Di hari pernikahannya, Andi Alesha Azahra berusia 25 tahun, dighosting oleh calon suaminya, Reza, yang tidak muncul dan memilih menikahi sahabat Zahra, Andini, karena hamil dan alasan mereka beda suku.
Dipermalukan di depan para tamu, Zahra hampir runtuh, hingga ayahnya mengambil keputusan berani yaitu meminta Althaf berusia 29 tahun, petugas KUA yang menjadi penghulu hari itu, untuk menggantikan mempelai pria demi menjaga kehormatan keluarga.
Althaf yang awalnya ragu akhirnya menerima, karena pemuda itu juga memiliki hutang budi pada keluarga Zahra.
Bagaimanakah, kisah Zahra dan Althaf? Yuk kita simak. Yang gak suka silahkan skip!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dighosting
“Bagaimana? Sudah ada kabar?”
Suara berat dari arah pintu, membuat gadis yang mengenakan baju pengantin, baju bodo modern berwarna maroon itu tersentak kecil.
Gadis itu menatap sang papa sambil menggeleng pelan. “Belum, ada Pa,” jawabnya dengan suara khawatir.
Sang papa menghela napasnya, melangkah masuk ke kamar sang putri dengah wajah berat dan menahan amarah yang sedari tadi dipendam.
“Ini sudah jam dua belas, Zahra. Sampai kapan kita akan menunggu? Para tamu sudah hadir. Tapi pria itu dan keluarganya belum datang juga,” kata sang papa bernama Sultan, mencoba meredam emosinya.
Zahra menunduk, menautkan kedua tangannya yang telah dihias hena dan nail art. Mata gadis itu berkaca-kaca menahan tangisnya.
“Pa, beri waktu sedikit lagi. Zahra yakin, Reza dan keluarganya pasti akan datang sebentar pagi,” ucap gadis itu memohon.
“Kau sudah mengatakan hal itu sejak 2 jam lalu Zahra. Dari awal Papa sudah tidak setuju dengan pria itu. Tapi kau tetap memaksa.” Suara Papa Sultan terdengar meninggi.
Zahra menatap sang Papa, gadis itu berdiri mencoba membalas ucapan sang papa. Tapi dering telfonnya menghentikan gadis itu.
Tertera, nama penelpon adalah Reza, sang kekasih hati.
Zahra kembali bersemangat, meski tadi harapannya hampir pupus. Hatinya langsung kembali melonjak. Ia dengan cepat mengambilnya.
“Pa, lihat! Reza telfon.” Zahra terburu-buru menekan tombol jawab dan mengaktifkan speaker.
“Halo, Reza kamu di mana? Aku dan semuanya sudah—”
Ucapan Zahra terhenti karena suara laki-laki itu memotong dengan tergesa-gesa.
“Maafkan aku, Ra. Aku gak bisa melanjutkan pernikahan ini.”
Deg!
Jantung Zahra berhenti berdetak seketika.
“Ha?! Apa maksudmu?”
“Aku mencintai Andini,” Reza melanjutkan ucapannya, “dan … Andini hamil anakku. Sekarang kami akan menikah.”
Duar!
Kata-kata itu menghantam lebih keras dari petir yang membelah langit. Hati Zahra serasa diremas oleh tangan tak kasat mata.
Zahra menggeleng cepat, napasnya kacau. “T–tidak … kalian jangan bercanda. Ini gak lucu! Reza, kau calon suamiku! Andini sahabatku! Kalian … kalian jangan mencoba prank aku.”
Gadis itu masih mencoba menyangkalnya, meski dadanya bergemuruh hebat tapi ia tak ingin percaya.
“Ini bukan prank, Ra.” Suara Reza terdengar menyesal. “Maaf, aku memang akan menikahi Andini. Kata orang tuaku, dari awal kita udah gak cocok. Kuta beda suku Ra’.”
