NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:347
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2 Bayangan di Balik Kemegahan

Fajar baru saja menyentuh dinding-dinding istana Samudra Jaya ketika suara kokok ayam jantan bercampur dengan denting gamelan dari pendapa. Udara masih segar, namun di balik kesejukan pagi, ada kegelisahan yang menggantung.

Putri Dyah Anindya berdiri di serambi kamarnya, mengenakan kain batik halus berwarna biru laut. Matanya menatap jauh ke ufuk timur, tempat matahari perlahan muncul dari balik samudra. Di dalam hatinya, doa yang ia panjatkan semalam belum reda. Ia tahu, pesta ulang tahun ayahandanya hanyalah permukaan. Di bawahnya, arus deras intrik sudah mulai berputar.

“Gusti putri, sarapan paduka sudah disiapkan di bale dalam,” suara seorang dayang memecah lamunannya.

Dyah menoleh dan tersenyum tipis. “Terima kasih, Wulan. Aku segera menyusul.” Namun sebelum ia melangkah, suara langkah kaki berat terdengar dari arah gerbang dalam. Aruna, panglima muda, datang dengan sikap penuh hormat. Ia mengenakan pakaian perang sederhana, tanpa hiasan, tetapi kehadirannya selalu membawa aura keteguhan.

“Daulat, Gusti Putri,” ucapnya sambil menunduk.

Dyah sedikit terkejut, namun segera menenangkan diri. “Aruna… pagi-pagi sekali kau sudah datang. Ada apa?”

Aruna menatapnya lekat, lalu berkata pelan, “Ampun, Gusti. Hamba hanya ingin memastikan keamanan istana. Semalam, hamba melihat burung gagak yang hinggap di balairung. Itu pertanda tidak baik.”

Dyah terdiam. Bayangan gagak hitam yang muncul di pesta semalam kembali membayang di benaknya. “Aku juga merasakannya, Aruna. Seolah Samudra Jaya sedang menunggu badai.”

Aruna menunduk, tangannya mengepal. “Selama hamba masih bernapas, tidak seorang pun akan menyentuh Gusti Putri. Itu sumpahku.” Dyah terdiam sejenak. Ada kehangatan dalam kata-kata itu, namun sekaligus rasa getir. Ia tahu, sebagai seorang panglima, Aruna hanya bisa melindungi—tidak lebih.

Saat Aruna datang, diam-diam wulan—dayang putri Dyah tersenyum kagum. Aruna bukan hanya sekedar pengawal tapi juga panglima perang kerajaan samudra jaya, namanya sudah terkenal seantero kerajaan bahkan membuat para prajurit iri dengannya karena raja Harjaya mempercayakan keamanan putri Dyah Anindya pada Aruna. Begitu juga di kalangan para dayang istana, nama Aruna maheswara sangat terkenal bahkan menjadi idola bagi para dayang muda.

“Terima kasih atas sumpah setiamu Aruna,” ujar Dyah lirih, matanya tetap menatap ke ufuk yang mulai memerah. Aruna menunduk dalam, tubuh tegapnya berbalut kesederhanaan seorang prajurit, namun wibawanya tak bisa disembunyikan. “Kesetiaan hamba hanyalah kewajiban, Gusti. Tapi ada sesuatu di udara pagi ini yang membuat dada hamba berat. Pertanda itu… bisa jadi bukan sekadar kebetulan.” Dyah menarik napas panjang, seolah berusaha mengusir bayangan yang menyelimuti pikirannya. Namun, sorot matanya tetap penuh kegelisahan. “Kau juga merasakannya? Entah mengapa sejak pesta semalam, aku tak bisa menyingkirkan bayangan akan datangnya kekacauan. Senyum-senyum manis di balairung terasa begitu tipis, seolah menyembunyikan sesuatu yang tajam di baliknya.”

