NovelToon NovelToon
SISTEM TRILIUNER SUKSES

SISTEM TRILIUNER SUKSES

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Mengubah Takdir / Kaya Raya / Anak Lelaki/Pria Miskin / Miliarder Timur Tengah / Menjadi Pengusaha
Popularitas:18.9k
Nilai: 5
Nama Author: Proposal

Ethan Hanyalah Pria Miskin, Pekerja Serabutan, Ngojek, Jaga Toko Bahkan Jadi Kuli Bangunan. Meski Semua Itu Sudah Dilakukan, Hidupnya Masih Sangat Menyedihkan.

Setiap Pagi Ia Bangun Dengan Tubuh Pegal Dan Isi Perut Kosong, Berharap Hari Itu Ada Pekerjaan Yang Bisa Menyambung Hidupnya Dan Ibunya Yang Sakit Parah Di Rumah.

Ibunya Hanya Bisa Terbaring, Sesak Napas Menahan Nyeri, Sementara Ethan Tidak Bisa Membeli Satu Obat Apapun.

"Ma...Aku Nyesel...Aku Beneran Nyesel..."

[DING!]

Dari Udara Yang Kosong, Muncul Panel Transparan Berpendar Biru, Melayang Tepat Di Depan Matanya Yang Separuh Terbuka.

[SISTEM KEKAYAAN TAK TERBATAS DIAKTIFKAN]

[Misi Awal: Dapatkan 10 RIBU! Dalam 10 Menit]

Hah..SISTEM? BAIKLAH!, Meski Hidupku Bagaikan Sampah, Tapi.. KUPASTIKAN! Status, Kekuasaan BAHKAN KEKAYAAN! AKAN JADI MILIKKU!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Proposal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SELAMAT! SALDO 1.000.000.000$

Ethan membuka pintu perlahan, pelan dan pelan, seolah berusaha agar dinding tidak terbangun. Engselnya berderit lelah, kesal karena sudah larut malam, tetapi ia menyelinap masuk tanpa suara.

Tempatnya kecil. Agak kumuh. Sudut-sudutnya retak, lampu-lampunya berkedip-kedip kalau napasnya salah. Tapi itu rumah. Tidak sempurna dan memang tidak pernah sempurna.

Ethan menutup pintu pelan-pelan di belakangnya. Ia berdiri di sana sejenak. Membiarkan semuanya tenang. Ruang yang sunyi dan usang ini entah bagaimana mampu menahannya ketika segala sesuatu yang lain menghancurkannya.

'Aku melewatkan makan siang lagi,' kenangnya sambil perutnya keroncongan.

Ia menjatuhkan kantong belanjaan di atas meja. Plastiknya berdesir terlalu keras dalam keheningan. Sesaat, ia hanya melihat sekeliling.

Tak ada yang istimewa. Hanya ubin retak yang sama, kulkas penyok, lantai lecet. Tapi setiap incinya menyimpan kenangan.

Makan malam solo pertamanya berakhir dengan nasi gosong. Coretan-coretan Jacob di dinding dekat wastafel. Lily menari tanpa alas kaki diiringi musik lama di ruang tamu.

Memang tidak indah. Tapi itu nyata. Dan itu lebih berarti.

Karena terkadang, ketika cinta bertahan cukup lama, ia mulai tampak seperti rumah, meski catnya terkelupas.

Ethan mengembuskan napas perlahan, siap untuk akhirnya bersandar pada kenyamanan yang rapuh itu, sampai sebuah suara memecah kesunyian.

"Aku berusaha sekuat tenaga, Elise! Kau pikir aku bisa mendapatkan uang begitu saja?"

Suara ayahnya terdengar tajam dari lorong, tegang dan putus asa.

Ethan membeku. Kehangatan yang ia rasakan beberapa saat lalu lenyap, tergantikan oleh sesuatu yang dingin dan familiar.

Suara ibunya menyusul, tegang dan lelah. "Bagaimana pendapatmu tentangku, Aaron? Aku sedang bekerja dua kali. Sewa rumah sudah jatuh tempo, anak-anak butuh sesuatu, dan aku sudah kewalahan."

Perdebatan itu menggelegar bak ombak di tengah badai. Bermunculan, berjatuhan, tak pernah benar-benar berakhir. Hanya berputar-putar di bebatuan yang sama.

