 
                            "Aku akan menghancurkan semua yang dia hancurkan hari ini."
Begitulah sumpah yang terucap dari bibir Primordia, yang biasa dipanggil Prima, di depan makam ibunya. Prima siang itu, ditengah hujan lebat menangis bersimpuh di depan gundukan tanah yang masih merah, tempat pembaringan terakhir ibunya, Asri Amarta, yang meninggal terkena serangan jantung. Betapa tidak, rumah tangga yang sudah ia bangun lebih dari 17 tahun harus hancur gara-gara perempuan ambisius, yang tak hanya merebut ayahnya dari tangan ibunya, tetapi juga mengambil seluruh aset yang mereka miliki.
Prima, dengan kebencian yang bergemuruh di dalam dadanya, bertekad menguatkan diri untuk bangkit dan membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meeting Penting
Prima memasuki mobil yang sudah bersiap menunggunya di basement kantor di dalam mobil itu juga sudah menunggu seorang laki-laki dialah Arthur. Laki-laki yang selama 5 tahun terakhir ini mendampinginya dan membantu Prima dalam setiap mengatasi masalah.
"Maaf Kak, aku membuatmu menunggu."
"Tidak Prim, naiklah. Jangan sampai kita terlambat di pertemuan penting ini."
Prima duduk di sebelah Arthur di bagian belakang kemudi mobil. Arthur adalah sepupu dari sahabatnya, Runa. Saat ini, hanya Runa dan Arthur lah orang-orang yang ia percaya.
"Kamu sudah makan siang prim?"
"Belum kak, nanti saja kalau pertemuan sudah selesai."
"Kamu harus jaga kondisi kesehatanmu. Jangan sampai kamu sakit sebelum hari pernikahanmu. Nanti semua rencanamu akan berantakan."
"Kakak jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja."
Arthur menatap prima yang duduk di sebelahnya dengan tatapan iba. Sejak awal ia memang bertekad untuk mendukung apapun keputusan yang diambil oleh Prima, sebagaimana sepupunya Runa juga melakukan hal itu. Namun Arthur juga tidak bisa memungkiri bahwa ia khawatir dengan prima yang terlalu memforsir tenaga dan pikirannya dalam setiap rencana yang ia lakukan.
"Berjanjilah bahwa kamu akan baik-baik saja Prima."
Prima menoleh, ia tersenyum dengan lembut lalu menyandarkan kepalanya di pundak Arthur.
"Selama kamu dan Runa berada di sampingku, aku pasti akan baik-baik saja."
Sejenak Arthur membelai kepala Prima, lalu ia mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil. Anak ini benar-benar gigih, batin Arthur.
Mobil melaju menuju tempat pertemuan yang sudah ditentukan. Didampingi oleh Arthur, Prima menemui kolega pentingnya. Ini juga adalah bagian dari rencana besar yang sedang Prima lakukan.
"Ini adalah data-data yang akan kalian butuhkan."
Prima memberikan beberapa berkas dalam map kepada orang-orang yang ia temui begitu sampai di sebuah Cafe tempat mereka berjanji temu.
Satu orang diantara tiga orang tersebut menerima dan membuka berkas yang diberikan oleh Prima.
"Apa semuanya sudah lengkap nona?"
"Sejauh ini sudah, jika nanti ada informasi tambahan, aku akan hubungi kalian."
"Kami berharap kalian bertiga segera bergerak Tuan Bara."
Arthur mengeluarkan sebuah cek kosong dari dalam sakunya. Ia meletakkan ke atas meja di hadapan Bara.
"Silahkan mengisi sendiri cek itu berapapun kalian mau. Tapi jika kalian membuat kesalahan, atau terlambat bergerak sampai waktu tenggat yang diberikan, maka kalian akan menanggung sendiri akibatnya."
Seseorang bernama Bara mengambil cek kosong itu. Ia menatap kedua rekannya, Hendy dan Kona. Kedua rekannya mengangguk dan Bara mengambil cek itu, menyimpan ke dalam sakunya.
"Pernikahanku tidak kurang dari dua bulan lagi, kalian harus sudah melaporkan hasilnya sebelum pernikahanku digelar."
"Baik Nona."
Sahut ketiganya bersamaan.
"Baiklah kalian bisa kembali bekerja, dan ingat jangan pernah menghubungiku ke nomor kantor."
"Kami akan ingat itu."
Bara, Hendi dan Kona undur diri meninggalkan Prima dan Arthur sendiri di dalam Cafe itu.
"Apa mereka tidak akan membuat kekacauan kak?"
"Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan memantau pergerakan mereka. Kamu jangan terlalu sering berhubungan dengan mereka. Biar aku saja yang mengatasi, kamu fokuslah dengan rencana pernikahanmu."