Aruna menatapnya lekat. “Di setiap pesta besar selalu ada yang mencoba menabur api. Dengki mudah bersemayam di hati yang haus kuasa. Hamba hanya khawatir, siapa pun yang berniat buruk, mereka tidak hanya menyasar istana, tetapi juga Gusti Putri.” Dyah terdiam. Hembusan angin pagi menyapu rambutnya yang terurai sebagian. Wulan, dayang setia, masih berdiri di belakang sambil menunduk, pura-pura sibuk merapikan baki perak yang berisi sarapan, meski telinganya tak bisa menolak mendengar percakapan itu.

“Aruna,” suara Dyah merendah, “kau tahu siapa yang paling membuatku was-was? Pandangan itu… semalam aku melihatnya jelas. Pandangan yang penuh dengan sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Bukan dari orang asing, tapi dari darah daging sendiri.” Aruna mengangkat wajahnya, mata tajamnya sedikit menyipit. Ia tidak bertanya siapa yang dimaksud, karena dalam hatinya ia tahu, tetapi ia menunggu Putri Dyah mengatakannya sendiri.

“Tatapan itu dingin, penuh curiga, dan… mengandung benci,” lanjut Dyah. “Aku tak mengerti, apakah aku hanya berkhayal? Ataukah memang ada sesuatu yang sedang dipendam, menunggu saatnya pecah?” Aruna menahan napas sejenak, lalu menjawab mantap, “Apapun yang Gusti lihat, jangan pernah menganggapnya sekadar bayangan. Hamba sudah belajar, firasat seorang putri sering lebih tajam daripada mata seribu prajurit. Jika benar ada yang berniat buruk, biarlah hamba yang menjadi tameng pertama.” Dyah menatapnya. Ada rasa lega, namun juga getir. “Aku takut, Aruna. Takut bukan pada pedang atau tombak, tetapi pada mereka yang seharusnya menjadi keluarga. Apa jadinya bila rumah sendiri menyimpan bara yang siap membakar?” Panglima muda itu menghela napas, lalu menunduk hormat. “Bara hanya bisa membakar jika dibiarkan. Tetapi bila dijaga, dijinakkan, dan dihadapi dengan keberanian, ia akan padam. Hamba tidak bisa menjanjikan bahwa jalan Gusti akan selalu tenang, tapi hamba berjanji, tak akan ada badai yang membuat Gusti berdiri sendirian.” Kata-kata itu membuat Dyah terdiam cukup lama. Ia menunduk, menahan gejolak perasaannya. Sejenak ia ingin percaya bahwa dengan adanya Aruna, ia akan baik-baik saja. Namun jauh di dasar hatinya, ia tahu, badai yang disebutnya bukanlah badai yang mudah ditebas dengan pedang. Wulan melangkah maju pelan, mencoba mengalihkan suasana. “Gusti Putri, sarapan akan segera dingin,” ucapnya sopan.

Dyah menoleh, lalu tersenyum samar. “Ya, Wulan. Mari kita kembali.” Ia lalu melangkah masuk, namun sebelum menutup pintu, ia sempat menatap Aruna sekali lagi. Ada sesuatu dalam tatapan itu—perpaduan antara ketakutan, harapan, dan… kepercayaan penuh. Aruna menunduk, mematri sumpahnya sekali lagi dalam hati. Selama napasnya masih berhembus, tidak ada seorang pun—entah musuh dari luar atau dari dalam—yang akan dibiarkan menyentuh Putri Dyah dan Samudra Jaya.

***

Di sisi lain istana, di paviliunnya yang sepi, Raden Raksa duduk di kursi ukiran naga laut. Wajahnya masih murung, tetapi matanya menyala penuh tekad. Sangkara berdiri di sampingnya, sementara Jaya Rudra sibuk membolak-balik catatan kecil berisi daftar nama bangsawan yang berpotensi mendukung Raksa.

