NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:864
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2: Di mata-matai

Sebuah alarm berbunyi memecah keheningan di pagi buta. Suara dering yang tajam itu mengganggu kedamaian, mengguncang tidur seorang gadis cantik yang tengah terlelap di atas ranjang empuk. Matanya yang masih berat perlahan terbuka, terpaksa menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang menyusup melalui celah tirai. Dengan tatapan setengah kosong, ia melihat jam yang tertera di ponselnya. Pukul 5 pagi. Tanpa semangat, dia meraih selimut dan menariknya sedikit lebih erat ke tubuhnya, seakan ingin menahan waktu agar tetap berhenti. Namun, tubuhnya akhirnya memberontak, dan dengan sedikit malas, dia bangkit dari tempat tidur.

Langkah pertama yang dibuatnya terasa sedikit goyah, tubuhnya yang masih lelah akibat kurang tidur malam itu, berusaha menyesuaikan dengan dunia yang mulai bangun. Dia berjalan tertatih menuju kamar mandi, membuka kran air dingin dan menyiramkan ke wajahnya, merasakan sensasi segar yang perlahan membuatnya kembali sadar. Dengan sejenak menatap cermin, dia memijat pelipisnya yang terasa sedikit tegang, lalu menghela napas panjang. Setelah beberapa detik, wajahnya mulai tampak lebih segar, meskipun masih ada kantung mata yang tak bisa disembunyikan sepenuhnya.

Setelah keluar dari kamar mandi, dia mengenakan pakaian yang sudah disiapkan sebelumnya, dengan gerakan yang terburu-buru namun tetap terlihat penuh perhatian. Mata yang masih setengah mengantuk seolah tak ingin menyia-nyiakan waktu, dan dia dengan langkah mantap meninggalkan kamar yang baru saja ia tinggalkan semalam.

Di tengah kesibukannya, dia sempat teringat pada dua pria yang semalam menolongnya—Zevian dan Aditya. Tiba-tiba perasaan terima kasih yang mendalam mengalir dalam dirinya, namun dia segera menepisnya. Ia merasa tidak enak untuk mengganggu mereka lebih lanjut, apalagi pagi ini. Dengan hati yang sedikit berat, dia memilih untuk meninggalkan secarik note di meja makan sebagai ucapan terima kasihnya, tanpa perlu bertatap muka lagi.

Dia melangkah keluar dengan cepat untung nya pintu digital tersebut bisa dengan mudah di buka dari dalam, dia berusaha tidak terlalu lama tinggal di tempat itu, berharap tidak ada yang terbangun dan menanyakan kepergiannya. Sebuah taksi sudah menunggu di depan gedung apartemen, siap membawanya kembali ke tempat tinggalnya.

Kehidupan sebagai mahasiswa kedokteran memang penuh dengan rutinitas yang padat. Setiap hari dihabiskan dengan kuliah, praktikum, dan tugas yang tak ada habisnya. Meskipun begitu, cita-cita untuk menjadi seorang dokter tetap menjadi prioritas utamanya. Namun, setiap kali dia membayangkan impian itu, ada bayang-bayang lain yang selalu mengintai. Ayahnya, yang seharusnya menjadi pendukung terbesarnya, malah memberikan tekanan besar. Alih-alih mendukungnya menjadi dokter, sang ayah lebih memfokuskan perhatian pada perjodohan dengan anak rekan bisnisnya, seorang pria yang tidak pernah ia pilih dalam hatinya.

Namun, untuk saat ini, dia berusaha menepis perasaan itu dan lebih fokus pada rutinitas yang sudah dijalani. Setiap hari terasa berat, tetapi dia tahu tidak ada jalan mundur. Dengan wajah yang lebih tegas, dia menatap jalanan yang sibuk dari balik jendela taksi yang melaju menuju apartemennya, menyadari bahwa hari-hari yang penuh perjuangan baru saja dimulai.

...

Siang itu, Nayara berjalan menuju mobil yang terparkir di depan pintu masuk apartemen. Suasana di sekitar cukup ramai, beberapa orang terlihat sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Beberapa mobil dan pejalan kaki hilir mudik, sementara udara siang itu terasa hangat meskipun sedikit mendung. Kaki Nayara melangkah mantap, membawa banyak buku yang ia pegang erat, hampir tak ada celah untuk melonggarkan genggamannya. Rambutnya yang panjang jatuh tertata rapi di bahu, dan wajahnya terlihat sedikit lelah, namun tetap memancarkan kecantikan yang alami.

Begitu mendekat ke mobil, Razka, sahabatnya yang sudah lama dikenal, tersenyum dan menyapanya dengan ceria.

"Selamat pagi, nyonya!" ujar Razka dengan nada bercanda, menciptakan suasana ringan di antara mereka.

"Pagi, bos," balas Nayara, tersenyum lebar sambil membuka pintu mobil dan melangkah masuk. Suasana di dalam mobil terasa lebih nyaman, ada kehangatan yang datang dari persahabatan mereka yang sudah terjalin lama.

Vina yang duduk di kursi depan, menoleh ke belakang untuk melihat sahabatnya yang sibuk dengan buku-buku yang dibawanya. Pemandangan luar mobil semakin bergerak cepat seiring Razka mulai mengemudi.

"Bagaimana kemarin acara pertunanganmu, Nay?" tanya Vina sambil menatapnya dengan rasa ingin tahu.

"Aku kabur," jawab Nayara santai, tidak ada rasa takut atau ragu dalam suaranya. "Tidak mungkin aku diam saja dan menerima perjodohan gila itu." Lanjut nya ada kejelasan dalam kalimatnya, dan meskipun terasa sedikit emosional, ia tetap terlihat tegar, seperti telah memutuskan bahwa jalan ini adalah pilihan terbaik baginya. Vina menoleh dengan sedikit terkejut, jelas dia tahu betul siapa ayah Nayara dan bagaimana kerasnya pria itu.

"Iya? Dan kamu berhasil?" tanya Vina, nada suaranya mencerminkan kekhawatiran dan rasa penasaran yang mendalam. Ia bisa merasakan betapa beratnya keputusan Nayara, terlebih dengan ayah yang sepertinya tak akan mudah melepaskannya begitu saja.