Mata Zahra memerah, menahan Isak tangisnya. “Tapi kenapa baru sekarang kau bilang? Kenapa tidak dari jauh-jauh hari? Apa kau tidak tahu apa akibatnya?!”
Baru saja Reza akan menjawab, terdengar suara seseorang menyahut dengan nada sinis.
“Eh, Zahra. Kudune kamu tahu diri. Seko awal kami ora setuju anak kami nikah karo kowe. Kowe kui suku Bugis. Ora cocok karo keluarga kami. Ngerti ora!”
Dari seberang telfon, Reza mencoba menegur sang ibu, “Bu, sudah to Bu—”
Sang Ibu langsung memotong dan berkata, " Lah, Opo iki salah? Bener to? Kudune dari awal kalian ki ora usah pacaran! Delok kae Andini, kae cocok lak jadi mantu Ibu, sama-sama Jowo. Harusne si Zahra iki tahu diri.”
Prak!
Ponsel di tangan Zahra terlepas dan jatuh ke lantai, tubuh gadis itu mematung, tak lama tubuhnya ikut terjatuh seolah tak memiliki tulang untuk menopang.
Papa Sultan refleks menunduk meraih ponsel itu. Wajahnya merah padam, suara lamgsung meledak.
“Kau menipu putriku?! Kau mempermalukan keluarga kami?! Dasar tidak punya siri’! Bajingan kau!”
“Heh! Apa kau bilamg—”
Suara ibu dari Reza terdengar tenggelam. Lalu Reza hanya berkata pelan, “Maafkan aku, Om.”
Klik!
Lalu sambungan terputus.
Papa Sultan menggeram keras, dan langsung melemparkan ponsel itu ke dinding.
Prang!
“Dari awal Papa sudah bilang laki-laki itu bajingan!” seru Papa Sultan dengan wajah memerah.
Zahra tak bersuara. Air matanya pecah, mengalir deras tanpa bisa dihentikan. Tubuhnya bergetar hebat.
Tak lama, suara langkah cepat masuk ke kamar.
“Ada apa ini?” Rani, ibu Zahra muncul dengan wajah panik. Saat melihat Zahra di lantai, tubuh suaminya tegang dan wajahnya memerah. Perasaannya langsung tidak enak.
“Apa yang terjadi? Kenapa Reza belum datang? Papa ngomong!” desak Rani pada sang suami.
Papa Sultan memejamkan mata lalu berkata pelan. “Pernikahan ini batal. Reza memilih wanita lain dan dia sudah menghamilinya.”
Tubuh Rani melemas. “Astaghfirullah … bagaimana bisa?” Ia hampir jatuh jika bukan karena tangan suaminya yang cepat menangkap.
Zahra hanya menangis di lantai, tak mampu berkata apa-apa.
*
*
Di bawah, keributan kecil mulai terjadi. Para tamu berbisik-bisik, wajah mereka nampak kesal dan resah.
“Kenapa lama sekali?”
“Apa terjadi sesuatu di jalan sama keluarga mempelai prinya?”
“Aduh ini memalukan sekali.”
Terlihat juga, empat gadis cantik sahabat Zahra juga mulai tampak gelisah.
“Si Reza kemana sih njir? Ini udah jam dua belas loh kasihan si Ara,” gerutu Anita.
Di dekatnya, seorang gadis berkulit kuning langsat, Iind terlihat terus bercermin di cermin kecil yang ia bawa, "Ternyata aku cantik juga yo, pakai baju bodoh. Beruntung banget biso due konco seko Sulawesi.”
Ayu mendengus. "Uduk bodoh, tapi bodo Iind. Huruf H ne gak ono."
Iind cemberut dan berkata, "Salah sitik doang kok."
"Guys-guys! Lihat tuh, pak penghulunya cakep banget. Kek aktor ya gak? Ih, gemes banget,” kata Salsa terus memandangi ke arah penghulu dengan mata berbinar terang.
Anita sendiri merasa kesal, melihat ketiga temannya justru sibuk dengan yang lain.