“Paduka,” ucap Rudra pelan, “pagi ini beberapa bangsawan dari wilayah timur datang membawa hadiah untuk Raja. Namun hamba mendengar bisikan… sebagian dari mereka sebenarnya lebih condong kepada paduka.” Raksa mengangguk, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Bagus. Aku tidak butuh banyak… hanya cukup untuk menjatuhkan satu pilar. Setelah itu, seluruh bangunan akan runtuh.”

Sangkara menunduk hormat. “Apa yang harus kami lakukan, Paduka?”

Raksa menatap ke arah jendela, melihat bendera kerajaan yang berkibar diterpa angin pagi. “Bersabarlah. Hari itu akan tiba. Untuk saat ini, biarkan aku bermain dengan topeng manis. Tapi ketika topeng itu jatuh… darah akan mengalir di lantai balairung ini.”Tak lama kemudian dayang paviliuan datang.

“Raden, sarapan raden sudah siap,” Raksa memandang dayang muda yang mengantarkan sarapannya itu, dia berjalan lalu menunduk kemudian mengangkat dagu dayang wanita muda itu dengan kasar.

“Hhmmm...siapa namamu?” tanya Raksa sambil menatap tajam dayang muda itu.

“Ampun raden, nama saya Puspa,” jawabnya tangannya gemetar bahkan seluruh tubuhnya gemetar, tidak ada yang tidak tahu siapa raden Raksa, pangeran samudra jaya yang terkenal suka bermain wanita tapi prestasinya di medan perang tak perlu diragukan lagi mampu mengalahkan banyak musuh walau hanya sendirian. Banyak dayang-dayang muda yang enggan menjadi dayang di paviliun raden Raksa karena sudah banyak dayang-dayang itu yang menjadi permainan raden Raksa bahkan hingga hamil tapi akhirnya dayang itu berakhir ditangan algojo.

“Hhhmmm...berapa umurmu?”

“Ampun raden, enam belas tahun,” jawab Puspa matanya sudah berkaca-kaca, sementara raden Raksa, Sangkara dan Jaya Rudra tertawa. Dayang muda itu paham apa yang akan terjadi selanjutnya, dalam hatinya lebih baik dia mati dari pada harus menjadi pelampiasan nafsu pengeran kejam itu. Raksa melepaskan cengkeramannya dengan kasar membuat Puspa terhuyung, lalu dia pun menuju meja makan.

“Baiklah...ayo kita sarapan Sangkara, Jaya Rudra, kau kembalilah ke tempatmu,” kata Raksa sambil menunjuk ke arah Puspa.

“Ba-baik raden,” ucap Puspa lalu pergi meninggalkan paviliun, di jalan menuju dapur dia menangis lalu mengusap airmatanya dengan kasar. Sampai di dapur dia menumpahkan keluh kesahnya tadi pada dayang utama.

“Nyi Jayem, ampun nyi...mulai besok saya tidak mau mengirim makanan ke paviliuan raden Raksa,” kata Puspa sambil sesenggukan. Nyi Jayem menghampiri Puspa yang masih menangis tersedu.

“Lhoo...ono opo to nduk?” tanya nyi Jayem sambil merangkul Puspa. Dia masih terisak di pelukan Nyi Jayem, dayang utama yang sudah puluhan tahun mengabdi di dapur istana. Matanya sembab, suaranya bergetar saat mencoba menjelaskan.

“Nyi… ampun… hamba tak sanggup lagi. Tatapan raden itu… cara beliau memperlakukan hamba… seakan hamba ini hanya barang.” Ia menyeka air matanya dengan punggung tangan, tapi suara tangisnya tak juga reda. Beberapa dayang muda yang tengah menyiapkan hidangan lain berhenti bekerja. Arum, Laras, dan Sekar saling pandang, lalu mendekat.

“Apa yang dilakukan padamu, Puspa?” tanya Arum dengan suara pelan, seakan takut ada telinga lain yang mendengar.

Puspa menunduk, menggigit bibir. “Beliau memaksa hamba menatap… mengangkat dagu hamba dengan kasar. Tawanya… bersama orang-orang dekatnya… sungguh membuat hamba merasa hina. Hamba takut… takut nyi… kalau suatu saat hamba tidak kembali dari paviliun itu.”

