Damian pemuda urakan, badboy, hobi nonton film blue, dan tidak pernah naik kelas. Bahkan saat usianya 19 tahun ia masih duduk di bangku kelas 1 SMA.
Gwen, siswi beasiswa. la murid pindahan yang secara kebetulan mendapatkan beasiswa untuk masuk ke sekolah milik keluarga Damian. Otaknya yang encer membuat di berkesempatan bersekolah di SMA Praja Nusantara. Namun di hari pertamanya dia harus berurusan dengan Damian, sampai ia harus terjebak menjadi tutor untuk si trouble maker Damian.
Tidak sampai di situ, ketika suatu kejadian membuatnya harus berurusan dengan yang namanya pernikahan muda karena Married by accident bersama Damian. Akan tetapi, pernikahan mereka harus ditutupi dari teman-temannya termasuk pihak sekolah atas permintaan Gwen.
Lalu, bagaimana kisah kedua orang yang selalu ribut dan bermusuhan ini tinggal di satu atap yang sama, dan dalam status pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Cemburu
"Lo turun sini, Jangan sampai ada orang lain tahu kalau lo semobil sama gue." Damian menatap Gwen tajam, memberi ancaman agar sang istri turun dari mobil.
Gwen menatap suaminya dengan sengit. Siapa juga yang mau ketahuan, dia juga tidak mau semua warga sekolah tahu jika dirinya menjadi istri Damian. Yah, mungkin kalau yang lain akan bangga, tapi tidak bagi Gwen. Tidak sama sekali, apalagi Damian adalah musuh bebuyutannya di sekolah.
"Iya, gue juga males kalau ketahuan nikah sama preman sekolah. Nggak ada ya sejarahnya ketua kedisiplinan nikah sama preman sekolah," gerutunya. Kesal dengan tingkah Damian, sudah tadi pagi seenaknya itu si kampret Damian menyuruhnya menyiapkan perlengkapan sekolahnya, dan sekarang suaminya itu menurunkannya di jalanan, yang bahkan jaraknya masih satu kilometer dari sekolah. Bayangkan betapa brengseknya si tampan itu.
"Ada lah, lo tuh yang terlalu bucin sama gue. Sampai ditawarin sama Nyokap gue buat nikah sama gue aja lo nggak nolak."
Srett.
"Aduh!" seru Damian, merasakan perih di telinganya yang ditarik oleh Gwen.
"Bucin ndasmu, gue kepaksa nikah sama lo. Gue masih sayang pendidikan gue tahu. Andai aja gue kaya raya, gue juga ogah nikah sama lo."
"Jadi, lo cuma ngincer harta gue gitu? Wah nggak bener nih. Jangan-jangan ntar malem kalau gue tidur, lo berbuat hal yang iya-iya, lalu ngebunuh gue biar harta warisan gue jatuh ke lo."
Sekali lagi Gwen kesal dengan ucapan Damian yang tak berdasar itu. Memang dia mau masuk penjara apa? Seperti kurang kerjaan saja dia melakukan hal iya-iya dengan si Damian ini.
"Nah kan, diem berarti bener nih."
Srett.
Kali ini Gwen menoyor kepala Damian, membuat emosi si empunya membara seperti api amaterasu di anime yang sering Damian tonton.
"Lo kalau bego jangan kebangetan deh. Ngapain gue berbuat hal iya-iya sama lo, justru lo tuh," tuduhnya.
"Lo tuh ya tubuh kek triplek aja bangga." Damian mencibir, dan Gwen kini menginjak kaki Damian tanpa rasa belas kasihan. Sudah cukup ucapan pria berstatus suaminya sudah terlewat membuat tensi darah naik.
"Kagak ada akhlak banget lo jadi istri, yang sopan kek sama suami."
"Suami di atas kertas, inget ya. Gue nggak ada perasaan sama lo, Dam."
"Siapa juga yang ada perasaan sama lo, ngarep lo ya?"
Damian mencibir. Pemuda itu menatap Gwen dari atas sampai bawah. Sebenarnya Gwen itu cantik, bahkan untuk kalangan orang miskin, Gwen memiliki kecantikan di atas rata-rata. Dia bahkan mengakui jika Alicia masih kalah highclass dengan Istrinya.
