Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.
Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.
Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saga 28: Menari di Antara Tetesan Embun
Kabut pagi turun perlahan di lereng gunung itu, membawa aroma lembap dari bebatuan basah dan dedaunan yang diguyur embun. Liang Chen berdiri di hadapan air terjun kecil, tubuhnya tegak namun sorot matanya penuh keraguan.
Di tangannya, Kesunyian Malam bergetar samar, seolah pedang itu mengenali tempat latihan barunya. Air jatuh deras dari ketinggian, memecah jadi ribuan tetes yang berkilau seperti serpihan kaca di udara. Di sanalah, Guru Kui Xing duduk di atas batu datar, kaki bersila, labu arak tergantung di sisi pinggangnya.
“Tugasmu sederhana,” ujarnya tenang, matanya setengah terpejam seperti orang mabuk yang tengah bermeditasi. “Potong setiap tetes air sebelum jatuh ke tanah. Jika satu saja lolos, kau gagal.”
Liang Chen menatap air yang mengalir deras. Satu tetes air pun sulit terlihat, apalagi ribuan. Ia mengangkat pedangnya, mengatur napas, dan mengalirkan Energi Pembantaian ke bilah hitam itu. Seketika udara di sekelilingnya bergetar, dan suara lembut gemercik air berubah jadi gemuruh rendah, seperti desisan makhluk yang bersembunyi di balik kabut.
Saat pedang itu bergerak, air di hadapannya tidak terbelah. Ia justru menghantam derasnya aliran, menciptakan semburan yang memercik liar. Suara keras itu memantul di bebatuan.
Guru Kui Xing tidak berbicara, hanya membuka sebelah mata dan meneguk araknya. Liang Chen menatap tangannya yang bergetar. Bilah Kesunyian Malam mengeluarkan asap tipis; Energi Pembantaian yang ia salurkan terlalu kuat.
Ia mencoba lagi. Tebasan kedua lebih lembut, namun hasilnya sama. Air terjun berhamburan, tak satu pun tetesan yang terbelah sempurna. Liang Chen mengerutkan kening.
Otot-otot di lengannya terasa kaku karena menahan amarah yang terus naik dari dadanya. Ia bisa mendengar bisikan samar dalam pikirannya, suara yang muncul setiap kali Energi Pembantaian terguncang. “Hancurkan. Jangan tahan. Tebas segalanya.”
Ia menggigit bibir, menahan desakan itu. Dalam dadanya, energi panas itu mengalir cepat, menekan seluruh nadi seperti bara api yang mencari jalan keluar. Ia tahu bahwa jika ia menuruti bisikan itu, air terjun ini akan menguap dalam satu ledakan. Tetapi jika ia menolak terlalu keras, pedangnya akan menolak kendalinya.
Tetesan air kembali jatuh, tenang namun memancing tantangan. Liang Chen mengangkat pedangnya lagi. Ia menutup satu mata, memusatkan pandangan hanya pada satu titik di antara ribuan tetes yang turun.
Pedang bergerak dengan kecepatan halilintar, hanya sekejap, dan setetes air itu terbelah dua sebelum menyentuh tanah. Potongan air jatuh bersamaan, berkilau dalam cahaya pagi.
Namun setelah itu, Energi Pembantaian meledak dari tubuhnya, membuat Kesunyian Malam bergetar liar. Liang Chen mundur setapak, menahan diri agar tidak mengayunkan pedang membabi buta. Ia mengatur napas, keringat menetes di pelipisnya.
Guru Kui Xing masih tidak berkata apa-apa. Ia hanya memiringkan kepala sedikit, lalu kembali menutup matanya. Di bawah air terjun, Liang Chen menatap tangannya yang memerah. Kulitnya terasa seperti terbakar, tetapi ia tidak berhenti. Ia mengangkat pedangnya lagi, memusatkan pikirannya lebih dalam.
Kali ini, ia menyalurkan energi dengan hati-hati. Ia membayangkan amarahnya bukan sebagai api, tetapi sebagai aliran darah yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya. Setiap denyut adalah satu irama, setiap irama adalah satu tebasan. Pedang bergerak, dan empat tetes air terbelah sempurna, jatuh dengan bunyi lembut seperti nada.
Liang Chen menurunkan pedang, matanya memantulkan sinar air yang berkilau. Napasnya berat, tetapi kali ini wajahnya tenang. Energi Pembantaian di tubuhnya tidak meledak, melainkan mengalir perlahan ke Kesunyian Malam, seperti sungai merah yang tenang di malam hari.
