran itu sunyi dan elegan. Kakek Wiryo duduk seorang diri di ruangan tertutup restoran itu, mengenakan setelan abu-abu, lengkap dengan tongkat kebesarannya. Ia tampak tenang dari luar, namun di dalam dadanya, degup jantungnya berdebar keras.

Pintu terbuka.

Rinto masuk lebih dulu, lalu di belakangnya muncul seorang pemuda sekitar usia dua puluh tahunan, berpostur tegap dengan wajah tenang namun dingin.

"Ini dia... Nara."

Kakek Wiryo mendongak perlahan.

Pandangan matanya dan Nara bertemu.

Untuk sesaat, waktu seakan berhenti.

Ada bayangan wajah Laras di mata Kakek Wiryo saat melihat pemuda itu. Sorot mata Nara—tenang namun tajam—mirip sekali dengan wanita yang pernah ia usir dua dekade lalu.

"Jadi… kau Nara..." gumam Kakek Wiryo perlahan.

Nara membungkuk dengan sopan.

"Terima kasih telah bersedia bertemu saya, Kakek Wiryo. Saya tak datang untuk menuntut, hanya ingin Kakek tahu... saya ada."

Wiryo memandangi wajah cucu yang tak pernah ia akui. Lidahnya kelu.

" benarkah darah Arman memang mengalir dalam dirimu..." katanya pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.

Suasana ruangan menjadi sunyi lagi. Tapi ini baru awal dari badai besar yang akan mengguncang keluarga besar Mahendra… karena seorang pewaris baru telah muncul, dan membawa bayang-bayang masa lalu yang tak bisa dihindari.

Kakek Wiryo menghembuskan napas kasar ketika melihat sosok pria muda yang kini berdiri di hadapannya. Ada sesuatu dalam tatapan pemuda itu yang langsung menyeret ingatan Wiryo pada masa lalu. Wajahnya… bukan, bukan Arman. Tapi justru Laras—perempuan yang dulu pernah diusir dengan penuh amarah. Matanya, bentuk bibirnya, bahkan cara dia menatap… semua mencerminkan sosok wanita itu.

“Duduklah,” ucap Wiryo akhirnya, dengan suara berat menahan banyak emosi.

Nara menunduk sopan lalu duduk di hadapan kakek tua itu. Rinto, yang duduk di sampingnya, tampak antusias memperkenalkan keponakan yang telah lama tersembunyi dari sejarah keluarga mereka.

“Papa, ini Nara. Putra  Arman dan Laras.”

Wiryo hanya menatap, belum mengeluarkan sepatah kata pun. Tatapannya sulit dibaca, namun dalam hatinya, ada guncangan yang tak bisa disembunyikan. Wajah itu terlalu familiar.

Rinto melanjutkan, “Selama ini Nara hidup jauh dari kita. Laras membesarkannya sendiri tanpa pernah menuntut apa pun dari keluarga Wiratama. Bahkan ketika dia sakit keras dan meninggal saat Nara masih berumur sepuluh tahun, tak ada satupun dari kita yang tahu.”

“ Laras sudah meninggal ? “. Tanya kakek Wiryo.

“ Iya ,pa…10 Tahun yang lalu,karena sakit.” jawab Rinto tegas.

Nara menunduk hormat, suaranya tenang, “Saya baru tahu siapa ayah saya ketika Mama sakit parah. Sejak beliau meninggal, Paman Rinto merawat saya.”

Wiryo menatap tajam ke arah Nara. Bukan karena curiga, tapi karena luka lama yang tiba-tiba terbuka. Ia ingat jelas saat Laras datang membawa kabar kehamilannya dua puluh tahun lalu. Ia menolaknya mentah-mentah, menuduh Laras sebagai perusak rumah tangga Arman. Dan sekarang, darah daging itu duduk di hadapannya, dengan wajah Laras yang kembali menghantuinya.

“Kau mirip sekali dengan ibumu…” gumamnya lirih, lebih pada dirinya sendiri daripada kepada siapapun.

Rinto mengambil napas sebelum melanjutkan, “Papa, saya tahu saya tidak bisa menuntut apa pun untuk diri saya. Tapi Nara adalah darah dari keluarga ini. Dia punya hak. Dia cucu Papa.”

Wiryo terdiam lama. Matanya tidak lepas dari Nara. Yang ia lihat bukan hanya seorang pemuda gagah, tapi juga bukti dari kesalahan masa lalu yang belum pernah ia tebus.

Kakek Wiryo menyandarkan punggung ke kursi, menatap Nara dengan mata tajam namun tidak lagi penuh amarah seperti sebelumnya. Udara di ruangan itu seolah menegang, menunggu pernyataan dari pria tua yang selama ini menjadi penguasa tertinggi dalam keluarga Wiratama.

"Jika benar kau adalah anak dari Arman..." ucapnya pelan, namun setiap kata mengandung tekanan yang tidak main-main. "Maka mulai hari ini, aku akan mengakui keberadaanmu... sebagai putra Arman."