Akan tetapi, karena sifat gengsian Damian ini sudah level akut. Jadi dia tidak mau mengakuinya, dan justru hinaan yang sering terlontar dari bibir si tampan.
"Nggak ada ya. Mending gue puja kerang ajaib daripada ngarepin lo."
Damian memberenggut kesal. Ingin rasanya dia melakukan tindakan kriminal pada istrinya sendiri, tapi Damian masih memikirkan jika ia pasti akan meringkuk di balik sel jeruji besi.
"Udah sono keluar, ntar virus kemiskinan lo makin menjalar di mobil gue. Ini mobil kesayangan gue nih."
Damian mengusir Gwen dengan tangannya.
"Iya bawel, miskin itu nggak nular. Miskin bukan penyakit."
Gwen berdecak kesal, ia diturunkan kurang lebih 1 km sebelum sampai di depan sekolahnya. Memang kurang ajar si Damian itu. Suami macam apa yang tega dengan istrinya, meskipun mereka menikah secara paksaaan. Harusnya dia memiliki sedikit belas kasihan. Begitulah isi hati Gwen sepanjang jalan menuju sekolahnya dengan bibir berkomat-kamit.
"Rasain lo, biar aja tuh si ketua kedisiplinan yang sok jalan kaki, emang gue pikirin."
Damian baru saja akan menjalankan mobilnya kembali, setelah melihat Gwen berjalan agak jauh di depannya. Namun, matanya menangkap sebuah sepeda motor berhenti di samping sang istri.
"Loh, Gwen. Kok lo jalan kaki, biasanya naik bus?" tanya seseorang yang baru saja membuka helmnya, dan ternyata itu adalah sosok Axel.
"Lagi pengen jalan kaki aja, Xel. Biar sehat nih badan gue, udah jarang olah raga."
"Lah, ntar lo telat ke sekolahnya. Ayo deh naik." Axel menawarinya untuk memberi tumpangan. Gwen sedikit merasa tak enak, statusnya sekarang sudah menjadi istri orang. Tetapi, kalau dia tidak menerima tawaran dari Axel, dia bisa terlambat masuk sekolah.
Tidak mungkin, bukan. Si ketua kedisiplinan memberi contoh buruk pada siswa lain.
"Loh kok diem, ayo naik. Nih lima belas menit lagi bel masuk, lo kan kudu stay di depan gerbang buat eksekusi tuh para siswa bandel. Terutama genknya si Damian tuh yang meresahkan."
Gwen terkekeh mendengar itu. "Emang gue apaan. Ya udah deh, tapi beneran nggak ngerepotin lo, Xel?".tanyanya.
Axel tersenyum, namun di dalam hati ia berjiged ria.
Kapan lagi dia bisa bersama dengan sang pujaan hati.
Sedekat ini, lagi.
"Nggak lah ngerepotin apa? Gue juga nggak mintain lo duit bensin, ayo naik."
Gwen mengangguk, lalu naik di atas boncengan motor sport milik Axel. Di belakang sana, Damian mengeratkan genggaman tangannya pada stir mobil.
"Ngapain sih tuh cewek badak pakai nebeng cowok sok cool itu. Kalau nggak punya duit buat naik bus, kenapa nggak minta aja sama gue. Dasar miskin modalnya cuma nyari tebengan gratis," gerutu Damian dengan bibir menggerutu.
Damian mengamati ketika motor Axel telah lebih dulu melaju, dan menghilang di balik belokan.
"Shit!" Bahkan tanpa sadar ia mengumpat sembari memukul stir mobilnya.
***
"Eh sini Gwen duduk," ajak Jane saat melihat Gwen baru saja datang ke kantin.
Gwen tersenyum, lantas melangkahkan kakinya ke arah meja di mana teman-temannya duduk.
"Baru selesai urusan lo sama Pak Yus, Gwen?" tanya Mika, bahkan gadis itu bertanya sebelum Gwen duduk.
"Biarin si Gwen duduk dulu deh. Duduk Gwen, lo mau makan apa, biar gue pesenin." Axel yang memang menyediakan kursi kosong di sampingnya, menepuk kursi itu dan menyuruh Gwen duduk di sana.