Laras menutup mulutnya, wajahnya pucat. “Ya Gusti… syukurlah engkau masih bisa kembali, Puspa. Bukan rahasia lagi… sudah banyak dayang yang dikirim ke paviliun itu, lalu… tak pernah lagi kita lihat.” Sekar mengangguk pelan, suaranya lirih tapi penuh rasa getir. “Semua orang tahu bagaimana Raden Raksa memperlakukan dayang. Sungguh jauh berbeda dengan Raden Arya.” Puspa menoleh cepat, matanya masih berkaca-kaca. “Benar, Sekar. Raden Arya bila lewat saja, selalu menunduk hormat. Bila memanggil, tutur katanya halus, seakan kita ini manusia yang pantas dihargai.”

“Betul,” sambung Wulan lirih. “Hamba pernah bertemu beliau di halaman dalam. Beliau menjatuhkan kitabnya, lalu hamba mengambilkan. Bukannya marah, beliau malah tersenyum dan mengucap terima kasih. Seorang pangeran… berterima kasih kepada seorang dayang. Itu… itu hal yang tak pernah hamba bayangkan sebelumnya.” Laras menarik napas panjang, suaranya pelan namun penuh perasaan. “Andai saja… semua pangeran seperti Raden Arya. Lembut, santun, tidak suka menyakiti. Tidak seperti Raksa yang selalu haus kuasa dan…,” ia menahan kata-katanya, khawatir dianggap lancang. Nyi Jayem yang sedari tadi diam, hanya memandangi wajah-wajah muda itu dengan sorot mata penuh keprihatinan. Perlahan ia duduk di bangku kayu, menarik napas dalam, lalu bersuara dengan nada tenang.

“Nduk… aku paham perasaan kalian. Puspa, aku tahu hatimu gemetar. Kau masih sangat muda, baru masuk ke dapur istana, dan sudah menghadapi pandangan yang menakutkan itu. Tapi ingatlah, jangan sekali-kali kau biarkan ketakutan itu membunuh semangatmu.” Ia menatap satu per satu wajah dayang muda itu, lalu melanjutkan.

“Kalian semua ini… bunga di taman istana. Ada yang mekar indah, ada yang masih kuncup. Angin boleh kencang, hujan boleh deras, tapi bunga yang berakar kuat akan tetap tegak berdiri. Raksa boleh saja berlaku semena-mena, tapi kita harus pandai menjaga diri. Jangan sampai langkah kita yang ceroboh justru menyeret kita ke jurang yang sama.”

Puspa menunduk, suaranya serak. “Tapi nyi… bagaimana jika beliau memaksa? Hamba tak tahu harus berbuat apa.”

Nyi Jayem tersenyum tipis, getir, tapi penuh kebijaksanaan. “Ingatlah selalu, Puspa. Di istana ini, lidah lebih tajam daripada pedang. Jangan mudah tergoda oleh rayuan, jangan pula menantang dengan kata-kata kasar. Belajarlah bersiasat dengan diam, dengan cara menghindar. Kalau bisa, selalu bersama kawan. Jangan pernah kau hadapi sendiri.” Wulan mengangguk pelan, matanya berbinar karena menemukan harapan dalam wejangan itu. “Benar, nyi. Kita harus saling menjaga. Kalau salah satu dari kita dipanggil ke paviliun itu… yang lain harus menunggu, memastikan dia kembali dengan selamat.”

