NovelToon NovelToon
Di Atas Sajadah Merah

Di Atas Sajadah Merah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:16k
Nilai: 5
Nama Author: Maya Melinda Damayanty

Arunika adalah seorang wanita yang memendam cinta dalam diam, membangun istana harapan di atas sajadah merah yang pernah diberikan oleh Raka, pria yang diam-diam memikat hatinya. Setiap sujud dan lantunan doa Arunika selalu tertuju pada Raka, berharap sebuah takdir indah akan menyatukan mereka. Namun, kenyataan menghantamnya bagai palu godam ketika ia mengetahui bahwa Raka telah bertunangan, dan tak lama kemudian, resmi menikah dengan wanita lain, Sandria. Arunika pun dipaksa mengubah 90 derajat arah doa dan harapannya, berusaha keras mengubur perasaan demi menjaga sebuah ikatan suci yang bukan miliknya.
Ketika Arunika tengah berjuang menyembuhkan hatinya, Raka justru muncul kembali. Pria itu terang-terangan mengakui ketidakbahagiaannya dalam pernikahan dan tak henti-hentinya menguntit Arunika, seolah meyakini bahwa sajadah merah yang masih disimpan Arunika adalah bukti perasaannya tak pernah berubah. Arunika dihadapkan pada dilema moral yang hebat: apakah ia akan menyerah pada godaan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 2. RAKA MAHENDRA

Pagi hari, semua sibuk di kelompok masing-masing. Tentu saja di kelas itu ada circle pertemanan. Geng pintar, geng kaya dan geng cantik.

Arunika yang introvert, tentu hanya diam duduk sambil membaca buku pelajarannya. Guru belum masuk, tentu kelas itu bising sekali.

Arunika melirik bangku sebelahnya yang masih kosong. Sedikit gelisah karena tadi ia membawa bekal juga untuk Raka.

'Kenapa Bunda maksa tadi!' keluhnya dalam hati.

Tak lama, Raka masuk dengan langkah tergesa-gesa. ia seperti dikejar hantu, mukanya pucat, rambutnya acak-acakan. Ia langsung duduk lalu menghela nafas kasar.

Tak lama Bu Guru matematika masuk, wajah ya keras. Ia menatap tajam Raka yang baru datang.

"Andai kau telat sedetik saja!" ujarnya dingin.

"Siap! Berdiri!" seru ketua kelas.

Semua anak serempak berdiri, mengucap salam dan berdoa. Setelah itu kami duduk dengan tertib.

"Ada anak baru di sini?" tanya Bu Guru menatap Arunika.

Arunika mendadak kaku, wajahnya langsung pias. Ia berdiri takut-takut.

"Sa-saya Bu!" sahut Arunika terbata.

"Selamat datang Nak. Kejar pelajaran ya! Ibu tidak mau kau ketinggalan pelajaran Ibu!" ucapnya penuh ketegasan.

"Ba-baik, Bu!" jawab Arunika takut-takut.

"Baik, sekarang buka bukunya. Kita akan adakan adu cepat!" seru Bu Guru bernama Meneria Hutagaol.

Semua murid sedikit mengeluh, tapi tak ada yang berani membantah. Pelajaran berlangsung damai, semua berusaha menjawab dengan tepat pertanyaan Bu Mener, begitu panggilannya.

Arunika puh berusaha mengimbangi, walau ia lebih banyak diam. Lalu bel pun berbunyi, semua murid tentu bernafas lega.

"Jangan sedih anak-anak. Selepas istirahat, kalian masih ketemu Ibu!" ujar Mener menyeringai.

Semua murid tegang, Meneer tertawa ketika meninggalkan kelas. Setelah itu barulah semua berisik.

"Gila, Bu Mener!"

Arunika kembali ke taman, kali ini ia.membawa tasnya. Memakan dengan tenang, walau sesekali ia melirik ujung koridor sekolah. Raka tak mendatangi nya seperti kemarin. Hingga bekalnya habis. Arunika menatap boks satunya yang masih lengkap isinya.

"Maaf, Bunda!" gumamnya pelan.