"Eum... Malam-malam aku kucing-kucingan dengan bodyguard Papa," jawab Nayara sambil terkekeh kecil, mencoba membuat suasana menjadi lebih ringan. Ada sedikit tawa di matanya, tetapi ada juga kesan kelelahan yang samar-samar terlihat. Razka yang duduk di depan, tetap fokus pada jalan, mendengarkan percakapan itu tanpa mengalihkan perhatian dari kemudi.

"Untung saja kamu bisa lolos," ujarnya, mencoba memberikan semangat meskipun suaranya tetap terdengar datar. Matanya tetap waspada, memperhatikan lalu lintas yang ada. Nayara mengangguk, lalu sedikit memiringkan tubuhnya, seolah ingin berbagi cerita lebih lanjut.

"Sebenarnya, aku dibantu oleh seseorang," ujarnya dengan sedikit penekanan, membuat Vina yang sedang asyik dengan ponselnya segera menoleh kembali ke kursi belakang.

"Siapa?" tanya Vina, rasa penasaran dan kecemasan mulai tergambar jelas di wajahnya. Ia tahu bahwa dunia ini penuh dengan orang yang tidak bisa dipercaya, dan perasaan khawatir itu muncul begitu saja. Nayara menyandarkan punggungnya ke kursi, menghela napas ringan.

"Tidak tahu... orang asing," jawabnya dengan suara yang terdengar sedikit bingung. "Mereka juga mengizinkan aku menginap di rumah mereka." Lanjut nya datar meskipun ada sedikit keraguan dalam suaranya, dan meskipun kata-katanya terdengar lugas, matanya seolah memikirkan sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami. Zevian, pria itu, hanya bertanya tentang namanya tanpa memperkenalkan diri, meninggalkan kesan misterius yang kini mengendap di dalam hati Nayara.

"Syukurlah... Tapi Nay, apa kau bisa ikut dalam acara kamping nanti?" tanya Vina, suaranya terdengar penuh harap. Ia menatap sahabatnya yang duduk di kursi belakang dengan wajah yang terlihat sedikit cemas, namun tetap berusaha ceria. Nayara terdiam sejenak, matanya menatap ke luar jendela mobil, melihat pemandangan kota yang mulai sibuk.

"Hemm... Aku tidak tahu, Vin," jawab Nayara, suaranya terdengar rendah dan agak tersekat.

"Kenapa, biasanya kamu selalu semangat untuk ini?" Tanya Vina yang membuat Nayara menghela nafas panjang.

"Semalam saja Papa menyuruh ku berhenti kuliah saat dia tahu aku benar-benar bersembunyi darinya untuk menghindari perjodohan itu. Aku bingung harus bagaimana lagi..." Nada suara Nayara berubah sendu, seolah ada beban yang menekan dadanya. Wajahnya yang cantik tampak semakin murung, seolah memikirkan masa depannya yang terhambat oleh keinginan orang lain. Vina yang mendengarnya, mengernyitkan dahi, merasa tak habis pikir dengan sikap ayah Nayara yang seperti itu.

"Sampai melarang untuk berkuliah, bukankah kali ini om Thony sedikit berlebihan?" tanya Vina, nada suaranya mencerminkan ketidakterimaannya. Dia bisa merasakan betapa beratnya perasaan Nayara saat ini.

"Ya... tapi jujur saja, aku tidak mau," jawab Nayara dengan wajah kesal bercampur sedih. Matanya sedikit berkaca-kaca, namun ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu lemah. "Masa iya aku harus menikah dengan om-om," tambahnya, mulutnya sedikit melengkung ke bawah, seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.

"Ahhha, aku punya ide!" teriak Vina dengan penuh semangat, suaranya begitu keras sehingga membuat Razka yang fokus menyetir harus terhenti sejenak, menatap Vina dengan mata melotot, jelas terkejut oleh teriakan yang mendadak itu.

"Yaampun suara mu itu, Vin!" ujar Razka dengan kesal, sedikit mengerutkan alisnya, namun ada senyum tipis yang terbentuk di bibirnya. Dia kembali fokus pada jalan, meskipun tidak bisa menahan rasa geli melihat tingkah laku Vina. Vina hanya tertawa, seakan tidak merasa bersalah atas gangguan yang baru saja ia buat.

"Terkejut aku," ujar Nayara dengan nada lelah, sedikit tersenyum dengan ringan mewakili reaksi Razka yang memang cukup terkejut.

"Sorry! Aku punya ide bagus, Nay. Kau mau tahu?" tanya Vina, kali ini menoleh ke arah Nayara di kursi belakang dengan wajah penuh antusiasme, matanya berbinar seolah ada sesuatu yang sangat menarik untuk dibagikan.

"Ya, apa itu?" jawab Nayara dengan ragu, mencoba untuk sedikit membuka diri pada ide yang sepertinya datang begitu mendesak dari Vina.

"Kabur lagi saja," ujar Vina dengan wajah serius, seolah-olah itu adalah solusi terbaik yang bisa ia tawarkan.

"Aku rasa itu bukan ide, Vina," ujar Razka dengan nada jengah, matanya terfokus pada jalan yang semakin padat, meskipun ia tetap menyadari kegilaan ide tersebut.

"Iyakah?" tanya Vina tanpa merasa bersalah, malah mengerutkan alisnya sedikit, tampak sedikit kebingungan karena reaksi yang tidak sesuai dengan harapannya. Nayara hanya menggelengkan kepalanya, sedikit tertawa kecil melihat keanehan ide itu. Sudah berkali-kali dia menganggap bahwa melarikan diri bukanlah solusi.

"Aku masih kuliah, lalu aku harus pergi dari satu tempat ke tempat lain, bagaimana caranya? Aku tidak ingin bolos kampus kalau tidak urgent," jawab Nayara, matanya menatap jauh, sedikit berpikir, namun suaranya tetap tegas. Ia merasa bahwa masa depannya terlalu berharga untuk disia-siakan hanya karena masalah ini. Namun, ia juga tahu bahwa kebebasan tidak semudah itu didapat.