"Kalian denger gak sih? Itu kenapa Reza belum datang. Kasihan si Ara nunggu terus," sela Anita membuat ketiganya terdiam.
"Eh, iyo yo? Kok Reza belum dateng yo?" tanya Iind langsung celingukan.
"Opo jangan-jangan ono sesuatu lagi," kata Ayu.
Keempatnya saling pandang.
Di meja utama, seorang pria tampan, berusia dua puluh delapan tahunan duduk dengan wajah tenang. Namanya Althaf, penghulu muda yang akan memimpin akad. Namun teman petugas KUA di sampingnya mulai gelisah.
“Thaf, waktunya sudah lewat dari tadi ini. Jangan-jangan kabur lagi pengantinnya?” ujar Randi asal.
Althaf menoleh, wajahnya tetap datar. “Jangan asal bicara.”
Temannya langsung terdiam, lalu tak lama ia cengengesan. “Ya, maaf. Tapi kita sudah dari tadi nunggunya, loh. Mana laper lagi,” gerutunya kecil sambil memegangi perutnya.
Althaf hanya terdiam, pria itu memang sangat irit bicara. Dan Randi tahu hal itu.
Beberapa menit kemudian, Papa Sultan turun dengan wajah kusut. Ia langsung menghampiri Althaf.
“Thaf, boleh ikut Om sebentar?” tanyanya pelan, yang hanya dapat didengar oleh pemuda itu.
Althaf mengangguk lalu langsung berdiri dan mengikuti ke ruang kerja.
*
*
Di ruangan kerja Papa Sultan, terlihat suasana sangat hening. Althaf duduk di depan Papa Sultan yang wajahnya terlihat menahan sesuatu.
Pasti ada sesuatu yang gak beres, pikir Althaf.
Papa Sultan menatap pemuda di depannya, ia berkali-kali menghela napas berat. “Thaf! Om boleh minta tolong padamu?”
Althaf duduk tegak, sopan. “Ada apa, Om? Kalau saya mampu, insyaallah saya bantu.”
Althaf memang tak bisa menolak. Papa Sultan adalah orang yang membiayai pendidikannya sejak SMA hingga S2. Orang yang ia hormati, bahkan ia anggap seperti ayah sendiri. Dan Althaf sendiri adalah anak dari sahabat Papa Sultan saat di kampung dulu.
Papa Sultan kembali menarik napas panjang sebelum berkata, “Tolong … jadilah pengantin pria untuk putriku.”
Deg!
Althaf membeku di tempatnya, untuk sesaat, ia pikir ia salah dengar.
“Om, maaf. Saya … saya gak salah denger kan?”
“Kau tidak salah dengar, Nak.” Mata Papa Sultan berkaca-kaca menahan emosi. “Ini soal siri’ (Harga diri). Putriku dipermalukan, calon suaminya menikah dengan sahabatnya sendiri. Bahkan wanita itu sudah hamil.”
Althaf mengatupkan rahang.
Sungguh, pemuda itu hanya datang sebagai penghulu dari pihak KUA. Eh, bagaimana mungkin berubah menjadi mempelai?
Althaf merasa sangat berat, tapi di sisi lain ia merasa berhutang budi pada pria paruh baya di depannya ini. Pria itu juga tahu, Papa Sultan sangat menjunjung soal kehormatan keluargamya.
Althaf dilanda dilema besar. Ia tak terlalu tahu bagaimana Zahra. Karena keduanya hanya bertemu sesekali itu pun tak pernah saling sapa.
Setelah sejenak terdiam. Dan berdoa dalam hati, Althaf mengangkat wajahnya lalu berkata, “Bismillah. Kalau ini memang takdirku. Insyaallah, aku siap, Om.”
Papa Sultan terlihat meneteskan air matanya. “Terima kasih, Nak. Om, benar-benar berterima kasih.”