Ketika ia masuk, Arunika mendapati Raka tengah meletakkan kepalanya di meja. Arunika duduk di sisinya pelan, nampak nafas teratur terdengar dari mulut Raka. Rupanya ia tertidur, Arunika pun tak berniat membangunkan nya.

Namun sepanjang hari itu, Raka tetap tak bersuara. Tak ada sepatah pun kata yang keluar dari mulutnya, seakan dunia telah menghapus hak bicara yang pernah dia miliki. Arunika mencoba menoleh beberapa kali. Sekadar menatap punggung Raka dari bangkunya, berharap ada sedikit isyarat balasan atas senyum dan sapanya pagi tadi. Tapi Raka seperti tak melihatnya.

Saat pelajaran Matematika, Bu Mener masuk dengan tatapan tajam yang sudah familiar. Ia tak suka murid-murid yang diam. Dan hari itu, ia menunjuk Raka untuk maju ke depan dan menjelaskan rumus yang baru saja diterangkannya di papan tulis.

"Raka Mahendra, kamu, ke depan," tegasnya.

Raka menoleh, berdiri pelan. Langkahnya tetap tenang, tetapi matanya kosong. Ia berdiri di depan kelas, menatap papan tulis… lalu diam. Lima detik. Sepuluh detik. Bu Mener mengetuk papan dengan spidolnya.

"Apa kamu tidak mendengarkan tadi? Jelaskan, cepat!"

Namun Raka tetap diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hanya napasnya yang terdengar pelan, seolah-olah ia sedang menahan sesuatu yang tak mampu dijelaskan.

"Minus lima," ucap Bu Mener akhirnya. "Kembali ke tempat dudukmu."

Raka hanya mengangguk. Tak ada protes, tak ada penolakan. Ia berjalan kembali ke bangkunya dan duduk tanpa ekspresi. Seisi kelas hanya bisa saling pandang, heran, tapi tak berani bertanya.

Saat itu, Arunika merasa jantungnya ikut mengecil. Ia kecewa, entah pada siapa. Pada Raka, yang tak menunjukkan apa-apa. Atau pada dirinya sendiri, yang terlalu berharap dari sebuah senyuman di pagi hari. Harapan itu begitu tipis, tapi cukup untuk membuat langkahnya ringan. Dan kini, ia merasa langkah itu tertarik kembali ke bumi.

Pelajaran terus berlanjut, dan giliran Arunika yang ditunjuk. Bu Mener sepertinya ingin menguji ulang siapa saja yang benar-benar memperhatikan. Arunika berdiri, menatap soal yang tertulis, dan entah mengapa… kata-kata di benaknya berhamburan seperti kepingan kaca yang pecah.

"Ayo jawab Arunika!" suruh Bu Mener dengan suara keras.

Jantung Arunika seakan mau lepas mendengar suara keras itu. Tangannya saling meremas mulutnya terbuka tapi tak ada satupun suara keluar.

"Dua puluh tiga," jawabnya tapi seperti angin yang berembus.

Bu Mener hanya menggeleng, ia tak mendengar jawaban Arunika yang sebenarnya tepat.

"Minus dua," ucap Bu Mener datar. "Duduk."

Arunika mengangguk pelan. Ia tahu ia mampu, tapi pikirannya tak bisa dikendalikan. Ia kecewa—bukan pada guru itu, tapi pada dirinya sendiri. Mengapa selalu gugup? Mengapa selalu diam, padahal otaknya bisa menjawab dengan benar?

Di luar kelas, langit terlihat kelabu. Seperti ikut memantulkan suasana hatinya.

Arunika menunduk sepanjang jalan pulang. Raka berjalan lebih dulu, seperti biasa. Tak melihat ke belakang, tak menoleh ke siapa pun. Arunika tahu, hari ini hatinya sedang tidak ingin bicara. Tapi ia tak tahu bahwa dalam diamnya, Raka mungkin sedang berperang hebat dalam dirinya sendiri.

"Nak!" Purnomo datang menjemputnya.