"Aku kan hanya memberikan saran," ujar Vina sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tampak sedikit bingung mengapa ide itu tidak diterima dengan baik.

"Iya, saranmu tapi tidak berguna," ujar Razka sambil terkekeh, nada suaranya menunjukkan betapa dia sudah terbiasa dengan kelakuan Vina yang begitu ceroboh. Vina langsung memukul ringan lengan Razka, merasa sedikit kesal, namun tetap ada senyum di wajahnya.

Nayara hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil, melihat tingkah dua sahabatnya yang begitu konyol. Ada rasa hangat di dalam dirinya saat melihat mereka. Meskipun masalahnya begitu besar, sahabat-sahabatnya selalu bisa membuatnya merasa sedikit lebih baik dengan canda tawa mereka.

....

Sementara itu, di tempat lain, di sebuah kamar mewah, seorang pria terbangun dari tidurnya karena suara dering ponsel yang menggema di seluruh ruangan. Dengan gerakan malas, dia mengucek matanya, berusaha mengusir sisa kantuk yang masih menggelayut, lalu meraih ponsel di meja samping tempat tidurnya. Tatapannya mengernyit saat melihat layar—ternyata hanya alarm, bukan panggilan seperti yang sempat dia kira.

Menghela napas panjang, dia memutuskan untuk bangkit. Karena sudah terlanjur terjaga, dia berjalan gontai menuju kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin, dan mulai mempersiapkan diri untuk beraktivitas. Suasana kamar yang sebelumnya tenang kini perlahan dipenuhi suara air mengalir dan aroma sabun maskulin yang menguar di udara.

Sekitar lima belas menit kemudian, pria itu turun ke lantai bawah dengan penampilan yang sudah rapi sempurna. Kemeja putihnya terpasang rapi, lengkap dengan dasi yang terikat elegan di lehernya, sementara jas hitamnya hanya dia tenteng santai di tangan, tanpa niatan langsung mengenakannya.

Dari atas tangga, dia bisa melihat sahabatnya yang sudah lebih dulu bersiap. Lelaki itu duduk santai di ruang makan, sibuk menatap layar tablet di hadapannya. Secangkir kopi hangat mengepul di sampingnya, mengisi udara dengan aroma khas yang menenangkan, sementara seorang pelayan terlihat sibuk menata hidangan sarapan yang baru saja tiba setelah dipesan.

"Sudah selesai?" tanya Zevian sambil menuruni anak tangga dengan langkah mantap. Aditya, menoleh sejenak dari layar tablet, lalu mengangguk kecil.

"Sedikit lagi," jawabnya santai, sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.

Zevian berjalan mendekat, mengambil tempat di kursi di depan meja makan yang sudah penuh dengan hidangan sarapan. Suasana pagi yang tenang seolah mengundang percakapan ringan, namun mata Zevian yang tajam tak pernah benar-benar terbebas dari tanggung jawabnya. Dia duduk, meletakkan jas di kursi sebelahnya, lalu menatap Aditya yang masih sibuk dengan tablet nya.

“Aditya, apa perkembangan proyek baru di kantor? Kau sudah cek laporan terbaru?” Zevian membuka percakapan, suaranya berat dan terukur, mencerminkan karakter tegas yang selalu dia bawa dalam setiap diskusi bisnis. Aditya menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menghela napas panjang, seakan menimbang-nimbang bagaimana menyampaikan progresnya.

“Sedikit terhambat. Ada beberapa hal yang perlu diselesaikan di bagian pengadaan, tapi seharusnya minggu depan sudah bisa lancar,” jawabnya sambil melirik layar tablet nya, mengetik beberapa hal di sana. Zevian mengangguk pelan, matanya tetap fokus pada sahabatnya, mengamati setiap detil reaksi Aditya.

“Kau yakin? Jangan sampai kita terjebak masalah kecil yang bisa merusak timeline keseluruhan. Perusahaan ini harus tetap berjalan sesuai rencana.” Nada suaranya tegas, namun ada sedikit kelembutan di ujung kalimatnya, tanda bahwa dia mempercayakan banyak pada sahabatnya itu. Aditya mengangguk, mencoba menenangkan diri dengan secangkir kopi yang sudah mendingin.

“Aku paham, Ze. Kita akan atasi. Aku pastikan.” Sambil berbicara, dia menoleh pada tumpukan laporan yang ada di meja. “Aku akan pastikan semuanya selesai minggu depan.” lanjutnya yang membuat Zevian memandangi sahabatnya, menyadari ketegasan yang diperlukan dalam setiap langkah yang diambil.

“Baiklah, kita harus lebih fokus lagi pada ekspansi ke pasar internasional. Dengan koneksi yang kita miliki, seharusnya kita bisa merambah lebih jauh. Kau tahu betul, Aditya, keluarga Steel ini tidak hanya untuk pasar domestik.” ujar nya yang membuat Aditya menatap Zevian, sedikit terkejut dengan intensitas pernyataan sahabatnya.

“Kau benar, Ze. Tapi menurutmu kita harus mulai dengan langkah apa? Kita tidak bisa sembarangan memilih sektor.” ujar nya yang membuat Zevian menghirup napas dalam-dalam, berpikir sejenak sebelum menjawab.

“Keluarga Steel ini sudah terjun di berbagai sektor—dari properti, hingga teknologi. Tapi menurutku, sekarang saat yang tepat untuk merambah ke bidang yang lebih futuristik. Aku rasa perusahaan ini akan lebih berkembang jika bergerak di bidang teknologi, terutama teknologi berbasis kecerdasan buatan dan automasi.” ujar zevian yang membuat Aditya terdiam, mencerna kata-kata Zevian.

“Jadi kita bisa mendalami AI, atau mungkin otomatisasi di sektor industri?” Tanya nya yang langsung membuat Zevian mengangguk, tersenyum tipis.

“Tepat. Kita punya sumber daya yang cukup. Infrastruktur, jaringan internasional, dan yang paling penting, visi untuk masa depan. Kalau kita mulai dari sekarang, Steel bisa menjadi pemain utama di bidang ini dalam beberapa tahun ke depan.” jawab nya yang membuat Aditya memutar bola mata, mulai mengangguk setuju.