Prima mengangguk lega ia yakin bahwa Arthur pasti bisa mengatasi semua masalah ini.
"Kudengar bibimu akan datang dari Ausi . Tadi aku sempat bertemu dengan Runa di kantor."
"Ya aku yang memintanya untuk datang."
"Kenapa? Apa ada sesuatu yang terjadi?"
"Tidak, tidak ada apa-apa. Aku cuma punya firasat bahwa kita akan membutuhkan bibiku suatu saat nanti."
"Membutuhkannya?"
"Itu hanya perasaanku saja, kuharap tidak ada hal penting yang harus melibatkannya."
Prima mengangguk-angguk pelan. Arthur sebetulnya adalah saudara sepupu dari James, suami Runa. Orang tua Arthur sudah lama meninggal, dan ia diasuh oleh bibinya, Nyonya Rose yang adalah mertua Runa.
"Ayo Prim, habiskan makananmu. Ini sudah terlalu siang untuk lunch. Aku tidak mau kamu sakit."
Seorang pelayan datang membawa sepiring pasta dan salad sayur ke meja mereka. Prima terkejut, karena ia merasa tidak memesan makanan itu.
"Tapi aku tidak memesan makanan ini kak."
"Aku yang memesannya, makanlah."
Prima tersenyum terenyuh. Sungguh ia beruntung dikelilingi oleh orang-orang yang sangat perduli dengannya. Bahkan, Arthur seperti memahami kalau Prima memang sedang ingin makan pasta siang ini.
Prima yang sedang menikmati pasta, terkejut dengan dering ponsel dari dalam sakunya.
William, nama yang tertera di layar.
Ah, seketika nafsu makan Prima lenyap.
"Kenapa lagi sih dia ini. Gak capek apa, telpon telpon aku terus."
Prima menggerutu kesal.
"Wiliam?"
"Iya kak. Dia sudah berkali-kali meneleponku seharian ini."
"Angkat saja, jangan bikin dia khawatir."
Prima mendesah kesal. Ia menekan tombol hijau dilayarnya.
"Iya sayang, aku baru saja selesai meeting."
"Kamu sudah janji sama aku akan datang Prima, apa kamu lupa itu?"
"Tidak sayang, tentu saja aku ingat. Aku sedang bersiap untuk menjemputmu di rumah ibumu. Kamu tunggulah sebentar."
"Ibuku sudah masak makanan kesukaanmu, jadi cepatlah datang. Aku sudah lapar."
William merengek seperti balita tak sabar minta susu kepada ibunya. Hal ini membuat Prima merinding merasa risih. Ia tidak pernah bisa membayangkan jika ia akan menghabiskan sisa waktu hidupnya bersama laki-laki manja seperti William.
"Kenapa kamu tidak makan terus aja sayang, aku bisa nyusul makan nanti."
Prima masih berudaha untuk bersabar.
"Tidak tidak, aku tidak mau. Aku akan menunggumu sampai kamu datang. Kalau kamu tidak datang berarti aku tidak makan."
Prima menarik nafas dalam. Dia sebetulnya sudah sangat tidak tahan dengan sifat Wiliam yang sangat kekanak-kanakan ini, namun ia harus bersabar sampai hari pernikahan itu datang.
"Baiklah, baiklah. Aku siap-siap dulu ya."
Hibur Prima akhirnya. Mau tidak mau memang ia harus mengalah saat ini.
Dari seberang sana terdengar William bersorak gembira, dan ia menutup sambungan teleponnya dengan ucapan cinta yang membuat Prima bergidik mendengarnya. Arthur terkekeh melihat Prima yang mengguncang guncangkan pundaknya.
"Kayaknya dia sayang banget sama kamu sampai-sampai nggak mau makan kalau kamu belum datang."
Arthur tertawa terkekeh untuk meledek terima.
"Dia pasti bisa jadi suami yang baik untukmu, Prim."
Lagi lagi Arthur tertawa meledek hal ini membuat Prima melotot kesal.
"Terus saja meledek. Besok istrimu akan jauh lebih bawel dari ini, aku akan pastikan itu."
"Wow...wow..., kenapa begitu pembalasanmu. Tapi aku akan belajar dari William jika aku menjadi suami besok."
"Maksut kakak?"
"Yah, William itu laki-laki yang sangat manis dan perhatian itu perlu untuk dicontoh."
"Hah terserah kamu saja lah kak. Aku harus segera pergi menyusul William sebelum dia benar-benar marah. Bakal lebih repot buatku kalau sampai William benar-benar ngambek."
"Ya ya, pergilah. Jangan sampai pangeranmu ngambek."
Prima mencubit kecil lengan Arthur sambil berlalu meninggalkan Arthur yang masih terkekeh meledeknya.
***