“Ya,” sahut Sekar mantap. “Kita ini bukan hanya dayang. Kita adalah saudara di dalam tembok istana. Kalau satu jatuh, yang lain harus menopang.” Nyi Jayem menghela napas, lalu menepuk bahu Puspa dengan lembut. “Begitulah seharusnya. Ingat, nduk… kebaikan akan selalu ada. Lihatlah Raden Arya. Beliau adalah bukti bahwa tidak semua darah bangsawan membawa angkara murka. Jadi jangan kau samakan semua. Yang buruk biarlah buruk sendiri. Kalian tetaplah jadi bunga yang harum, meski ada tangan yang ingin merusak.” Air mata Puspa kembali jatuh, tapi kali ini bukan hanya karena takut—melainkan karena rasa lega. Ia menunduk hormat. “Hamba mengerti, nyi… terima kasih. Hamba akan lebih berhati-hati.” Suasana dapur itu hening sejenak, hanya terdengar suara kayu terbakar di tungku. Namun di hati para dayang muda, tumbuh sebuah tekad baru mereka akan saling menjaga, sekalipun bayang-bayang paviliun Raksa masih menghantui.

***

Sementara itu, Raja Harjaya sendiri tengah duduk di pendapa bersama Patih Agung Nirmala Wisesa. Udara pagi membawa aroma bunga kenanga dari taman istana.

“Patih,” ujar sang raja, “aku tidak bisa menutup mata. Banyak bangsawan mulai membicarakan pewarisku. Mereka menganggap Dyah terlalu lemah karena seorang wanita.”

Patih Nirmala menunduk, suaranya berat. “Ampun, Paduka. Hamba mendengar hal yang sama. Namun rakyat kecil mencintai Gusti Putri. Mereka percaya beliau akan membawa Samudra Jaya ke masa depan.”

Raja Harjaya menghela napas panjang. “Itulah masalahnya, Patih. Rakyat percaya pada Dyah… tapi bangsawan percaya pada Raksa. Dan aku tahu, di balik mata tenangnya, Raksa menyimpan api yang bisa membakar seluruh kerajaan.” Patih Nirmala terdiam. Matanya menatap jauh, seakan mencari jawaban di balik angin pagi.

“Mungkin sebaiknya dalam waktu dekat ini aku akan bertapa meminta petunjuk dari sang hyang agung,”

“Sebaiknya begitu gusti prabu, mengingat ini adalah masa depan kerajaan kita tidak boleh sembarangan dalam mengambil keputusan,”

“Kau benar Nirmala, putriku Dyah memang bijak dalam mengambil keputusan sementara putraku Raksa kuat dalam medan pertempuran, tapi yang pasti semua ingin menjadi yang terbaik untuk Samudra Jaya,”

Pendapa agung istana Samudra Jaya pagi itu dipenuhi sinar matahari yang lembut. Tirai tipis dari kain lurik bergerak perlahan tertiup angin, membawa aroma kenanga yang baru mekar dari taman istana. Raja Harjaya duduk di kursi berukir emas, sementara Patih Agung Nirmala Wisesa bersimpuh di hadapannya. Wajah sang raja tampak murung, matanya menatap kosong ke arah kolam kecil yang airnya beriak pelan.

“Patih,” suara raja pecah dalam keheningan, “aku merasakan bayangan gelap sedang menunggu kerajaan ini.”

Patih Nirmala menunduk hormat. “Hamba pun merasakannya, Gusti Prabu. Angin di balairung bangsawan tidak lagi sejuk. Bisik-bisik mengenai suksesi makin keras terdengar.”

Raja Harjaya menghela napas panjang. “Putriku Dyah memang berhati mulia dan bijak. Rakyat kecil menaruh harapan padanya, karena ia selalu mau mendengar keluh kesah mereka. Namun para bangsawan…” ia terdiam sejenak, matanya mengeras, “…mereka lebih condong pada Raksa. Ia gagah di medan laga, kuat, dan mampu menundukkan musuh. Tapi aku tahu, di balik tatapan matanya, ada bara yang siap membakar siapa saja yang menghalangi.”

Patih Nirmala mengangkat wajahnya, menatap raja dengan hati-hati. “Ampun, Gusti. Raksa memang digdaya. Tetapi seorang raja bukan hanya pemimpin perang, melainkan juga pemimpin jiwa rakyatnya. Jika api itu dibiarkan, Samudra Jaya bisa terbakar dari dalam.”