"Baiklah, aku akan mulai siapkan tim riset dan pengembangan untuk itu." Aditya memutar bola mata, mulai mengangguk setuju dengan raut wajah serius, namun sedikit ada ekspresi jengah, seolah sudah terlalu sering membicarakan hal yang sama.

"Wanita itu belum bangun?" Tanya Zevian sembari mengambil cangkir kopi hitamnya lagi. Tatapannya sedikit terfokus pada pemandangan di luar jendela, berusaha mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih ringan, meski matanya masih terlihat agak lelah.

"Sudah... dia bahkan sudah pergi." Jawaban Aditya disertai dengan nada datar, sambil menyodorkan secarik kertas pada Zevian. Zevian menerima kertas tersebut dengan gerakan lambat, jarinya terasa sedikit kaku. Dia membaca isi catatan itu, dengan mata yang melirik tajam, meskipun dia berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaksenangannya.

"Terimakasih banyak telah menolongku, aku tidak akan melupakan jasa kalian, aku minta maaf tidak bisa berpamitan secara sopan karena aku memang ada kelas pagi... sekali lagi terimakasih tuan. Jika anda memang memerlukan hal lain, ini nomor ku 0815 7233 xxxx, sekali lagi terimakasih." Isi catatan itu terasa formal, bahkan terasa seperti sebuah pernyataan yang dibuat karena terpaksa.

"Tidak sopan." Ucap Zevian pelan, hampir seperti gumaman, namun kata-kata itu cukup keras untuk terdengar oleh Aditya. Wajah Zevian sedikit merengut, matanya sedikit menyipit, mencerminkan rasa tidak puas meski hanya sekedar menatap selembar kertas yang tergeletak di hadapannya.

"Siang ini ada meeting?" Tanya Zevian, mengalihkan perhatian dari kertas itu, menatap Aditya dengan ekspresi yang lebih tenang meski seolah ada yang mengganjal.

"Iya, jam 9 siang, Mega akan mengatur nya," jawab Aditya, tidak terlalu melihat Zevian.

"Aku tidak bisa ikut meeting dulu, urus lah." Zevian mengeluarkan pernyataan itu tanpa ekspresi berlebihan, seakan memang sudah terbiasa untuk mengabaikan beberapa hal yang dianggapnya tidak terlalu penting. Bagi Zevian, banyak hal yang lebih penting daripada pertemuan bisnis yang terkadang membosankan.

"Ze... kali ini tidak bisa diwakilkan." Ujar Aditya, dengan nada lebih serius. Wajahnya sedikit berkerut, menggambarkan ketegasan bahwa kali ini Zevian tidak bisa lari begitu saja. Sebagai CEO, dia harus turun tangan langsung, apalagi kalau masalah tersebut menyangkut jalannya perusahaan. Zevian menyandarkan tubuhnya dengan santai di kursi, menikmati tegukan terakhir kopi yang sudah agak dingin. Dia memandang Aditya dengan tatapan yang sudah sangat familiar, seolah tahu kalau sahabatnya ini akan kembali mendesaknya.

"Aditya, kalau aku hadir di meeting, pasti nanti malah tidur di tengah-tengah. Bagaimana bisa aku tetap terjaga dengan banyak grafik dan data yang akan dibahas?" Zevian berkata sambil mengangkat alis, memancing tawa. Aditya menggelengkan kepala dengan kesal namun masih ada senyum di bibirnya.

"Zevian, kamu CEO. Kamu harus ada di sana, meskipun hanya untuk memberikan arahan. Tanpa kamu, pertemuan itu akan terasa kosong." Ujar Aditya yang membuat Zevian memutar bola mata, pura-pura berpikir keras.

"Mungkin lebih baik aku kirimkan saja robot CEO. Biarkan dia yang menggantikan posisiku di sana, klik-klik, semuanya selesai." Dia tertawa ringan.

"Jangan bercanda Zevian, kami benar-benar membutuhkan kehadiranmu. Kamu tahu betapa pentingnya peranmu di sana." jawab Aditya, suaranya mulai serius. Zevian menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi dan mengangkat cangkir kopi lagi, menikmati aroma yang sudah mulai memudar.

"Aku lebih butuh tidur daripada harus terjebak di ruang meeting yang penuh dengan angka-angka. Bukankah aku sudah cukup menjadi panutan kalian sebagai CEO? Jika aku tidak hadir, kalian tetap bisa melanjutkan tanpa masalah." Ujar nya yang membuat Aditya menggigit bibirnya menahan tawa.

"Jangan begitu. Kalau kamu tidak hadir, kami pasti akan merasa kehilangan arahan. Kamu tahu itu." Ujar nya yang membuat Zevian mengerutkan dahi, berpura-pura serius.

"Arahan? Kalau aku datang, arahan itu akan menjadi tidur siang yang panjang. Kamu tahu sendiri, aku tidak bisa berfungsi dengan baik tanpa tidur yang cukup." Jawab nya santai. Aditya mencoba menahan tawa, namun tetap bersikeras.

"Zevian, sesekali saja datang. Kami perlu wajah penuh kewibawaanmu, jangan hanya mengandalkan statusmu sebagai CEO." Ujarnya yang langsung membuat Zevian mendengus, menyandarkan tubuh ke kursinya lagi.

"Wajah penuh kewibawaan? Kalau aku datang ke meeting, kewibawaan itu akan langsung hilang. Aku akan terlihat lebih seperti zombie yang tidak cukup tidur. Aku benar benar lelah" balas nya.

"Lalu kenapa kau bersiap jika tidak ingin pergi ke kantor?" Tanya aditya yang membuat zevian sedikit tersedak ludahnya sendiri.

"Aku ingin tidur dengan ini" ujar zevian bicara asal yang membuat Aditya terkekeh pelan.

"Aku lihat ada yang aneh?" Ujar Aditya menggoda.

"Apapun itu aku tidak akan ke kantor " balas Zevian yang membuat Aditya menatap Zevian lalu mengangguk.