Nara menunduk hormat, matanya berkaca-kaca. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun dari sorot matanya, jelas bahwa keputusan ini begitu berarti baginya.

"Tapi ingat," lanjut Kakek Wiryo, suaranya kembali tegas, "pengakuan itu bukan berarti kau akan menjadi penerus kekuasaan utama di keluarga ini. Posisi itu telah kupilih, dan Kenzo adalah orangnya. Dia sudah melewati banyak ujian dan akan tetap memegang tampuk kepemimpinan."

Kakek Wiryo menarik napas dalam.

"Namun, sebagai bentuk penghormatan... bukan pada ayahmu, tapi pada ibumu—Laras—yang telah berjuang sendiri membesarkanmu tanpa bantuan siapa pun, aku akan mengalihkan sebagian saham perusahaan atas namamu. Ini bukan karena belas kasihan, tapi karena kau berhak atasnya. Darahmu adalah darah Wiratama, dan Laras... dia wanita kuat yang dulu terlalu keras kuhakimi."

Rinto menatap ayah angkatnya dengan campuran rasa haru dan lega. Ia tahu keputusan ini sudah jauh lebih baik dari yang ia harapkan.

"Sudah cukup untuk hari ini," ucap Wiryo akhirnya, mengalihkan pandangannya dari Nara ke Rinto. "Kalian boleh pergi."

Nara berdiri perlahan, kembali membungkukkan badan dengan hormat. "Terima kasih, Kakek."

Wiryo hanya mengangguk pelan, lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela. Pandangannya jauh... mungkin menuju bayang-bayang masa lalu yang tak akan pernah bisa diubah.

Begitu pintu tertutup dan langkah kaki Rinto serta Nara menghilang di ujung lorong, Kakek Wiryo masih terdiam sejenak. Tangannya mengepal di atas tongkat, matanya tajam menatap lantai seolah sedang menimbang sesuatu yang berat. Lalu, dengan suara berat dan berwibawa, ia memanggil satu nama.

“Tio.”

Seketika, seorang pria paruh baya berpakaian rapi dengan jas abu-abu gelap muncul dari sisi ruangan. Ia berdiri dengan sikap tegap, wajahnya tenang tapi penuh siaga. Dialah Tio, asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Kakek Wiryo selama puluhan tahun.

“Ya, Tuan,” jawab Tio dengan suara dalam namun sopan.

Kakek Wiryo menoleh pelan ke arah pria itu, sorot matanya tegas.

“Segera selidiki semuanya tentang Nara. Siapa dia. Dari mana asalnya. Apa benar dia anak Arman. Siapa yang menjadi saksi kelahiran dan pengasuh masa kecilnya. Aku ingin semua informasi, sekecil apapun,” ucapnya tajam, setiap katanya penuh tekanan.

“Termasuk kebenaran tentang ibunya, Laras. Dan siapa saja yang selama ini berhubungan dengannya. Aku tidak mau kecolongan hanya karena rasa kasihan.”

“Baik, Tuan. Saya akan segera mengatur tim investigasi,” sahut Tio tanpa banyak tanya.

“Gunakan orang-orang dari bagian dalam. Yang terbiasa bekerja diam-diam. Kita tidak butuh sorotan publik.”

“Perintah diterima, Tuan,” ujar Tio sambil sedikit membungkuk. Ia segera berjalan ke luar dengan langkah cepat dan pasti.

Sesampainya di lorong, Tio langsung mengambil ponsel khusus dari saku jas dalamnya dan menghubungi satu nomor yang hanya dipakai dalam operasi rahasia keluarga Wiratama.

“Mulai operasi. Fokus: Nara.  Akan ku kirim foto nya. Waktu maksimal dua minggu. Tidak boleh ada celah.”

Suara di seberang langsung menjawab singkat, “Diterima.”

Tio menutup teleponnya, sementara dari balik jendela besar di ruang kerjanya, Kakek Wiryo menatap langit sore yang mulai mendung. Dalam hati, ia tahu kepercayaan di keluarga besar tidak pernah murah. Dan kebenaran... harus dibayar dengan bukti.

1
watashi tantides
Nyesel ya pak gara gara nikah lagi😔 Kasian nasib Liana anak kandungnu pak😭
watashi tantides
Sakit banget💔😭 Liana 🫂
watashi tantides
Semoga Kenzo jatuh cinta ke Liana🥰 maaf Claudia istri sah itu semua karna kamu yang mepersatukan Kenzo dan Liana dan yang terlalu tega ke mereka😔
watashi tantides
Sakit banget💔😭
watashi tantides
Please ini mengandung bawang😭
watashi tantides
Mulai tumbuh benih sayang Kenzo ke Liana🥹🤍
Mira j: trimakasih KK dah singgah 🙏🏻💞
total 1 replies
watashi tantides
Liana😭❤️‍🩹
watashi tantides
Liana😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!