Ethan tetap diam, seolah bergerak hanya akan memperburuk keadaan. Suara-suara itu bukan hal baru. Perkelahian itu bukan hal baru.

Kata-kata yang sama. Rasa sakit yang sama. Tak ada solusi, hanya beban yang tertinggal.

Matanya beralih ke pintu kamar tidur di ujung lorong.

'Mereka juga mendengarkan... mungkin sama sedihnya.'

Ayahnya bekerja di pabrik tekstil manufaktur ringan. Pekerjaannya memang stabil, tetapi stabil bukan berarti aman. Gajinya selalu kurang dari cukup, seolah dunia menggantung kenyamanan beberapa sentimeter di luar jangkauan.

Ibunya, Elise, adalah seorang perawat. Ia bekerja seakan-akan rumah akan runtuh jika ia berhenti bekerja. Shift ganda, kaki pegal, senyum yang memudar. Semua itu agar mereka bisa tetap bertahan hidup.

Namun, sekeras apa pun mereka berusaha—berapa pun jam yang mereka korbankan—jumlahnya tak pernah seimbang. Apalagi ketika tahun ajaran semakin dekat, dengan sederet barang yang tak mampu mereka beli.

Lily, bermata cerah dan berusia dua belas tahun, sudah terlalu besar untuk memakai sepatunya lagi. Jacob, empat belas tahun, membutuhkan buku catatan, pena, dan jaket yang tidak membuatnya merasa kalah bahkan sebelum ia masuk sekolah.

Mereka anak-anak yang baik. Pintar. Penuh energi dan rencana yang lebih besar dari apartemen ini. Dan terkadang Ethan berharap bisa memikul semua itu untuk mereka agar mereka tidak perlu melambat.

Perkelahian di lorong itu bukan hal baru. Tapi tetap saja terasa seperti pukulan di tulang rusuk. Sunyi. Sudah diduga. Masih menyakitkan.

'Saya harus bisa memperbaikinya.'

Rasa bersalah yang tak tahu harus disalurkan ke mana. Rasa bersalah karena tak punya lebih banyak untuk diberikan. Rasa bersalah karena berada di tengah usia yang terlalu tua untuk dilindungi, terlalu muda untuk menanggung semuanya.

Orang luar mungkin akan mengatakan orang tuanya bodoh karena memiliki tiga anak padahal kondisi keuangan mereka tidak stabil. Namun, mereka tidak selalu berada dalam mode bertahan hidup.

Hidup berubah. Cepat. Dan keluarga mereka pun ikut berubah.

'Aku akan membantu. Aku akan mencari tahu.'

Dia membuat janji diam-diam lagi, hanya pada dirinya sendiri.

Sambil menarik napas, ia menegakkan tubuh. Derak kecil di lututnya tak terdengar di bawah gema suara-suara yang terus bergema di ujung lorong.

"Bisakah aku meminta Ethan untuk membantu lebih banyak?" tanya ayahnya, kini lebih tenang. "Dia sudah dua puluh tahun. Dia sudah cukup dewasa."

Lalu hening. Singkat tapi berat.

Suara ibunya terdengar selanjutnya. Lembut, tapi tegas. "Dia sudah siap, Aaron. Dia sudah berusaha semampunya. Aku sudah meminta."

Jeda lagi. Lebih lama. Lebih tebal.

Ethan tetap di dapur, tak bergerak, jari-jarinya mencengkeram tepi meja dapur.

"Aku merasa tidak enak," kata ibunya akhirnya, suaranya merendah. "Dia masih sekolah. Seharusnya dia fokus pada itu. Seharusnya itu jalan keluarnya."

Suaranya sedikit bergetar di baris berikutnya. "Tapi kita berhasil..."

Ethan menelan ludah, rasa sesak di tenggorokannya semakin kuat. Ia tahu ayahnya tidak bermaksud jahat. Ia juga tahu ibunya berusaha membelanya, tetapi beban kata-kata mereka terasa berat di dadanya.

Dia anak tertua. Dan anak-anak tertua tahu, secara naluriah, bahwa mereka harus membawa apa yang mereka bisa, lalu membawa sedikit lagi.

Lalu dia mendengar ayahnya mengembuskan napas.