"Baiklah, kamu menang. Tapi aku ingatkan, jika meeting ini penting, dan kamu tahu itu." Aditya mengangkat tangan, menyerah pada sifat Zevian yang terkadang egois. Wajahnya yang biasanya tenang terlihat sedikit jengkel, namun ia berusaha menahan emosi. Suasana di ruangan itu seakan menjadi lebih berat, Aditya mendesah pelan, menahan rasa frustrasi yang tak bisa diungkapkan.

"Tolong urus itu bersama Mega, aku ada urusan lain. Pokoknya urus saja." Zevian berkata sambil bangkit dari kursinya dengan gerakan cepat. Dengan langkah tegas, dia berjalan ke arah pintu, meninggalkan Aditya yang masih terdiam di tempatnya, mematung dengan banyak pertanyaan yang harus dipendam. Aditya mengusap wajahnya, merasa tak bisa lagi melawan kebiasaan Zevian yang sering kali bertindak tanpa banyak bicara.

"Yaampun, manusia itu," ujar Aditya pasrah, suaranya hampir terdengar seperti keluhan, namun ia berusaha menahan tawa melihat bagaimana Zevian selalu mendominasi situasi.

Zevian melangkah cepat keluar dari apartemennya, wajahnya yang tampan terlihat serius, bahkan cenderung dingin. Beberapa orang yang kebetulan berada di sekitar itu tak bisa menahan senyum kagum pada penampilannya yang selalu mempesona, namun Zevian sama sekali tidak memperhatikan mereka. Baginya, ada hal yang jauh lebih penting yang harus diurus. Keberadaan orang-orang di sekitar seolah tak ada artinya saat dia terfokus pada tujuannya.

Begitu keluar, dia melangkah ke mobilnya dengan penuh determinasi. Suasana jalanan di luar sangat sibuk, namun bagi Zevian, itu semua seakan tidak ada artinya. Sesampainya di dalam mobil, ia langsung menyalakan mesin dan melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi, sembari membuka ponselnya untuk menelepon seseorang dengan ekspresi yang tetap tegang dan serius.

"Hallo," ucap Zevian dengan suara tegas saat telepon tersebut tersambung, suaranya menggema seolah tidak ada ruang untuk penolakan.

"Iya..." jawab suara di seberang telepon, terdengar agak ragu, tapi tetap mencoba terdengar profesional.

"Tolong lacak nomor yang aku kirim barusan, segera," perintah Zevian, nada suaranya berubah lebih dingin, seperti memberi ultimatum. Tanpa menunggu balasan lebih lanjut, dia langsung mematikan panggilan tersebut dengan cepat, menandakan bahwa dia tidak akan toleransi jika permintaannya tidak segera dipenuhi.

Zevian kembali fokus pada jalanan ibu kota yang cukup padat pagi itu. Kendaraan-kendaraan lain berdesakan, tapi bagi Zevian, kebisingan dan kerumunan itu seperti tak ada artinya. Pikirannya jauh lebih tertuju pada tujuan yang lebih penting. Dia berniat menuju ke sebuah universitas ternama di Indonesia. Pikirannya masih terus mengalir, seakan ada sesuatu yang belum selesai yang harus diselesaikan.

Tak lama setelah itu, sebuah pesan masuk dari nomor yang dia kenal. Hasil dari permintaan yang dia buat tadi. Tanpa ragu, Zevian membuka pesan tersebut.

"Ternyata benar dia di sana, aku akan mendapatkannya," ujarnya dengan senyum aneh yang terlukis di wajahnya—senyum yang mengandung campuran antara rasa puas dan rencana yang sudah disusun rapi. Dia menggigit bibir bawahnya sejenak, merasakan sensasi kemenangan yang sudah semakin dekat.

Zevian melanjutkan perjalanannya dengan hati yang tak sabar. Saat mobilnya akhirnya tiba di depan universitas tersebut, ia memarkirkan kendaraannya dengan hati-hati, seakan tempat ini begitu penting baginya. Ia duduk sejenak di dalam mobil, menunggu dengan penuh kesabaran. Matanya tetap terpaku pada ponsel, mencari-cari informasi lebih tentang wanita yang telah menarik perhatiannya itu.

"Ini menarik," gumam Zevian, matanya masih menelusuri sosial media milik Nayara. Bagaimana bisa dia tahu begitu banyak? Tentu saja, itu semua berkat nomor telepon yang berhasil dia lacak tadi. Zevian memeriksa setiap foto yang ada di akun sosial media Nayara dengan seksama. Setiap gambar, setiap komentar, ia lihat dengan ketelitian seorang yang tak ingin melewatkan detail sekecil apapun. Tak terasa, waktu sudah berlalu begitu lama. Namun, seakan waktu itu tidak berharga bagi Zevian. Semua yang ada di sekitar seolah menghilang, dan hanya ponselnya yang jadi fokus utamanya.

Matanya akhirnya beralih dari layar ponsel ke luar mobil, dan dia melihat seseorang yang sudah lama dia tunggu. Hatinya berdebar sejenak, namun ekspresinya tetap terjaga. Tanpa banyak basa-basi, Zevian keluar dari mobil dan berjalan mendekati Nayara yang sedang berjalan menuju mobil Razka untuk mengambil barang yang tertinggal.

Langkahnya terhitung cepat dan pasti, namun

Ada sesuatu di dalam diri Zevian yang merasa sedikit tertantang. Sebuah rasa ingin tahu yang memuncak, seperti aliran listrik yang mengalir cepat dalam tubuhnya. Ia merasa sudah begitu dekat untuk mengetahui lebih banyak tentang wanita ini, yang sejak tadi hanya ada dalam pikirannya dan pencariannya. Pikirannya terfokus pada sosok Nayara—gadis yang semalam dia tolong, namun hari ini membawa rasa penasaran yang semakin dalam.

Dengan langkah cepat, Zevian mendekati Nayara. Gerakannya penuh keyakinan, seolah tak ada yang bisa menghalangi. Namun, kehadirannya yang begitu mendekat membuat Nayara terkejut. Wajahnya berubah, matanya terbuka lebar, dan ia tampak tak menyangka jika pria yang semalam menolongnya bisa mengetahui di mana dia sekarang.

"Kita bertemu lagi," ujar Zevian dengan wajah datarnya, tanpa emosi. Suaranya terdengar tenang, tetapi ada ketegangan yang membayangi kata-katanya. Bagi Nayara, kalimat itu seperti petir di siang bolong—tak terduga dan mengejutkan.