Dari kejauhan, suara Guru Kui Xing terdengar pelan, nyaris tenggelam dalam suara air. “Satu tetes air adalah satu dunia, Chen’er. Siapa yang mampu memotong dunia tanpa menghancurkannya, dialah yang telah menguasai pedangnya.”
Liang Chen menatap air yang terus jatuh tanpa henti, lalu menunduk dalam diam. Ia tahu latihan ini baru permulaan.
Hari berganti siang, dan air terjun tetap mengalir seperti urat nadi dunia yang tak pernah berhenti. Liang Chen masih di tempat yang sama, berdiri di bawah guyuran air. Kulitnya memar di beberapa tempat, namun matanya kini lebih tajam dari sebelumnya.
Guru Kui Xing berdiri di sisi tebing, tangan di belakang punggung, menatap muridnya dalam diam. “Chen’er,” suaranya memecah gemuruh air, “apa yang paling berharga dalam pertempuran?”
Liang Chen berhenti. Ia mengira jawabannya adalah kekuatan, tetapi raut wajah gurunya mengatakan sebaliknya. “Kecepatan?” ia menebak pelan.
Guru Kui Xing mengangguk sedikit. “Benar, tapi tidak sepenuhnya. Kecepatan bukan hanya soal gerak tubuh. Ia adalah cara pikiran mendahului niat musuh. Bahkan kekuatan brutal pun tak berarti jika kau terlambat satu napas.”
Ia mengayunkan tongkat kayu kecil yang dibawanya. Tongkat itu menebas udara sekali saja. Dalam sekejap, tetesan air di sekitar tongkat itu terhenti sesaat sebelum terbelah, lalu lenyap menjadi kabut. Liang Chen menatap terpukau. Ia bahkan tidak sempat melihat kapan tongkat itu bergerak.
“Kecepatan seperti itu tidak lahir dari tubuh, tapi dari kehendak,” lanjut Guru Kui Xing. “Para pendekar ortodoks mengejar keindahan gerak. Mereka ingin setiap tebasan tampak seperti lukisan. Tapi kau bukan pelukis. Kau pemburu. Pedangmu tidak menari, ia menyergap.”
Liang Chen menunduk. Kata-kata gurunya terasa seperti pisau yang menembus pikirannya. Ia teringat pada Sekte Pedang Murni, teknik mereka memang indah, setiap gerakan seperti nyanyian yang memukau. Tapi sekarang ia mulai mengerti: di medan perang, keindahan tidak membunuh.
Guru Kui Xing melangkah mendekat, berdiri di depan muridnya. “Pedang Asura bukan tentang menunggu. Ia menyerang sebelum dunia sempat menyadari bahwa darah telah tumpah.”
Ia menunjuk tetesan air yang jatuh dari daun di atas. “Tetesan itu seperti musuh. Ia jatuh karena alam memerintahkannya. Tapi pedangmu harus menjadi sesuatu yang menentang alam, bergerak lebih cepat dari jatuhnya tetes itu. Itulah hakikat Asura: melawan keseimbangan yang diciptakan langit.”
Liang Chen menatap pedangnya. Dalam dirinya, Energi Pembantaian berdenyut pelan, seperti merespons ajaran itu. Ia menyalurkannya sedikit, membuat Kesunyian Malam bergetar halus. Setiap getaran memancarkan aura merah samar, seperti nyala bara yang menahan diri agar tidak meledak.
Guru Kui Xing mengangguk. “Jangan biarkan pedangmu menunggu perintah tanganmu. Biarkan ia bergerak ketika niat muncul di pikiranmu. Saat itu terjadi, kecepatanmu bukan lagi manusiawi.”
Ia lalu menarik napas panjang, menatap ke arah kabut gunung. “Dulu, ada satu muridku yang hampir mencapai kecepatan itu. Namun ia gagal karena membiarkan amarahnya lebih cepat dari kesadarannya.” Suaranya berat, seperti mengandung beban masa lalu.
Liang Chen tidak berani bertanya. Ia tahu gurunya jarang menyebut masa lalu tanpa alasan. Ia hanya mempererat genggaman pada pedangnya.
Guru Kui Xing menatapnya kembali. “Asura sejati bergerak tanpa ragu. Tapi ragu yang benar justru menyelamatkan jiwanya. Itulah paradoks jalan ini.”
Liang Chen mengangguk. Ia menatap tetesan air yang jatuh dari tebing, matanya mengikuti irama alirannya. Lalu ia bergerak, sekali tebasan cepat, hampir tak terlihat. Air terbelah bersih, tak ada cipratan liar, hanya kilatan tipis merah di udara.