Arunika naik tanpa kata-kata, pikirannya berkecamuk. Purnomo menatap putrinya dari kaca spion, ia sangat tau jika putrinya tak baik-baik saja.

Ketika sampai, mereka masuk sambil memberi salam. Kali ini, Arunika bertambah gelisah, bekal untuk Raka masih utuh.

"Nak!" panggil Purnomo lembut.

Arunika menengadah, matanya berkaca-kaca. Hal itu tentu membuat kedua orang tuanya cemas.

"Nak, ada apa?" tanya Eka khawatir sambil mendekat begitu juga Purnomo.

"Bunda ... Maaf," ujar Arunika lirih.

"Ada apa, memang apa yang kamu perbuat, Arunika?" tanya Eka gusar.

"Bu, tenang ya!" Purnomo menenangkan istrinya.

"Bekal untuk teman Arunika tidak dimakan ...," jawab Arunika sangat lirih.

"Teman?" Purnomo menaikan alisnya.

"Siapa?" lanjutnya penasaran.

"Raka ...," jawab Arunika berbisik.

"Siapa?" tanya Purnomo lagi tak mendengar jawaban putrinya.

Kali ini giliran Eka yang menenangkan suaminya, ia mengerti apa yang terjadi. Dengan hati-hati. Eka menjelaskan segalanya pada suaminya.

"Oh, jadi tadi kamu bawa bekal juga buat teman kamu. Karena kemarin, teman kamu datang dan tak makan?" Arunika mengangguk pelan.

Purnomo menghela nafas panjang, bukan maksudnya ia melarang sang putri bergaul dengan teman-teman, baik itu perempuan atau laki-laki. Tapi satu hal garis keras yang ia buat, Arunika dilarang pacaran selama menjadi murid sekolah.

Usai sholat berjamaah, Arunika merapikan semua pelajaran untuk besok. Setelahnya, ia pun merebahkan dirinya di atas kasur. Selintas wajah membekas di ingatannya.

"Raka Mahendra ... Kamu tadi kenapa?" tanyanya lirih.

Sementara itu di sebuah rumah, Raka mengunci pintu rapat-rapat. Kedua orang tuanya tengah bertengkar hebat. Remaja itu menutup telinganya dengan bantal.

"Tolong diam," bisiknya pelan.

bersambung

1
Eni Istiarsi
yang muncul baru bayang bayangnya 😄
Sulfia Nuriawati
nyesek pny cwok dg status g jlas, jgn d hrp bikin sakit sendiri
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
bersabarlah nika.
Cindy
lanjut kak
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
arunika tetap produktif walau hati galau ya
Deyuni12
Raka,semoga datang d mimpinya Aru,biar Aru tidak terlalu lama menanggung rindu
Eni Istiarsi
Raka hadir tapi.... masih dalam doa
Ni nyoman Sukarti
yang sabar ya Arunika....pembaca tetap menanti juga....😀🤭
Eni Istiarsi
Rakanya masih dilaminating dan ditaruh ditumpukan paling bawah 🤣
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
tiba-tiba raka datang sambil mengandeng tangan istrinya yg sedang hamil. 🧐🤔
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ: tapi sedih banget kalo bener. 😢
total 2 replies
Cindy
lanjut kak
Deyuni12
Rakaaaa
yuhuuu
kamu d manaaaaa
Aru rindu niiiih
kamu jahara ikh
😄😄✌️
Eni Istiarsi
oh ini yang manusia payung itu,Bagas😄
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
bagas itu yang pernah nolongin arunika waktu di bully saat SMA ya?
Cindy
lanjut kak
Deyuni12
waaaah
Arunika n Media hebat!!!
selamat y buat xan berdua n tetap semangat
Deyuni12
othor jahat,d bungkus d mana sh si Raka ini,bikin Aru jadi rindu meranaaaa
Roh Hayani
Kecewa
nurry
kemana Raka 🤔
Anita Barus: rindu yg terpendam arunika .Raka seperti di telan bumi .tiada kabar beritanya kasian Arunika .
total 1 replies
Cindy
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!