Casanova seorang gadis cantik. Namun sayang sekali dengan parasnya yang cantik ia memiliki kekurangan. Kedua matanya buta. Meski ia buta ia merupakan kembang desa. Karena kecantikannya yang luar biasa. Walaupun ia buta ia memiliki kepandaian mengaji. Dan ia pun memiliki cita cita ingin menjadi seorang Ustadzah. Namun sayang...cita cita itu hanya sebatas mimpi dimana malam itu semuanya telah menjadi neraka. Saat hujan turun lebat, Casanova pulang dari masjid dan ditengah perjalanan ia dihadang beberapa pemuda. Dan hujan menjadi saksi. Ia diperkosa secara bergantian setelah itu ia dicampakan layaknya binatang. Karena Casanova buta para pemuda ini berfikir ia tidak akan bisa mengenali maka mereka membiarkan ia hidup. Namun disinilah awal dendam itu dimulai. Karena sifat bejad mereka, mereka telah membangkitkan sesuatu yang telah lama hilang didesa itu.
"Mata dibayar mata. Nyawa dibayar nyawa. Karena kalian keluarga ku mati. Maka keluarga kalian juga harus mati.
Yuk...ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wida_Ast Jcy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 MENCARI KEADILAN
Saat ia keluar dari puskesmas dengan langkah pelan dan hati yang penuh beban, Bu Rahmi kembali disambut dunia yang sama bisik-bisik yang menempel di udara, seperti kabut yang tak bisa diusir.
Tatapan orang-orang menusuk dari balik jendela rumah, dari warung kecil di pojokan jalan, dari bangku-bangku depan pos ronda. Mereka tak perlu bicara keras-keras ekspresi mereka sudah lebih dari cukup untuk mengatakan segalanya.
Namun kali ini, Bu Rahmi tidak menunduk. Ia menggenggam tangan Casanova lebih erat, dan langkahnya lebih mantap. Ada sesuatu yang tumbuh di dalam hatinya bukan hanya rasa sakit, tapi juga keberanian. Ia sadar, diam bukan lagi pilihan.
Jika ia tetap bungkam, maka anaknya akan terus menjadi korban. Ia menoleh ke arah Casanova yang masih lemah di sampingnya. Gadis itu hanya menunduk, matanya yang tak bisa melihat tetap menatap kosong ke depan, seakan pasrah terhadap apa pun yang akan menimpanya. Namun Bu Rahmi tak ingin Casanova hidup dalam kepasrahan.
“Ibu akan laporkan ini pada Pak Kades. Ibu akan menuntut keadilan,” bisiknya, suaranya menggetar.
“Casanova, anakku… Ibu akan mencari siapa pun yang melakukan ini. Sekuat tenaga, sekeras mungkin. Ibu tak akan tinggal diam. Nama baikmu akan kembali, Nak. Ibu janji, kamu tidak akan dikenang sebagai korban, tapi sebagai gadis yang berani dan kuat.” ucapnya dengan penuh harapan dan semangat.
Tatapannya lurus ke depan. Air matanya jatuh, namun kali ini bukan hanya air mata duka ada tekad yang mengalir bersama tangisnya. Ia tak lagi ingin hanya menangisi nasib. Kini, ia akan melawannya.
Malam itu sunyi, tapi bukan kesunyian yang tenang. Di luar, suara serangga malam beradu dengan sisa rintik hujan yang baru saja mereda, menyisakan hawa dingin yang merambat perlahan ke setiap sudut rumah. Udara lembap menempel di dinding kayu yang mulai lapuk, menyatu dengan aroma tanah basah yang menusuk.
Di tengah sepi yang menggigilkan itu, Bu Rahmi duduk kaku di ujung ranjang, memeluk tubuhnya sendiri seolah ingin menghangatkan hatinya yang beku oleh luka. Pandangan matanya kosong, tertuju pada pintu kamar Casanova yang tertutup rapat.
Di balik pintu itu, terdengar suara napas berat putrinya napas yang diselingi batuk-batuk kecil, kadang terdengar seperti tertahan, seperti menahan isak yang tak pernah benar-benar terlepas. Setiap desah napas itu menusuk Bu Rahmi, mengiris perih yang tak pernah selesai.
Hatinya selalu bergolak setiap kali mendengarnya, merasa tak berdaya menyaksikan anak gadisnya berjuang melawan sakit dan trauma, sendirian dalam gelapnya dunia yang bahkan tak bisa lagi ia lihat.
Baju yang masih melekat di tubuh Bu Rahmi basah sebagian oleh hujan sore tadi. Rambutnya yang mulai memutih jatuh tak beraturan, pipinya pucat, dan matanya sayu penuh bayangan malam-malam tanpa tidur.