"Iya nih, Ka. Banyak tuh yang bikin pelanggaran hari ini."
"Termasuk gerombolannnya si Damian, ya?" Jane menyambar.
Gwen menganggukkan kepalanya. "Ya, mereka 'kan langganan keluar masuk BK."
"Tapi udah mending sih mereka sekarang setelah lo diangkat jadi ketua kedisplinan, Gwen. Sebelum lo pindah ke sini, parah tuh kelakuannya. Tiap hari nggak ada hari tenang kalau Damian dan gerombolannya masuk sekolah." Jun menambahkan. Gwen hanya bisa mengernyitkan dahi. Apakah separah itu, batinnya berkata.
"Nggak usah berlebihan, mungkin mereka mau tobat aja"
Keempatnya tertawa pelan, membayangkan kelompok Damian berubah jadi siswa baik-baik, rasanya agak aneh jika membayangkannya. Mengingat kelakuan Damian yang mengerikan.
Tak jauh dari mereka duduk, gerombolan Damian juga berada di sana. Namun, hanya Damian yang mengamati Gwen yang terus berinteraksi dengan Axel.
Dadanya bergemuruh, saat sang istri tersenyum cerah ke arah Axel.
'Ngapain sih tuh cewek badak, pakai senyum-senyum lagi sama tuh cowok sok cool, 'batin Damian. Bahkan ia sampai tak sadar, bakso yang ada di dalam mangkoknya hampir menjadi cincangan, karena terlalu lama ditusuk dengan garpu berkali-kali.
"Lo kenapa sih, Dam?" tanya Christ yang melihat kelakuan aneh ketua genk berandalannya.
"Nah tuh bakso dimakan, bukannya dimutilasi. Buat gue aja kalau lo nggak mau." Axton hampir meraih mangkok bakso di hadapan Damian, namun tangannya keburu dipukul oleh Jason.
"Sakit, Jas."
"Lo sih, rakus jadi orang. Udah makan juga masih mau ngerampok punya orang." Jason menggerutu.
"Lah daripada mubazir, dan jadi bahan mutilasi si Damian. Mending gue makan, boleh ya, Dam?"
Damian tak memperhatikan karena fokusnya terus saja menatap ke arah Gwen. Hatinya semakin mendidih, apalagi saat kedua maniknya melihat tangan kanan milik Axel menyentuh kepala istrinya. Membuat dada Damian tak karuan rasanya.
Tangannya terkepal di atas meja, aura suram dan api imajiner membara di tubuh Damian.
'Bangsat banget tuh cowok.'
Srakk
Suara kursi didorong ke belakang membuat ketiga gerombolan Damian, kini menatap ke arah ketua mereka.
"Dam, lo kenapa? Kerasukan mafia lo?" celetuk Axton.
Damian tak menjawab, karena dia sudah meluncur pergi ke meja di mana Gwen dan Axel duduk.
Grep.
"Ikut gue!" seru Damian. Ia mencekal lengan Gwen tiba-tiba, bahkan tanpa permisi.
"Eh lo mau ngapain!" seru Axel, ia mencoba menarik lengan Gwen, namun satu tangan Damian yang bebas malah meninju wajahnya, dan pemuda itu jatuh tersungkur di atas lantai.
"Dam, lo apa-apaan sih. Lepasin gue, apa maksud lo mukul Axel?"
"Gue nggak suka dia, sekarang lo ikut gue." Dia menyeret Gwen, bahkan ketika sang istri meronta, Damian tak memilih abai.
"Hei, berengsek lepasin Gwen woy, Damian!" teriak Jun yang dianggap angin lalu.
Biasanya Gwen bisa dengan mudah melawan Damian, ntah kenapa hari ini kekuatan Damian bertambah kali lipat, bahkan kini ia meringis menahan nyeri di pergelangan tangan yang cengkeram erat oleh Damian.
"Lo mau bawa gue ke mana, kampret!"
"Nggak usah banyak omong, ikut gue!"
Gwen bergidik dengan suara datar, dan terasa dingin dari bibir Damian.
'Kenapa sih nih orang, semoga dia nggak ngapa-ngapain gue, 'batinnya. Masih trauma dengan apa yang Damian lakukan tempo hari.
...***Bersambung***...