"Astaga..." Ucap Nayara hampir menjatuhkan buku yang dipegangnya, tangannya bergetar sesaat. Ia membeku di tempatnya, bingung dan terkejut dengan kejadian yang tak bisa diprediksi ini.

"Ikut saya," perintah Zevian tanpa ragu, langkahnya semakin mantap saat ia menarik tangan Nayara. Suasana di sekitar mereka terasa semakin tegang, dan Nayara jelas terkejut dengan sikap Zevian yang tiba-tiba ini. Wanita itu merasa jantungnya berdetak lebih cepat, dan emosinya bergejolak. Dia bukan tipe orang yang akan diam saja jika diperlakukan seperti ini—terlebih oleh seseorang yang sama sekali tidak ia kenal.

"Tunggu dulu, jangan pegang-pegang!" bentak Nayara, suaranya bergetar antara ketakutan dan marah. Dia menatap Zevian dengan tajam, berusaha menahan agar dirinya tidak lengah.

"Anda ada keperluan apa? Apa anda menguntit ku?" tanyanya dengan nada tinggi, berusaha mempertahankan keberanian meskipun tubuhnya mulai merasa terjepit oleh situasi ini. Zevian hanya menatapnya dengan mata tajam, tanpa menampilkan sedikitpun rasa bersalah.

"Tidak perlu tahu, ikut saya," ujarnya tegas, nada suaranya semakin dingin dan tidak ada ruang untuk perdebatan lebih lanjut. Sekali lagi, dia menarik tangan Nayara dan membawanya menuju mobilnya. Nayara berusaha menahan diri, tetapi apa daya, tubuhnya tak mampu melawan tenaga Zevian yang lebih kuat.

"Anda mau apa?" seru Nayara, semakin panik. "Biarkan aku keluar, atau aku akan teriak!" Usahanya untuk membuka pintu mobil Zevian sia-sia. Tangan Nayara meraba gagang pintu, namun mobil itu sudah terkunci. Suasana di dalam mobil terasa semakin berat—terkunci dalam ruang yang tak bisa ia lewati. Matanya memandang Zevian dengan penuh perasaan yang campur aduk—marah, takut, dan bingung.

"Teriaklah... apa gunanya membuang suara hanya untuk berteriak?" ujar Zevian dengan nada datar, namun ada sesuatu yang mengerikan di balik kata-katanya. Matanya menatap tajam ke wajah Nayara, menyelidiki setiap ekspresi yang muncul di wajahnya. Ada kegembiraan yang tersirat dalam tatapannya, seperti predator yang sedang menilai mangsanya. Nayara menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis yang sudah hampir tumpah. Dia merasa terjebak, tubuhnya kaku, dan hatinya berdebar kencang.

"Sebenernya apa yang anda mau, kenapa tiba-tiba seperti ini?" Suaranya terdengar serak, penuh ketakutan yang ia sembunyikan dengan susah payah. Matanya memerah, tetapi ia berusaha untuk tidak menangis. Tak bisa dipungkiri, dia sangat takut—takut dengan pria di sampingnya yang tidak bisa ia baca, takut dengan ancaman yang tersembunyi di balik setiap kata-kata Zevian. Zevian tidak langsung menjawab, hanya menyeringai tipis.

"Tidak dengar ucapan saya semalam?" tanyanya, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu yang aneh. Ada penekanan pada kata 'semalam', seperti sebuah peringatan yang tidak bisa diabaikan.

"Baiklah, apa yang anda butuhkan, aku akan berikan," ujarnya dengan terburu-buru, suara itu sedikit gemetar. Jujur saja, dia merasa terpojok, menyangka bahwa Zevian ingin memerasnya. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa terpaksa, dan hatinya semakin cemas dengan ketidakpastian yang ada di depan mata. Zevian menghela napas pelan, seolah tidak terkesan dengan pernyataan Nayara.

"Saya bukan pria miskin, saya tidak butuh apapun," jawabnya dengan nada yang sangat tenang, bahkan terkesan meremehkan. Dengan gerakan yang perlahan, Zevian mendekatkan wajahnya ke arah Nayara, lalu membisikkan sesuatu yang membuat jantung Nayara hampir berhenti berdetak.

"From this moment on, you’re mine. (Mulai hari ini, kau milikku.)" Suaranya begitu halus, tetapi penuh ancaman yang terselip di balik kelembutannya. Kata-kata itu mengalir pelan, namun menyentuh hati Nayara dengan cara yang menakutkan. Sebuah pernyataan yang begitu kuat, membuat darahnya terasa membeku sejenak. Nayara terkejut dan tubuhnya sedikit bergetar. Tanpa sadar, dia mundur sedikit, berharap bisa keluar dari situasi ini.

"Berhenti... berhentilah!" pikir Nayara dalam hati, namun kekuatan fisik Zevian jauh lebih besar. Dia merasa tak berdaya saat Zevian dengan mudah memainkan rambutnya, seolah dirinya hanyalah sebuah objek yang bisa diperlakukan sesuka hati.

“You do realize, don’t you? Everything that belongs to me will stay mine. Forever. (Kau tahu, semua yang sudah jadi milikku pasti akan tetap menjadi milikku.)" Bisikan itu menyusup kembali, lebih tegas, lebih menekan, dan kali ini ada sedikit kebanggaan dalam nada suara Zevian. Senyum puas tersungging di bibirnya, memperlihatkan bahwa ia menikmati kontrol penuh yang ia miliki atas Nayara. Mungkin ini adalah permainan baginya, tetapi bagi Nayara, ini adalah mimpi buruk yang sedang terjadi di hadapannya. Nayara merasa sesak, napasnya semakin berat, dan tubuhnya terasa terhimpit.

"Tuan, agak menjauh lah, aku tak bisa bernapas... Berhentilah berbicara hal-hal tidak masuk akal, katakan saja apa yang Anda inginkan!" Suaranya nyaris pecah, penuh dengan emosi yang tertahan. Dia berusaha keras untuk tetap tenang, tetapi rasa takutnya semakin menguasai. Namun, Zevian hanya tersenyum lebih lebar, senyum yang begitu manis dan licik, seolah ucapan Nayara tidak berarti apa-apa baginya.