Ada garis-garis cemas di wajahnya bukan garis usia semata, melainkan bekas dari malam-malam penuh tangis dan doa, bekas dari luka yang tak pernah ia sangka akan datang ke keluarganya.
Pikiran Bu Rahmi terus berputar, mengulang potongan-potongan peristiwa yang membuatnya tak bisa tenang. Tatapan-tatapan sinis di puskesmas, suara-suara sumbang dari para mahasiswi yang tak tahu apa-apa, tapi begitu cepat menghakimi.
"Kok bisa anak perempuan begini? Tanda-tanda begitu mah biasa abis nganu sama pacarnya."
Ucapan itu bergema terus di telinganya, berputar seperti gema dalam ruang gelap yang tak pernah menemukan ujung. Kata-kata itu bukan hanya menghina Casanova, tapi juga merobek harga dirinya sebagai ibu.
Ia ingin berteriak, ingin membela, ingin melawan balik tapi semua itu hanya berputar-putar dalam batinnya, tak pernah keluar, karena ia tahu dunia tak selalu adil kepada mereka yang lemah. Tangannya mengepal, begitu kuat hingga kuku-kukunya menekan kulit telapak tangan dan hampir menembus daging.
Sakitnya terasa nyata, tapi itu masih tak sebanding dengan sakit di dadanya. Ia marah. Marah kepada dunia yang begitu mudah menuduh. Marah pada masyarakat yang memilih menggunjing daripada memahami.
Tapi yang paling menusuk ia marah pada dirinya sendiri. Karena tak mampu melindungi Casanova. Karena tak bisa ada di samping putrinya saat gadis itu paling membutuhkannya.
Namun, di balik semua amarah itu, muncul satu pertanyaan yang menohok. Apa gunanya marah? Apa gunanya menangis dalam diam, bersembunyi dari dunia yang terus melemparkan tuduhan sembarangan? Apa gunanya menyiksa diri dengan rasa bersalah, sementara mulut-mulut di luar sana tak kunjung diam?
Bu Rahmi menggigit bibirnya. Air matanya sudah terlalu sering jatuh untuk luka yang tak pernah mereka pilih. Dan kini, ia mulai sadar… bahwa diam bukan lagi jalan keluar. Dunia mungkin tak akan peduli, tapi ia akan membuat dunia mendengar. Demi Casanova. Demi anaknya yang buta dan teraniaya.
Ia menutup mata, mencoba sekuat tenaga menyingkirkan sesak yang mendera dadanya, tapi bayangan wajah Casanova terus saja menghampirinya.
Wajah itu, yang dulu bersinar penuh keceriaan dan harapan, kini terlihat kosong dan muram, matanya yang tak lagi bisa melihat seolah mencerminkan gelap yang tak hanya ada di sekelilingnya, tapi juga di dalam jiwanya. Setiap kali bayangan itu muncul, hatinya terasa diremas tanpa ampun.
Sementara itu, di kamar sebelah, Casanova masih terbaring lemah. Tubuhnya tampak rapuh, terbungkus selimut tipis yang tak mampu mengusir dingin yang menggigit. Sejak kepulangannya dari puskesmas, suhu tubuhnya belum juga menurun.
Namun, demam itu bukanlah satu-satunya yang membuat tubuhnya menggigil. Luka di hatinya jauh lebih dalam daripada yang bisa dilihat atau disentuh—dan tak ada obat yang bisa menyembuhkannya.
Ia menggenggam ujung selimut dengan jari-jari gemetar. Meski kedua matanya kini buta, Casanova tahu… ia tahu bahwa orang-orang memandangnya berbeda. Ia tahu bahwa bisikan-bisikan tajam, tawa-tawa kecil penuh cemooh, dan suara-suara sinis itu ditujukan padanya.
Mungkin mereka mengira ia tak tahu karena tak bisa melihat. Tapi mereka salah. Ia mendengar semuanya. Ia merasakannya menancap satu-satu di kulit hatinya seperti duri-duri kecil yang tak kunjung habis.
"Apa yang salah denganku?" pikirnya dalam diam. "Kenapa semua ini terjadi padaku? Aku tidak meminta semua ini terjadi. Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya telah kulakukan..." batinnya.
Ia ingin menangis, tapi air matanya seperti sudah mengering. Tangisnya telah habis ditumpahkan di malam-malam sebelumnya. Bahkan kini, untuk sekadar menyampaikan apa yang ia rasakan kepada ibunya saja, mulutnya terasa kelu. Lidahnya seperti terikat oleh rasa malu, takut, dan bingung yang berkelindan jadi satu.
Ia merasa seperti terpenjara di tubuhnya sendiri tak berdaya, tak dipahami, dan perlahan… ditelan sepi.
BERSAMBUNG...
mampir juga yuk kak ke karyaku