Prolog :
Nama ku Anjani Tirtania Ganendra biasa di panggil Jani oleh keluarga dan teman-temanku. Sosok ku seperti tidak terlihat oleh orang lain, aku penyendiri dan pemalu. Merasa selalu membebani banyak orang dalam menjalani kehidupan ku selama ini.
Jangan tanya alasannya, semua terjadi begitu saja karena kehidupan nahas yang harus aku jalani sebagai takdir ku.
Bukan tidak berusaha keluar dari kubangan penuh penderitaan ini, segala cara yang aku lakukan rasanya tidak pernah menemukan titik terang untuk aku jadikan pijakan hidup yang lebih baik. Semua mengarah pada hal mengerikan lain yang sungguh aku tidak ingin menjalaninya.
Selamat menikmati perjalanan kisah ku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan Aneh
“Ada yang Namanya Anjani?” Tanya seorang mahasiswa yang baru saja kembali dari ruang dosen.
Anjani mengangkat tangannya malu-malu.
“Di panggil sama Pak Kardi, suruh ke ruanganya katanya.” Jani mengangguk dengan sopan.
“Terimakasih Kak.” Ucapnya padahal Jani lebih tua.
Jani tahu jika dirinya belum membayar uang kuliah untuk bulan ini, Mas Angga bilang akhir-akhir ini toko sangat sepi. Hasil kerja serabutan yang Jani lakukan juga tidak seberapa hasilnya.
Jani berjalan dengan lemas menuju ruang administrasi yang di maksudkan.
Dengan berani mencoba menghadapi kenyataan yang harus dirinya lalui.
Mungkin sebentar lagi Jani, kau harus sabar menghadapi setiap lika likunya. Kau harus sabar.
Ucapnya pada diri sendiri untuk menguatkan.
Tok…tok…tok….
"Permisi…” Jani segera menghampiri Pak Kardi yang terlihat sangat sibuk dengan berkas-berkas kwitansi di atas mejanya.
“Jani….masuk Jani, Bapak menunggu mu dari tanggal satu sampai tanggal dua puluh lima ini Nak.” Sindirnya dengan lembut.
Jani hanya menunduk, apa yang bisa dirinya ucapkan jika sambutannya sudah seperti ini.
“Maaf Pak, Jani belum ada dana sampai saat ini. Jani usahakan akhir bulan ya Pak.”
Pak Kardi menaruh kwitansinya dengan keras sambil menatap Jani sinis. Tapi Pak Kardi bisa apa jika nasib mahasiswanya yang satu ini memang kurang beruntung.
“Jangan meleset lagi ya Jani, kamu tahu kan gaji Bapak tidak seberapa? Tidak mungkin Bapak terus-terusan menutupi iuran mu terus setiap bulan. Anak Istri Bapak juga butuh uang itu Jani.”
Jani hanya menunduk, dirinya sudah tidak bisa berkata-kata lagi karena merasa malu.
“Maa Pak.” Ucap Jani lirih.
“Ya sudah, Bapak tunggu akhir bulan yah.” Ucap Pak Kardi merasa iba melihat kondisi Jani yang memang tidak bisa memenuhi semua tuntutannya.
Dengan lemas Jani berjalan menuju kelasnya.
“Jani….hay….” Sapa Aruni sahabat Jani satu-satunya. Anjani mencoba tersenyum melihat sahabat baiknya menyapa. Aruni seperti biasa memeluknya dengan erat. “Kenapa wajahnya sedih begitu?”
“Tidak Run, aku baik-baik saja.” Jani tidak mungkin berbagi kepahitannya ini pada Aruni.
“Yaacchhh…. Ambil tas mu.” Aruni segera meraih tas yang Sam sodorkan padanya. “Jaga adik ku ya Jani sayang.” Ucapnya dengan ramah sebelum berlalu pergi, Jani mengangguk dengan sopan seperti biasa. Tidak lupa senyum terpancar dari bibir tipisnya yang seksi.
Andai saja Mas Angga sehangat Kak Sam, sayang dia cuek dan jarang sekali bersikap lembut seperti Kak Sam. Bicara dalam hati merasa sedikit iri.
“Ayo ke kelas, sebentar lagi jam pertama di mulai.” Ajak Aruni menggandeng Jani ke dalam kelas. Jani berjalan mendahului Aruni duduk di bangkunya.
Semua murid menyapa Aruni yang baru sampai, beda dengan Jani yang tidak terlihat di mata teman-teman sekelasnya.
Aruni terlihat asik berbincang dengan para mahasiswa/i lain yang memang mengagumi nya. Dia beruntung, semua sempurna dalam hidupnya. Jani hanya bisa tersenyum meratapi nasibnya sendiri yang memang tidak beruntung dalam hal apapun yang dirinya lalui.
Semua yang dirinya jalani terasa begitu menyakitkan, tapi Jani mencoba kuat demi Mas Angga. Kakak laki-laki yang sudah merawatnya.
***
“Kenapa melamun?” Tanya Mbak Gina yang melihat Jani duduk termenung di ruang tamu. Jani yang tersadar mencoba melenturkan otot-otot tegang di wajahnya. “Banyak pikiran?”
“Gak kok Mbak, Jani baik-baik saja.” Jani meraih plastic kresek hitam yang Mbak Ginaa bawa.