"Saya ingin dirimu," jawab Zevian dengan tegas, suara itu terdengar seperti pernyataan yang tidak bisa diganggu gugat. Setelah itu, dia duduk tegak di kursi pengemudi, lalu mulai mengemudikan mobilnya meninggalkan area kampus. Nayara terus berusaha membuka pintu mobil, terus meminta keluar, namun usahanya sia-sia. Mobil itu terkunci, dan keheningan yang berat mengisi ruang di dalamnya.

Rasa takut dan kebingungan menguasai diri Nayara. Setiap detik yang berlalu di dalam mobil itu terasa seperti siksaan. Zevian, di sisi lain, merasa puas. Ia mendapatkan apa yang ia inginkan—sebuah pencapaian yang memuaskan ego dan rasa kontrolnya.

Zevian melajukan mobil dengan tenang, mengabaikan suara desakan dan gesekan tangan Nayara yang terus berusaha membuka pintu. Suasana di dalam mobil semakin mencekam, hanya terdengar desahan napas Nayara yang terburu-buru. Setiap kali ia mencoba menarik pegangan pintu, suara klik dari kunci mobil semakin menambah rasa paniknya.

"Aku ingin keluar! Buka pintu tolong, apa yang Anda inginkan dariku?" teriak Nayara, matanya terbuka lebar dengan rasa takut yang semakin membuncah. Zevian tetap duduk dengan tenang, tangannya menggenggam setir dengan mantap. Tatapannya kosong, tapi ada bayangan sesuatu yang lebih gelap di balik matanya.

"Saya sudah bilang, saya ingin dirimu, Nayara." Jawab nya yang membuat suara Nayara semakin bergetar, ada air mata yang sudah hampir tumpah.

"Apa yang Anda inginkan? Kenapa aku?" suaranya hampir tak terdengar, seolah berbisik pada dirinya sendiri. Zevian menghela napas pelan, seolah tidak terganggu dengan keresahan Nayara.

"Karena saya ingin kamu tahu, Nayara. Segala sesuatu yang saya inginkan, pasti akan menjadi milik saya Termasuk dirimu." Jawab nya.

Mobil melaju semakin jauh dari kampus, meninggalkan keramaian di belakang. Tidak ada yang bisa dilakukan Nayara. Tubuhnya gemetar, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap jeritan dan teriakannya seakan tenggelam dalam keheningan yang terperangkap dalam mobil mewah itu.

"Jangan berontak... Karena semakin kamu melawan, semakin aku ingin membuatmu menyerah." ujar Zevian dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.

Nayara menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, tetapi tidak bisa menepis ketakutannya. Ia merasa terjebak, terperangkap dalam ruang sempit yang dipenuhi oleh ketidakpastian. Air matanya mulai menetes, namun ia tetap berusaha menahan diri.

"Lepaskan aku, tuan… Kenapa anda melakukan ini?" suaranya pecah. Zevian mengabaikan pertanyaan itu, pandangannya tetap lurus ke depan, matanya tajam dan penuh perhitungan.

"Karena saya bisa," jawabnya datar, tanpa emosi.

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Mobil itu terus melaju tanpa henti, mengarah entah ke mana. Nayara merasa dirinya semakin kecil, tak berdaya, terjebak dalam permainan yang tidak ia mengerti. Setiap gerakan Zevian, setiap kata yang keluar dari mulutnya, semakin menambah rasa takut yang mencekam hatinya.

"Jangan coba melawan, kau tidak akan bisa menang." Zevian menambahkan dengan suara yang hampir tak terdengar. Nayara menatap Zevian dengan mata penuh amarah dan kebingungan.

"Aku tidak tahu siapa Anda, tapi aku ingin Anda tahu, aku bukan orang yang bisa Anda kendalikan begitu saja." ucapnya perlahan. Zevian mengalihkan pandangannya ke Nayara untuk sesaat, dan senyum kecil muncul di bibirnya.

"Kamu akan tahu siapa saya, Nayara. Kamu akan tahu sangat baik siapa saya setelah ini." Jawab nya dengan wajah tenang.

Mobil terus melaju tanpa ampun, membawa mereka berdua jauh dari tempat yang mengenal mereka. Dan di dalam keheningan itu, Nayara merasakan rasa takut dan ketidakberdayaan yang semakin dalam, sedangkan Zevian hanya tersenyum puas di kursi pengemudi, seolah semuanya berjalan sesuai dengan rencananya.

"Tuan... kita mau ke mana? Aku masih ada kelas," ujar Nayara, suaranya terdengar cemas namun tetap berusaha tenang. Ia melirik keluar jendela, menyadari bahwa mobil itu benar-benar menjauh dari lingkungan kampus. Jantungnya berdebar tidak karuan. Tadi, ia hanya keluar sebentar untuk mengambil barang yang tertinggal di mobil Razka—dan bahkan, kunci mobil sahabatnya itu masih tergenggam erat di tangannya.

Namun Zevian tidak menggubris pertanyaan itu. Tatapannya tetap fokus pada jalanan yang mulai lengang siang itu. Cahaya matahari menerpa kaca depan mobil, menciptakan bayangan samar di wajahnya yang tegas. Hari ini, ia sengaja tidak masuk kantor. Semua hanya karena satu alasan—wanita di sebelahnya yang tanpa sadar telah mencuri perhatian dan membangkitkan rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Keheningan yang menegang mendominasi kabin mobil, sampai akhirnya suara dering ponsel memecah suasana. Zevian melirik layar, ekspresinya berubah sedikit tegang. Ia menarik napas pendek, kemudian menepikan mobilnya ke sisi jalan yang sepi. Dengan gerakan cepat, ia mengambil ponsel dan bersiap menerima panggilan.

"Kamu diam!" tegurnya dingin, memberi isyarat tegas kepada Nayara agar tidak bersuara sedikit pun. Tatapan matanya menusuk, membuat Nayara refleks membungkam mulutnya sendiri. Tangannya mengepal di pangkuan, mencoba menenangkan gemuruh dalam dadanya—tapi perasaannya kacau. Ia tidak tahu siapa pria ini sebenarnya, dan kenapa dirinya terjebak dalam situasi seabsurd ini.