Untuk pertama kalinya, Liang Chen merasa pedangnya tidak sekadar alat, tetapi perpanjangan dari kehendak yang lahir dari amarah yang terkendali.
Guru Kui Xing menepuk tongkatnya ke tanah. “Cukup. Kau mulai mengerti.” Ia berjalan melewati Liang Chen dan berhenti di pinggir air terjun. “Namun satu hal terakhir, Chen’er, jangan salah paham. Kecepatan tanpa arah adalah kehancuran. Jika kau tidak tahu apa yang harus ditebas, maka cepat atau lambat pedangmu akan menebas segalanya, termasuk hatimu sendiri.”
Liang Chen menunduk dalam diam. Ia tahu pelajaran ini bukan hanya tentang pedang, tetapi tentang dirinya.
Air terus jatuh, tapi di tengah suara deras itu, Liang Chen mendengar detak jantungnya menjadi lebih teratur. Ia tahu bahwa setiap denyut adalah hitungan waktu, dan waktu itulah yang akan menentukan hidup dan matinya seorang Asura.
Langit mulai memudar, warna jingga menetes di sela pepohonan. Liang Chen masih berlatih di bawah air terjun, namun kali ini Guru Kui Xing mengganti latihannya.
Di tangan kirinya, guru itu menggenggam sebuah Batu Spiritual kecil berwarna biru muda. Ia mengangkatnya tinggi, lalu menatap Liang Chen dengan tatapan tajam.
“Sekarang waktunya menguji seberapa cepat kau telah belajar,” katanya pelan, tapi suaranya menggema di antara dinding batu. “Aku akan melemparkan Batu Spiritual ini.
Sebelum ia menyentuh tanah, kau harus membelahnya menjadi dua bagian yang sama. Jika kau menghancurkannya, kau gagal. Batu ini adalah harta langka, gagal sekali, kau berhutang satu tahun pelatihan tambahan.”
Liang Chen menarik napas panjang. Air yang mengalir di tubuhnya kini terasa dingin seperti baja yang membungkus sarafnya. Ia menunduk sedikit, lalu mengangkat Kesunyian Malam ke posisi siap.
Guru Kui Xing melempar batu itu ke udara. Gerakannya sederhana, tetapi bagi Liang Chen, lemparan itu seperti mimpi yang bergerak lambat. Dunia seolah berhenti. Hanya detak jantungnya dan suara air yang jatuh dari ketinggian yang tetap ada.
Liang Chen melihat batu itu berputar di udara, memantulkan cahaya sore. Ia tahu ia harus menebasnya, cepat, namun tidak berlebihan. Energi Pembantaian mulai merambat di nadinya. Ia menyalurkannya perlahan ke Kesunyian Malam, tapi amarah yang tidur di tubuhnya segera bangkit, berbisik agar ia menebas sekuat mungkin.
“Tidak,” gumamnya pelan. “Aku bukan monster.”
Bilah pedang itu bergerak, tak lebih dari sekejap. Suara logam beradu udara menggema pelan. Batu Spiritual itu terbelah menjadi dua, jatuh ke tanah dengan tenang. Tidak ada ledakan energi, tidak ada serpihan liar, hanya potongan sempurna.
Guru Kui Xing mengangkat alisnya. “Bagus.” Ia menurunkan tangannya, menatap muridnya dengan sorot puas yang jarang terlihat. “Kau belajar lebih cepat dari yang kukira. Tapi jangan biarkan kesuksesan menipu hatimu. Kecepatan sejati bukan hanya tentang tubuh, melainkan juga penguasaan waktu.”
Ia mengambil dua Batu Spiritual lagi dan melemparkannya berturut-turut. Kali ini Liang Chen harus menebas keduanya sekaligus. Gerakannya hampir tak terlihat. Dua batu itu terbelah dengan jarak yang sama, jatuh berbarengan ke tanah.
Namun setelah itu, Liang Chen terengah. Tangan kanannya bergetar, dan Energi Pembantaian dalam dirinya berdesir liar. Ia merasakan bisikan itu lagi, suara dalam pikirannya yang tak pernah hilang sejak tragedi itu.
“Lebih cepat lagi… Bunuh sebelum mereka sempat menatapmu…”
Liang Chen memejamkan mata. Ia menggenggam pedangnya erat. “Diam.”
Guru Kui Xing menatapnya tanpa bergerak. “Kau mendengar suara itu lagi?” tanyanya perlahan.
Liang Chen mengangguk. “Semakin cepat aku bergerak, semakin kuat suaranya.”