“Tolong di tata di piring ya Dek, teman Mas katanya mampir. Sebentar lagi sampai katanya.” Jani dengan sigap menata kue-kue basah yang Mbak nya bawa.
“Tumben Mbak, teman Mas yang mana?” Gina menggeleng.
“Katanya orang penting. Jadi jangan buat dia kecewa katanya, ini Mbak bela-belain belanja kue padahal uang Mbak di dompet tinggal beberapa lembar untuk kita bertahan hidup beberapa hari ke depan.”
“Iya Mbak.” Lagi-lagi Jani hanya bisa menunduk kan kepalanya dalam-dalam.
Permasalahan ekonomi mereka membuat Mbak Gina nya yang lembut dan baik hati sering naik pitam dan marah tidak jelas. Jani harus banyak mengalah dan memaklumi kondisi emosi Kakak Ipar nya yang suka tidak menentu karena keadaan mereka.
Tidak lama pintu rumah mereka di ketuk dengan pelan, Mbak Gina yang memang sudah menunggu tamunya buru-buru lari ke depan untuk membukakan pintu.
“Sore….silahkan masuk.”
“Masuk yah aku.” Langit pelan-pelan melangkahkan kakinya memasuki rumah sederhana yang dulu sering dirinya datangi. Ada wajah tidak asing yang Langit tatap dengan senyum hangat.
“Ingat aku tidak Jan?” Tunjuknya pada dirinya sendiri.
Jani mencoba berfikit. Tapi tidak menemukan jawaban.
“Aku Kak Langit, kau suka memanggilku Kak Awan….ingat?” Jani mengangguk malu-malu. “Kau sudah besar Jani.” Janji mendekat menyalami Langit dengan sopan.
“Bagaimana kabar mu Jan? Kuliah mu lancar?” Jani mengangguk. Langit mengusap kepala Jani dengan lembut.
Gina senang orang yang datang ternyata cukup dekat dengan keluarganya. Dia mungkin sahabat lama yang semasa muda dulu.
“Kau pasti Gina kan? Istri Angga?” Gina mengangguk sambil menyodorkan tangannya. “Aku langit, maaf aku bertamu sore-sore begini merepotkan. Kalian pasti ingin istirahat yah.”
“Santai saja Kak, tidak repot kok. Jani cepat bawa kue dan teh nya ke sini.” Pinta Gina merasa masih canggung dengan keramahan tamunya. “Maaf yah Kak Cuma teh hangat dan beberapa kue saja.”
“Itu makanan yang paling aku suka, sederhana tapi penuh makna.” Gina dan Langit sama-sama bertukar tatapan dan tertawa.
“Garing yah… aku memang suka bercanda, jangan di anggap serius yah.” Gina senang tamunya asik di ajak bicara.
Tidak lama Angga datang, dia sedikit basah karena di luar gerimis. “Maaf lama menuggu ya Lang, hujan di pasar cukup deras.”
“Santai Bro, aku juga di temani bidadari-bidadari cantik jadi tidak bosan.”
Gina segera masuk menyusul Jani yang sudah lebih dulu masuk ke kamarnya saat mendengar suara Quin yang menangis terbangun dari tidur sore nya.
“Ganti bajumu dulu Ga, kau bisa masuk angin jika tidak bersih-bersih dulu.” Angga yang awalnya ingin duduk segera beranjak ke kamar nya. Yang langit katakan benar, dirinya bisa sakit jika pakai baju basah lama-lama.
“Nahh….begini kan enak. Bagaimana toko? Rame Ga?”
“Sepi, Jani saja sampai nunggak uang kuliah belum bisa aku bayar. Akhir-akhir ini orang-orang malas ke pasar, mereka belanja online yang lebih praktis.”
“Kau benar, pasar memang sudah bergeser sekarang.” Mereka saling bertukar tatapan. Tatapan mata Langit sudah berbeda.
“Jadi apa ini gerangan yang membawamu jauh-jauh mengunjungi gubuk kecil ku ini.” Ada senyum canggung yang Angga lihat.
“Sahabat ku sedang mencari jodoh.” Angga mengeryitkan dahinya menatap tajam pada Langit.
“Kau masih menjalankan usaha biro jodoh sialan itu!” Angga hampir saja kena tipuan Langit yang memintanya menikah kontrak dengan janda kaya raya.
“Sudah tidak lagi Ga, ini permintaan benar-benar tulus dari sahabat ku yang bukan orang biasa. Dia bahkan menuliskan semua detail isi perjanjian pernikahan jika kau setuju dengan permintaanya.”
“Kau gila! Aku sudah punya istri dan anak ku masih dua tahun kurang. Jani juga bagaimana nasibnya jika aku menikah kontrak begitu!” Bicara dengan nada keras penuh kemarahan.
“Menikah sungguhan, bukan menikah kontrak. Tawaran ini juga bukan untuk mu Ga.” Ucapannya terjeda. “Untuk Jani.” Ucap Langit dengan lemas.
Angga membisu, bagaimana nasib buruk selalu saja menyertai adik kecilnya yang kini sudah beranjak dewasa. Langit yang melihat tatapan tajam mata Angga tidak melanjutkan kata-katanya.