"Ya, halo Mom," ucap Zevian begitu panggilan tersambung. Suaranya terdengar datar, tapi sedikit menegang. Pandangannya menatap lurus ke depan, seakan mencoba menahan kekesalan yang mulai muncul di ujung nada bicaranya.

"Kamu di mana, sayang?" Suara lembut seorang wanita terdengar dari seberang. Nada bicaranya penuh kasih, namun mengandung tuntutan terselubung—itu suara ibunya, wanita yang tak pernah suka diberi alasan.

"Aku di rumah teman, Mom," jawab Zevian cepat, berbohong tanpa pikir panjang. Matanya sekilas melirik Nayara yang duduk diam di kursi sebelah, masih gelisah.

"Kamu tidak bekerja? Kalau begitu pulanglah. Mommy menunggumu. Cepat." Nada suaranya berubah tegas, menandakan perintah yang tak bisa ditawar.

"Ehhh, tapi Mom..." Ucapan zevian di potong cepat.

"Mommy akan menjemputmu dan menikahkanmu di sana, sekarang juga. Tak peduli kamu mau atau tidak," potong ibunya tanpa ragu. Suaranya tak lagi terdengar lembut. Ada tekanan, ada tekad yang tak bisa dilawan. Zevian memejamkan mata sesaat, lalu mengusap wajahnya yang tiba-tiba terasa panas.

"Akhh... Mom, ayolah... jangan seperti ini. Berhenti membahas tentang pernikahan. Aku bosan mendengarnya," ucapnya, suara lelaki itu terdengar frustrasi, nyaris pasrah.

"Lima belas menit, sayang. Mommy tunggu." Dan panggilan pun terputus, seolah sang ibu tidak ingin mendengar satu kata pun lagi darinya. Zevian menatap layar ponsel yang sudah gelap dengan rahang mengeras. Matanya perlahan melirik Nayara di sampingnya—wanita yang tiba-tiba berada di tengah pusaran masalah yang bahkan tak ia rencanakan.

Indira Maharani Steel—nyonya Steel generasi kelima—bukan wanita biasa. Ia tahu benar bagaimana menaklukkan anak-anaknya. Untuk Zevian, ancaman pernikahan adalah senjata paling ampuh. Entah dia berada di mana atau sedang melakukan apa pun, begitu ibunya menyebut kata "menikah", maka tak butuh waktu lama bagi pria itu untuk segera pulang. Sedangkan adik perempuannya, akan langsung patuh jika sudah disangkutpautkan dengan urusan kantor—hal yang sangat dia benci.

Zevian menghela napas panjang, lalu melempar ponsel ke arah dasbor dengan kesal. Suara hantaman itu menggema di dalam mobil yang sunyi. Matanya menajam, rahangnya mengeras. Ia menyalakan mesin kembali, melanjutkan perjalanan tanpa sepatah kata pun.

Nayara hanya bisa terdiam, menatap jendela tanpa benar-benar melihat pemandangan di luar. Dadanya sesak, pikirannya berkecamuk, dan perasaannya diliputi oleh ketakutan yang sulit dijelaskan. Entah apa yang sedang menunggunya. Tak lama kemudian, mobil itu berhenti di apartemen nya. Zevian langsung turun, membuka pintu di sisi penumpang, dan menatap Nayara tajam.

"Turun. Sekarang."

"Aku tidak mau... Tuan, aku mohon." Jawab Nayara menggeleng pelan.

"Cepat! Saya tidak punya banyak waktu!" bentaknya sambil menarik lengan Nayara. Tenaganya begitu kuat, membuat gadis itu terseret paksa. Meski sudah berusaha menolak, semuanya sia-sia. Keduanya berjalan cepat melewati lobi, menaiki lift menuju lantai tertinggi. Hening. Hanya terdengar denting samar lift dan deru napas Nayara yang mulai tidak beraturan. Setibanya di depan unit penthouse, Zevian menempelkan kartu akses, pintu terbuka, dan tanpa ragu ia menarik Nayara masuk bersamanya.

"Tuan... aku mohon, jangan seperti ini," lirih Nayara sambil berusaha melepaskan cengkeraman Zevian. Zevian menghentikan langkahnya, menatapnya tajam. Suaranya dingin, nyaris seperti bisikan dari jurang yang gelap.

"Bisa tidak berhenti mengoceh, atau saya akan berbuat lebih jauh lagi!" bentaknya, membuat tubuh Nayara seketika gemetar dan terdiam.

"Dengar baik-baik. Kau tinggal di sini. Jangan coba-coba untuk kabur... atau kau akan tahu sendiri akibatnya." Lanjut nya, dan tanpa menunggu respons, Zevian berbalik. Ia mengambil kunci mobil, jas, dan dompetnya yang tadi diletakkan di meja. Langkahnya cepat dan penuh tekanan. Ia membuka pintu, lalu keluar begitu saja, meninggalkan Nayara yang masih berdiri mematung di tengah ruangan mewah namun terasa menakutkan itu.

"Tuan... tunggu... Tuan!" panggil Nayara panik, namun suara itu hanya memantul di dinding kosong. Zevian sudah menghilang di balik pintu yang kini terkunci rapat.

Gadis itu berjalan pelan ke arah pintu, mencoba membukanya. Namun terkunci, tadi pagi dia bisa keluar dengan mudah tapi kini semuanya sudah berubah. Ia jatuh terduduk, tubuhnya mulai gemetar.

"Ya Tuhan... apalagi ini..." bisiknya lirih. Matanya mulai basah.

"Lepas dari kandang macan... malah masuk kandang buaya. kalau tahu akan seperti ini, aku tidak akan pernah meminta tolong pada orang aneh itu..." gumamnya sambil menyandarkan kepala ke pintu.

Hening.

Lalu, ia tersadar sesuatu.

"Ponselku... tertinggal di kelas." Gumam nya yang membuat dunia nya seolah runtuh baginya saat itu juga. Kini, ia benar-benar terjebak sendirian.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!