"Aku akan coba cari tahu," kata Aaron. "Aku akan tanya-tanya di kantor. Lihat apakah aku bisa dapat giliran kerja lain. Atau mungkin pekerjaan sampingan."

"Aaron," jawab Elise, dan rasa lelah itu muncul lagi. Rasa lelah yang kini ia bawa ke mana-mana, seperti mantel yang terlalu berat untuk bahunya. "Maafkan aku."

Selalu seperti ini. Dua insan berusaha menjaga dunia agar tak runtuh dengan tangan yang sudah terbebani. Namun, sekeras apa pun mereka mencoba, retakan itu terus melebar, diam-diam dan tanpa henti, bagai tanaman ivy yang menembus batu tua.

Beban semua itu tiba-tiba terasa begitu berat bagi Ethan, seolah udara di sekitarnya menjadi lebih padat. Ia berjalan menuju ruang tamu.

Setiap langkah terasa lebih berat.

Ethan sekarang bisa melihat mereka, orang tuanya. Mereka duduk di ujung sofa yang berseberangan. Yah, memang sudah diduga setelah bertengkar.

"Bu... Ayah," katanya. Suaranya sedikit lebih lembut dari yang ia inginkan. "Aku pulang."

Ibunya yang pertama menoleh padanya. "Hai, sayang. Bagaimana pekerjaanmu hari ini?"

"Semuanya baik-baik saja," katanya. Lalu ia menambahkan, "Aku sudah membeli semua yang kau minta. Di atas meja... Di sana."

Ia lalu melirik ayahnya. Aaron masih terdiam.

“Semuanya baik-baik saja, Ayah?” tanyanya.

Dia tetap bertanya meski semuanya sudah jelas dan dia sudah mendengar semuanya.

"Tentu saja, Ethan. Semuanya baik-baik saja," kata ibunya sambil tersenyum paksa.

Ayahnya mendengus pelan. "Baik-baik saja?"

Ruangan itu kembali hening.

Ethan berdiri di sana. Saat ini, ia bingung harus berkata apa atau bagaimana harus bertindak. Ia merasa seperti menabrak sesuatu yang sudah setengah runtuh. Dan mungkin itulah sebabnya ia terpeleset seperti itu.

"Jangan bertengkar lagi," katanya.

Tidak berisik. Tidak marah. Hanya lelah.

Kedua orang tuanya menoleh ke arahnya, terkejut. Dia tidak pernah bicara seperti itu.

"Aku lelah dengan semua ini, sama sepertimu," lanjutnya. "Seandainya aku punya lebih banyak uang... aku bisa memperbaiki semuanya. Kamu tidak perlu membawa barang sebanyak itu. Akhirnya kita bisa bernapas lega. Sekali saja."

Kedengarannya bodoh begitu dia mengatakannya. Lebih banyak uang. Seolah hanya itu yang dibutuhkan. Seolah berharap sekuat tenaga bisa mengubah segalanya.

Kemudian-

RETAKAN.

Guntur membelah langit. Jenis guntur yang membuat jendela bergetar. Sedetik kemudian, hujan turun. Cepat dan deras, seolah menunggu seseorang meledak lebih dulu.

Ethan tersentak. Pipinya memanas, panas yang berasal dari terekspos. Karena terlalu banyak bicara.

"Maaf," gumamnya sambil berbalik. "Aku tidak bermaksud buruk."

"Aku tahu," kata ayahnya.

Dia tidak mengatakannya dengan nada menghakimi. Hanya nada tenang yang biasa digunakan orang-orang ketika mereka sudah tidak punya energi untuk berdebat lagi.

"Aku tahu," katanya lagi, lebih lembut.

Ethan tidak menoleh. Ia tak ingin melihat apa pun yang terpancar di wajah ayahnya. Kekecewaan, mungkin. Atau lebih buruk lagi—pengertian.

✤✤✤

Ethan berbaring di tempat tidurnya. Ia menatap langit-langit yang bernoda cukup lama. Mencari jawaban atas segalanya.

Dia ingin membantu keluarganya membayar sewa. Sewanya jatuh tempo hari Jumat, padahal hari ini sudah Selasa. Dia tidak punya banyak waktu lagi.

"Bisakah saya mendapatkan proyek lain?"

Sudah lama sejak terakhir kali ia mengunggah profilnya di DoWork. Itu adalah platform daring tempat para pekerja lepas seperti dirinya mencapai kesepakatan.