Guru Kui Xing berjalan mendekat. Ia menyentuh gagang tongkatnya dan menekan bahu muridnya. “Itu harga dari jalan yang kau pilih. Kecepatan Asura bukan hanya soal menebas musuh, tapi juga soal menebas keinginan untuk membunuh.”
Ia menunjuk dada Liang Chen. “Setiap kali amarahmu bergerak lebih cepat dari niatmu, Asura akan mengambil alih. Jika itu terjadi, bahkan aku tidak akan bisa menyelamatkanmu.”
Liang Chen menatap tanah. Ia tahu gurunya tidak sedang menakut-nakuti. Dalam dirinya, amarah itu hidup, menunggu kesempatan untuk melompat keluar dan memakan pikirannya.
Guru Kui Xing melangkah mundur. “Sekarang, tugas terakhir hari ini.” Ia mengambil sebilah kayu kecil dari samping batu besar. “Di lembah timur, ada hutan kecil yang dipenuhi monster. Kau harus masuk ke sana, menebas mereka dengan pedangmu, tapi tidak membunuh. Lumpuhkan, jangan hancurkan.”
Liang Chen menatap gurunya, terkejut. “Tidak membunuh?”
“Benar,” jawab Guru Kui Xing tenang. “Jika kau membunuh, kau gagal. Jika kau melukai mereka tanpa kendali, kau juga gagal. Kau harus belajar mengendalikan pedangmu bahkan ketika darah berteriak untuk tumpah.”
Liang Chen menarik napas dalam. Ia tahu latihan ini jauh lebih berbahaya daripada sebelumnya. Monster hutan tidak seperti batu atau tetesan air; mereka melawan, mereka mengancam, dan amarahnya akan bangkit di setiap benturan.
“Pergilah sebelum matahari tenggelam,” ucap Guru Kui Xing. “Jika malam datang sebelum kau kembali, kau tidak perlu naik lagi. Dunia di bawah sana akan menjadi gurumu berikutnya.”
Liang Chen membungkuk dalam, lalu berbalik. Ia melangkah menuju lembah di bawah, pedang Kesunyian Malam tergantung di punggungnya, mengeluarkan kilau merah samar yang berdenyut seperti jantung.
Langkahnya perlahan berubah menjadi cepat, menembus kabut dan semak. Angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang hancur. Setiap langkah membawa getaran halus, seolah bumi sendiri menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.
Ketika ia tiba di tepi hutan, suara raungan rendah terdengar. Seekor monster buas dengan tubuh seperti serigala berlapis sisik hitam keluar dari balik semak, mata kuningnya menyala menatapnya. Liang Chen menghunus Kesunyian Malam. Energi Pembantaian segera berputar di tubuhnya, berusaha melonjak ke luar.
Ia menatap binatang itu, mengingat pesan gurunya. “Lumpuhkan, bukan bunuh.”
Monster itu melompat. Liang Chen bergerak. Gerakannya secepat kilat, tapi pedangnya berhenti seujung rambut sebelum memotong leher makhluk itu. Sebaliknya, ia memutar bilah ke samping, menebas kaki belakang monster. Makhluk itu jatuh mengaum, tapi hidup.
Darah menetes di tanah. Liang Chen menatapnya lama. Suara bisikan itu kembali, memintanya untuk mengakhiri penderitaan makhluk itu. Namun kali ini, ia tidak menuruti. Ia menatap Kesunyian Malam, mengendalikan denyut merah yang bergetar di bilahnya.
“Cukup,” katanya pelan.
Hutan sunyi kembali. Hanya desiran angin yang terdengar. Liang Chen berdiri tegak, tubuhnya bergetar bukan karena lelah, tetapi karena sadar, untuk pertama kalinya, ia menang melawan Asura di dalam dirinya tanpa bantuan siapa pun.
Dari kejauhan, di atas tebing, Guru Kui Xing memperhatikan dari balik kabut. Senyum tipis muncul di wajah tuanya. “Kau mulai mengerti, Chen’er,” gumamnya pelan. “Kecepatanmu sudah lahir dari amarah, tapi kini dikendalikan oleh kehendak. Itu baru pedang sejati.”
Matahari tenggelam perlahan di balik pegunungan. Liang Chen berdiri di bawah cahaya oranye yang mulai memudar, Kesunyian Malam di tangannya bersinar lembut, seolah ikut bernafas bersamanya. Ia menatap ke arah timur, di mana dunia fana menunggu, dan di sanalah darah yang harus dibalas masih menunggu waktunya.
Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.
Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.
Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.