“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Bukan Anak Kecil
“Kenapa kau tidak bilang sejak awal?”
Tara menatap Alandra cukup lama, seolah tengah mencari tanda bahwa pria itu sedang bercanda. Tapi... ia hanya mendapati tatapan Alan yang dingin dan serius.
“Aku tidak ada waktu untuk menjelaskan,” jawab Alan kemudian. “Dan seperti yang kubilang tadi, niatku hanya untuk menolongmu dari amukan warga. Tidak lebih.”
Tara terdiam sesaat lalu tertawa kecil. Ia memalingkan wajah menatap dinding sebelum kembali menatap Alandra.
“Menolong?” ujarnya seraya tersenyum miring. “Dengar, Tuan. Apa yang kau sebut dengan pertolongan itu justru telah menghancurkan hidupku. Sekarang seluruh desa menganggap aku istrimu. Apa kata mereka saat tahu yang sebenarnya?”
“Gampang saja,” jawab Alan spontan dengan nada yang begitu tenang. “Rahasiakan semuanya. Tak perlu ada siapapun yang tahu kalau aku sudah menikah sebelu ini, termasuk ayahmu.”
Alan menjeda ucapannya sejenak. “ Lagipula aku akan segera pergi, dan sebelum itu... akan akan mentalakmu. Kita berdua akan bebas. Tidak ada lagi urusan.”
Kata-kata itu seperti tamparan keras untuk Tara. Ia menatap Alan tak percaya. “Kau pikir bisa semudah itu?” ujarnya dengan nada sedikit meninggi karena menahan emosi. “Apa kau tahu apa artinya bagi seorang perempuan diceraikan begitu saja setelah semua yang terjadi?”
Alan menghela napas perlahan. “Ayolah, Tara. Kau terlalu berlebihan,” ujar pria itu tenang. “Kau seharusnya berterima kasih padaku karena aku membantumu keluar dari masalah dengan warga desa. Lagipula aku bahkan tidak menyentuhmu meskipun aku berhak melakukannya.”
Spontan Tara menyilangkan kedua tangan di depan dada. Ia bahkan beringsut mundur, menjaga jarak aman dari Alan. “Jangan coba-coba,” ujarnya tajam.
Alan terkekeh pelan, “Jangan khawatir. Aku sama sekali tidak tertarik dengan anak kecil sepertimu.”
Tara mendengus, menatap Alan dengan kesal. “Aku bukan anak kecil! Aku sudah sembilan belas tahun, dan aku tahu batasanku.”
Gadis itu kemudian bangkit, mengembalikan kotak obat ke atas meja dengan sedikit kasar, dan kemudian melangkah menuju pintu.
Sedangkan Alan, pria itu hanya menatap kepergian Tara dari atas kasur dengan pandangan datar, seolah tak perduli dengan suasana hati gadis yang kemarin mati-matian menolongnya itu.
Tara yang merasa dadanya sesak setelah perdebatannya dengan Alan barusan melangkah ke dapur. Ia lalu duduk di bangku kayu sembari memeluk lututnya.
Ia beberapa kali bergumam mengumpati sikap Alan yang menurutnya arogan dan terlalu merendahkannya.
“Tara, kau belum tidur?”
Tara menoleh ke arah pintu, menatap ayahnya yang entah sejak kapan berdiri di sana.
Tara buru-buru menurunkan kaki dari bangku. “Aku haus, Yah, Ujarnya seraya menuangkan air ke dalam gelas lalu menegukkanya perlahan.
Sementara itu, Arif melangkah mendekat menghampirinya dan duduk di samping putrinya itu.
Beberapa saat suasana terasa hening, semirir angin malam yang berhembus dari celah pintu belakang yang sedikit terbuka menyapa wajah Tara.
“Ayah tahu ini bukan hari yang udah untukmu,” ucap Arif akhirnya. “Tapi Tara... pernikahan tidak selalu tentang bahagia di awal. Kadang itu butuh waktu, butuh sabar, dan butuh banyak pengertian.”
Tara hanya menunduk, menatap jemarinya yang saling bertaut di pangkuan. Sementara di sampingnya, Arif tersenyum kecil, mengusap punggung Tara seraya menatap wajah putrinya itu dengan penuh pengertian.
“Ayah memang bukan suami yang baik untuk ibumu. Tapi... ayah ingin menjadi ayah yang baik untukmu, Nak. Ayah hanya berharap kau bisa bahagia, meskipun jalan yang kamu lalui sangat tidak mudah.”
Tara mengangguk pelan, ia lalu mencondongkan tubuhnya dan menyenderkan kepala di bahu sang ayah. “Aku tahu, Yah. Aku janji akan selalu bahagia. Untuk Ayah.”
Arif menunduk, mengecup puncak kepala Tara. Ia lalu merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah bungkusan kain kecil dari sana.
“Ini untukmu, Nak.” Ucap pria itu menyodorkan bungkusan itu. “Ayah tidak bisa memberikan hadiah yang bagus. Ayah hanya bisa memberikan ini untukmu.”