Ia berguling miring dan meraih ponselnya. Ia bisa mencoba peruntungannya atau mungkin menggulir layar tanpa tujuan. Video kucing, meme absurd, artikel yang setengah ia baca dan lupakan. Semua itu akan membantu menidurkan otaknya agar terasa seperti istirahat.

Namun saat dia membuka kunci layar, sebuah pemberitahuan yang tidak dikenal muncul di sana.

[Selamat datang di Sistem Tanpa Batas]

Dia mengerutkan kening. "Apa-apaan ini..."

Notifikasinya bukan seperti biasanya. Tidak ada panggilan tak terjawab, tidak ada pembaruan aplikasi, tidak ada teman yang putus asa meminta bantuan di obrolan grup yang kemudian mereka hapus.

Itu sangat mencolok, anehnya disengaja, dan tidak ada jumlah gesekan yang dapat mengabaikannya.

"Apakah ini semacam virus?" gumam Ethan, sambil mengutak-atik layarnya seolah-olah perangkat itu akan tiba-tiba meminta maaf dan memperbaiki dirinya sendiri.

Tetapi pesan itu tetap keras kepala, dan sebelum dia dapat memutuskan apakah harus panik atau tertawa, baris lain muncul.

[Aktivasi Sistem Selesai.]

Dia duduk tegak, pegas kasur berderit tanda protes. "Apa-apaan ini..."

Itu bukan imajinasinya. Kata-katanya ada di sana, tajam dan tak berkedip. Pesan lain menyusul, terang benderang di tengah kegelapan.

[Selamat, Ethan Cole. Anda telah terpilih sebagai penerima Sistem Tanpa Batas.]

Dia berkedip sekali, lalu dua kali. Sistem Tanpa Batas? Kedengarannya seperti penipuan phishing.

“Lucu sekali,” gumamnya ke ruangan kosong itu.

Namun, ada sesuatu—mungkin kelelahan, rasa ingin tahu, atau semua hal yang tidak masuk akal itu—yang membuatnya mengetuk layar.

Pesan berikutnya membuatnya tersentak.

[Sistem Tak Terbatas Diaktifkan.]

[Hadiah Awal: Uang Tak Terbatas.]

[Batas Saat Ini: $1.000.000.000.]

Dia menatapnya. Berkedip lagi. Lalu, karena beberapa insting lebih kuat daripada yang lain, dia berseru, "Oh, ayolah. Siapa yang main-main?"

Satu miliar dolar? Satu miliar? Sejenak ia bertanya-tanya, jangan-jangan salah satu temannya yang melek teknologi itu kelewat batas dengan lelucon. Lagipula, itu bukan hal yang mustahil.

Dia cukup menguasai pemrograman untuk menyadari betapa mudahnya bagi seseorang yang pintar—dan nakal—untuk melakukan trik seperti ini.

Tapi kenapa dia?

"Baiklah," katanya keras-keras tanpa suara, suaranya rendah menantang. "Mari kita lihat sejauh mana lelucon ini berlanjut."

Tangannya gemetar. Bukan karena takut, melainkan karena perasaan aneh bahwa dunia terasa miring. Ia membuka aplikasi perbankannya.

Logo itu berputar malas sebelum layar diperbarui. Jantung Ethan serasa berhenti berdetak.

[Saldo Akun: $1.000.000.000]

Itu dia. Angka itu terpampang di sana, absurd dan tak terbantahkan, angka yang hanya Anda duga akan muncul di berita ketika orang-orang berbisik-bisik tentang dana lindung nilai dan taipan.

Ia memegang ponsel itu lebih erat, seolah-olah kedekatan itu bisa mengubah angka-angka itu menjadi angka yang masuk akal. Tapi ternyata tidak. Ponsel itu hanya... tergeletak di sana.

"Apa yang sedang kulihat?" bisiknya, suaranya hampir penuh hormat.

Sebelum dia dapat sepenuhnya memproses ketidakmungkinannya, pesan lain muncul.

[Sistem telah membatasi saldo awal akun Anda hingga $1.000.000.000. Dana tersebut dicatat sebagai pembayaran dividen. Ini baru permulaan.]