Bukan tanpa alasan ia memilih pria itu. Papa Sultan tahu, Althaf pemuda yang sopan dan tentunya paham agama, cocok untuk putrinya.
*
Papa Sultan naik kembali ke kamar lantai dua dengan langkah berat. Dari ambang pintu, pemandangan itu membuat dadanya sesak.
Zahra duduk di lantai, menangis dalam pelukan ibunya. Make up yang tadinya sempurna kini belepotan oleh air mata. Bando emas di kepalanya sudah terlepas dan jatuh di samping ranjang. Baju bodo maroon itu tampak lecet karena tangan Zahra terus meremasnya.
Papa Sultan memejamkan mata sejenak sebelum melangkah masuk.
“Zahra!” panggilnya.
Papa Sultan berlutut perlahan sehingga sejajar dengan putrinya. Ia menghela napas panjang, menahan banyak hal dalam dadanya.
“Pernikahan ini tetap dilanjutkan.”
Zahra terpaku. Wajahnya perlahan menoleh ke arah papa, merasa tak percaya.
“Pa … apa maksud papa? Reza—”
“Kau tidak akan menikah dengan Reza.” Suara Papa Sultan datar dan dingin jika membahas pria itu. “Kau akan menikah dengan pria pilihan Papa.”
Dunia Zahra seolah berhenti berputar.
“A–apa?” suaranya bergetar.
Papa Sultan menatap Zahra dengan mata yang tak bisa ditawar. “Jangan membantah, Zahra. Cukup. Terakhir kali kau memilih sendiri hasilnya seperti ini. Papa tidak akan membiarkan kehormatan keluarga kita diinjak-injak lagi.”
Zahra menggeleng, air mata mengalir makin deras. “Tapi Pa, Zahra tidak kenal pria ituz siapa pun dia … Zahra tidak siap, Zahra—”
“Zahra.” Nada Papa Sultan naik sedikit. “Cukup.”
Zahra terdiam. Takut, sedih, marah, semuanya bercampur jadi satu yang kini mengguncangnya.
Rani memeluk bahu putrinya lebih erat. “Nak, dengarkan Mama dulu. Kita orang Bugis, Nak. Siri’ itu mahal. Harga diri bukan hal sepele. Kalau kejadian ini terdengar oleh para tamu, kita bisa hancur. Nama baik keluarga sedang dipertaruhkan. Mama tahu kau sakit, tapi tolong, Nak kuat sedikit saja.”
“Mama.” Zahra terisak, memegangi dada yang terasa sesak.
Rani mengusap wajah Zahra. “Percayalah, papa tidak akan memilihkan pria yang buruk. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu.”
Zahra menunduk, bahunya bergetar. Ia merasa seluruh hidupnya berubah dalam hitungan menit. Namun ia tidak punya tenaga lagi untuk membantah. Dirinya kini benar-benar syok.
Papa Sultan bangkit perlahan. “MUA akan datang sebentar lagi untuk memperbaiki riasanmu.”
🍃🍃🍃
Halo, assalamualaikum teman-teman.
Kita ketemu lagi di karya author yang ke sebelas. Untuk tema ini, kita melipir dulu dari dunia perkotaan dan CEO, ya. 😁. Di novel kali ini, author bakal pakai bahasa daerah author sendiri yaitu dari Sulawesi Selatan. Tapi tenang, aja. Kalian tetap akan mengerti kok artinya. Selamat membaca teman-teman semoga terhibur.
Btw yang penasaran dengan pakaian yang dikenakan Zahra. 👇
kalau mama rani tau kelakuan anaknya dah pasti geleng-geleng 🤭
tapi sekarang udah langka🤭🤭
emang enak klu dmakan dkasih gula putih dcampur gitu rasanya ada manis n asamnya, 😃
Bunne tuh buah Buni ya thor
kapok sukurin kau hahaha
pak sul sul ketauan juga kan heh
awas kau pak sul sul ketauan baru tau rasa wkwkwk