Tara menegakkan kembali kepalanya, menatap sejenak bungkusan yang masih berada di tangan Arif sebelum menerimanya. “Apa ini, Yah?”
Arif tersenyum lembut. “Hanya hadiah kecil. Ayah sudah menyiapkan ini cukup lama.”
Tara membukanya dan menemukan sebuah kalung dengan liontin hati. “Ini untukku?”
Arif mengangguk, matanya berkaca melihat senyum kecil di wajah Tara. “Sebenarnya... kalung ini dulu ayah siapkan untuk ibumu Tapi...”
Ucapan Arif terhenti sejenak. Ia menghela napas berat sebelum melanjutkan. “Tapi ayah belum sempat memberikannya karena ibumu telah pergi ketika ayah baru pulang membeli hadiah itu.”
Senyum di wajah Tara perlahan memudar, ia menatap kalung itu lama. Ia tahu, luka kehilangan ibunya masih belum sepenuhnya sembuh di hati ayahnya.
Ibunya, Anggi Juwita pergi meninggalkan mereka ketika usianya baru menginjak satu tahun. Tanpa pamit, dan tanpa kabar hingga sekarang. Dirinya bahkan hanya mengenali sosok ibunya itu hanya melalui sebuah foto usang di buku pernikahan milik ayahnya.
“Ayah jangan sedih, ya. Ibu pasti senang kalau tahu kalung ini akhirnya Ayah berikan padaku,” ujar Tara lembut, berusaha menghibur sang ayah.
Arif mengangguk lalu mengusap rambut Tara dengan penuh kasih. “Simpanlah itu baik-baik. Anggap saja itu do’a dari kami untuk hidupmu ke depan.”
Tara mengangguk pelan. Ia menatap kalung itu lagi, sebelum melingkarkannya ke lehernya sendiri.
Setelah cukup lama duduk bersama ayahnya, Tara akhirnya pamit kembali ke kamar. Ia tidak ingin ayahnya curiga atau berfikir yang bukan-bukan.
“Sudah malam, Yah. Sebaiknya Ayah tidur,” ujar gadis itu lembut seraya beranjak dari bangku.
Arif hanya mengangguk, menatap sejenak wajah Tara sebelum akhirnya ia ikut beranjak.
Begitu tiba di kamarnya, Tara mendapati Alan yang rupanya masih terjaga. Pria itu masih bersandar seraya menatap kosong ke langit-langit kamar.
“Kau darimana saja?” tanya pria itu begitu Tara membuka pintu.
Tara enggan menjawab. Ia mendekat dan duduk di tepian dipan.
Untuk beberapa saat lamanya ia belum berbicara, hanya menunduk seraya menautkan jemari di pangkuan. Alan sendiri tampak acuh meskipun gadis yang kini menjadi istri mudanya itu tak menjawab pertanyaannya.
“Tuan...” Tara akhirnya mendongak, menatap pria itu. “Bisakah aku meminta sesuatu darimu?”
Alan menaikkan alisnya sebelah sembari membalas tatapan itu. “Apa? Kau butuh uang?”
Tara spontan menggeleng, “Tidak,” jawabnya singkat.
“Lalu?” tanya Alan lagi.
Meskipun tampak ragu, Tara akhirnya berkata, “Aku tahu kau akan segera pergi, jadi... tolong pikirkan alasan yang masuk akal untuk dikatakan kepada ayahku nanti. Jangan sampai beliau tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Dahi Alan berkerut, “Alasan? Untuk apa repot-repot?”
Ia lalu mendengus. “Dengar Tara. Begitu aku pergi, aku tidak akan pernah kembali ke tempat ini. Jadi, tidak perlu dibuat rumit.”
“Mungkin untukmu tidak penting, Tuan. Tapi bagiku... ayahku adalah segalanya. Aku tidak ingin dia terluka mengetahui anak gadisnya sudah bercerai padahal baru menikah sehari.”
Tara menjeda ucapannya, berusaha meredam emosi. “Aku hanya ingin ayah tetap berfikir bahwa pernikahan putrinya baik-baik saja, setidaknya sampai aku bisa menjelaskannya sendiri.”
Alan menghela napas, lalu menegakkan punggungnya. Tatapan tajamnya masih mengarah kepada Tara. “Untuk apa repot-repot mengulur waktu kalau pada akhirnya dia juga akan tahu?”
Tara memejamkan mata sejenak. “Aku tahu. Tapi bisakah untuk sekali saja kau tidak bersikap egois? seolah dunia ini hanya tentang dirimu?”
“Kau tidak tahu apa-apa tentang dunia yang kutinggali, Tara,” balas Alan dengan nada kesal.
“Aku tidak punya waktu untuk drama atau sandiwara kecil seperti ini,” lanjut pria itu dengan suara yang semakin dingin. “Begitu aku meninggalkan rumah ini, semuanya berakhir. Kau dan aku tidak pernah ada.”