Raja Harjaya menekankan jemarinya di sandaran kursi. “Itulah yang menjadi kegelisahanku. Seorang raja seharusnya membawa kesejukan, bukan ketakutan. Namun aku tidak bisa memungkiri bahwa kekuatan Raksa dibutuhkan kerajaan, terlebih ketika perbatasan selalu diganggu musuh.”

Patih Nirmala menunduk kembali. Suaranya bergetar pelan, seakan memilih setiap kata dengan hati-hati. “Mungkin sudah saatnya Paduka mencari petunjuk dari Sang Hyang Agung. Hamba percaya, tapa brata Paduka akan membuka jalan yang benar. Karena keputusan mengenai pewaris tidak bisa hanya berdasarkan bisik bangsawan, apalagi sekadar hasrat darah muda.”

Hening sejenak melingkupi pendapa. Hanya suara burung kutilang dari kejauhan yang terdengar. Raja Harjaya memejamkan mata, seakan menyelami ombak pikirannya sendiri.

“Kau benar, Nirmala,” akhirnya ia berkata lirih. “Aku harus bertapa. Tidak ada jalan lain. Samudra Jaya bukan milikku semata, ia adalah titipan para leluhur. Bila aku salah memilih, bukan hanya istana yang runtuh, tapi juga harapan rakyat.”

Patih Nirmala bersuara pelan namun tegas, “Dan hamba akan menjaga kerajaan selama Paduka menempuh tapa. Tidak akan ada celah bagi mereka yang hendak mengusik ketenteraman istana.”

Raja Harjaya menatap patihnya lama, kemudian tersenyum pahit. “Aku mempercayaimu, Nirmala. Kau bukan hanya patih, tapi juga sahabat sejak muda. Kau tahu, Dyah memang lembut, namun ia punya keteguhan hati. Raksa… ia seperti api yang tak bisa dikendalikan. Keduanya sama-sama darahku, sama-sama dagingku. Namun aku tidak bisa menutup mata—api bisa menghanguskan, meski ia membawa cahaya.”

Patih Nirmala menangkupkan tangan di dada. “Gusti, jika diperkenankan hamba berkata, api pun bisa berguna jika diarahkan dengan bijaksana. Mungkin Raksa memang terlahir untuk medan laga, sementara Gusti Putri Dyah… untuk menuntun jiwa rakyat. Barangkali keduanya bisa saling mengisi. Namun tetap, keputusan ada di tangan Paduka, sebab hanya raja yang bisa menimbang seimbangnya tahta dan dharma.”

Raja Harjaya menatap ke arah langit biru yang membentang. Dalam benaknya, bayangan Dyah yang teduh dan Raksa yang membara silih berganti muncul. Suara hatinya bergetar, seakan terdengar bisikan leluhur yang jauh di masa lalu.

“Baiklah,” ujarnya mantap. “Dalam waktu dekat, aku akan menuju pertapaan di puncak Gunung Karang. Di sana aku akan memohon petunjuk Sang Hyang Agung. Semoga aku tidak salah langkah.”

Patih Nirmala menunduk dalam-dalam. “Semoga perjalanan Paduka diberkahi, dan semoga Samudra Jaya tetap berdiri tegak di bawah lindungan para dewa.”

Suasana pendapa kembali hening, namun di balik keheningan itu, awan gelap takdir mulai merapat, menunggu saatnya menutup langit kerajaan.

Hari itu, Samudra Jaya tampak megah dan damai. Pasar kembali ramai, gamelan masih berbunyi, dan rakyat melanjutkan kehidupan sehari-hari. Namun di balik dinding istana, langkah-langkah diam mulai bergerak.

Putri Dyah menatap langit biru.

Raksa menajamkan pedangnya.

Aruna menggenggam tombaknya.

Dan Raja Harjaya mulai merasakan, bayangan kelam telah masuk ke jantung istananya sendiri.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!