"Dividen miliaran dolar? Siapa yang akan percaya?" Ethan meletakkan ponselnya di pangkuannya, menatap dinding seolah-olah ada penjelasan yang lebih baik.

Ini hanya akan membuat orang merasa perlu menggali lebih dalam. Tiga ratus dolarnya telah berubah menjadi satu miliar dolar, dan ini baru permulaan?

Kata-kata itu membuat kulitnya merinding seolah-olah mengandung rahasia yang belum siap didengarnya.

Kemudian.

\=\=\=\=\=

[Buka Misi Baru: Tingkatkan Status Anda]

Deskripsi: Gunakan sumber daya yang Anda miliki untuk meningkatkan kualitas hidup Anda dan keluarga. Selesaikan misi untuk mendapatkan pengalaman dan membuka lebih banyak kemampuan.

\=\=\=\=\=

Ponsel itu kini terasa luar biasa berat di tangannya, layarnya yang berkilau lebih sureal daripada badai di luar sana. Ia membaca kata-kata itu lagi. Tingkatkan statusmu, dan sesuatu tercekat di tenggorokannya.

Beberapa jam yang lalu, dia berdiri di ruang tamu dan berteriak tentang uang, tentang keinginannya untuk memperbaiki segalanya. Dan sekarang ini.

Ethan berbaring kembali, masih memegang telepon, pikirannya berpacu begitu cepat hingga kusut. Kemarahan dan ketidakberdayaannya yang sebelumnya telah tergantikan oleh kemungkinan yang lebih liar dan lebih berbahaya.

Ia menelusuri menu-menu yang muncul secara misterius. Misi, keahlian, status. Menu-menu itu tampak seperti dari salah satu gim video lamanya, tetapi terlalu nyata untuk dianggap mimpi.

"Mungkin aku mulai kehilangan akal," bisiknya pada dirinya sendiri. "Atau mungkin alam semesta akhirnya punya selera humor."

Dia membuka aplikasi perbankannya sekali lagi hanya untuk memeriksa.

[Saldo Akun: $1.000.000.000]

Di sanalah, menantinya, tak terbantahkan seperti kasur di bawah punggungnya atau hujan yang menerpa jendela. Jantungnya berdebar kencang dan tak stabil.

"Bagaimana kalau..." Ia berhenti, nyaris tak mampu membentuk pikirannya. "Bagaimana kalau itu nyata?"

Jika ini nyata—jika memang benar-benar nyata, mustahil—dia bisa memperbaikinya. Semuanya.

Sewa. Pinjaman. Tagihan. Keputusasaan ayahnya yang terpendam. Senyum lelah ibunya.

Beban yang telah berada di pundak mereka selama ini.

"Aku akan memeriksanya lagi besok pagi," gumamnya, meskipun dia tahu kalau dia tidak akan bisa tidur dengan mudah malam ini.

Layar ponsel meredup di tangannya saat ia meletakkannya, tetapi pancaran kemungkinan tetap ada. Hangat dan gelisah menyelimuti benaknya.

Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, Ethan membiarkan dirinya memikirkan hari esok bukan dengan rasa takut, tetapi dengan rasa heran.

Dan saat hujan mengguyur, stabil dan pasti, ia hanyut dalam mimpi-mimpinya yang tak lagi terasa jauh.

1
Proposal
penulis: Nuh Caelum
Nino Ndut
Masih rada aneh dgn metode penulisannya untuk novel sistem kek gini soalnya biasanya novel tema sistem tuh cenderung ringan tp disini berasa berat n kompleks bgt.. jd berasa bukan sistem yg ingin ditampilkan tp pebih ke “penjabaran” karakter dinovel ini y..
Nino Ndut
Hmm.. model penulisan n penjabarannya beda y dari novel sistem lainnya..
D'ken Nicko
terharu dgn bab ini ,jika 1 saja tiap keluarga bisa menhadirkan perubahan positiv...
Budiarto Taman Roso
sepertinya MC kita emang gak pernah lihat dunia bekerja.. terlalu naif. terkesan bloon., atau memang author sengaja membuat tokoh utama seoerti itu.
Erlangga Wahyudi
Br skg baca novel ttg sistem yg mc nya ketakutan ambil uang cash di bank...pdhl tinggal transfer kan brs hadeeehhh thor
Jacky Hong
gila
Aisyah Suyuti
menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!