Kisah menakjubkan tentang perpindahan Jiwa seorang Ratu Mafia ke dalam Tubuh seorang Gadis Cupu yang diabaikan dan direndahkan oleh keluarganya.
Gadis Cupu itu terus-menerus dianggap tidak berarti oleh keluarganya.
Namun semua hinaan dan pandangan meremehkan itu tak pernah mempu mematahkan semangat nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrinsesAna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1
Malam yang terang itu menampilkan sekelompok remaja yang tengah berkumpul di area balapan liar. Suasana penuh dengan kegaduhan suara mesin motor yang menggema di udara.
“Woi, Lea!” panggil Nabila Kusuma, mencoba menarik perhatian temannya.
“Hemm,” jawab Azalea Drenda Wijaya, atau biasa dipanggil Lea, hanya dengan gumaman kecil.
“Lu jadi turun malam ini?” tanya Jessika Maida Dominic dengan nada penasaran, mencoba memastikan.
“Iyalah. Jadi, lu yang ikut juga malam ini, bestie?” ulang Nabila, masih antusias.
“Hemm,” balas Lea lagi tanpa banyak bicara. Wajahnya tetap dingin dan tanpa ekspresi seperti biasanya, persis seperti hal yang sudah dikenal sahabat-sahabatnya.
“Yaelah, punya bestie satu ini dinginnya kayak Kutub Utara,” gumam Nabila pelan, meski suaranya cukup jelas terdengar oleh Lea. Lea hanya diam, tetap duduk di atas motor sport hitam kesayangannya.
Helm full-face menutupi wajahnya, sementara dia mengunyah permen karet dengan tatapan datar yang menjadi ciri khasnya.
Para peserta mulai memasuki garis start, bersiap untuk memulai balapan. Seorang gadis berpakaian seksi berjalan ke depan, membawa bendera tanda perlombaan segera dimulai.
Brumm... Brumm... Brummm...
1...
2...
3...
Goooo!
Lea segera menarik gas motornya dan melaju kencang.
Dia mulai menyalip para peserta lain hingga akhirnya memimpin di posisi terdepan. Namun, nahas tak dapat dihindari karena kecepatan motornya yang tinggi.
Lea kesulitan menghindari seekor kucing yang tiba-tiba melintas. Kehilangan kendali, dia membanting kemudi ke kanan dan menabrak pembatas jalan.
Tubuh Lea terlempar dari motornya. Kepalanya terbentur keras pada batu di sisi jalan. Darah segar mengalir deras, membanjiri helmnya.
Sebelum kehilangan kesadaran sepenuhnya, Lea bergumam pelan, “Apakah ini akhir hidupku? Momy, Dedy, Lea sayang kalian...” Sepatah kalimat itu keluar dari mulutnya sebelum semuanya menjadi gelap. Lea terkapar tak sadarkan diri di aspal.
Dari kejauhan, teman-temannya yang menyaksikan kecelakaan itu langsung berlari menghampirinya.
“Lea, bangun! Lea! Bangun, Lea!” seru Nabila panik sambil memeluk tubuh temannya yang tidak bereaksi.
“Lea, ayolah Lea! Bangun!” panggil Jessika sembari menangis di sisi Lea.
“Udah, udah! Ayo kita bawa Lea ke rumah sakit dulu. Itu ambulansnya sudah datang,” ucap Risa Almira Dirgantara dengan tenang.
Risa adalah yang paling dewasa dan mampu berpikir jernih di antara mereka. Lea segera dievakuasi dengan ambulans yang baru tiba.
Sementara Nabila terus menangis histeris di sepanjang perjalanan ke rumah sakit.
“Risa! Lea nggak apa-apa, kan? Kepala dia berdarah gitu... Gue takut, Risa! Jangan sampai apa-apa sama dia! Jessika! Lea pasti baik-baik aja, kan?” tanya Nabila berulang-ulang dengan isak tangis yang semakin keras.
“Udah, Bil. Sekarang kita ke rumah sakit dulu aja. Gue yakin Lea itu kuat. Dia pasti bisa melewatinya,” jawab Risa, mencoba menenangkan kedua sahabatnya yang dilanda panik.
Begitu sampai di rumah sakit, mereka berlari menuju ruang IGD, tempat Lea sedang mendapatkan perawatan intensif.
“Hiks... hiks... Jessika... gue takut... kalau ada apa-apa sama Lea...” isak Nabila, masih tak henti-hentinya menangis di depan pintu ruang perawatan Lea.
“Bil, lu coba tenang dulu. Gue yakin Lea itu gadis kuat. Kita semua tahu dia pasti bisa bertahan,” ujar Jessika, berusaha menguatkan Nabila sambil memeluknya erat.
“Kalian tunggu di sini dulu, ya. Gue mau hubungi Momy sama Dedy-nya Lea. Sekalian ngabarin Bang Darren dan yang lain juga,” ucap Risa dengan tegas sebelum bergegas meninggalkan mereka untuk menghubungi keluarga Lea.
Keadaan menjadi semakin mencekam dan penuh harap bagi sahabat-sahabat Lea saat mereka menanti kabar dari ruang perawatan darurat itu.
Setelah selesai menghubungi semua orang, Risa kembali ke tempat Nabila dan Jesika.
Saat tiba di sana, pintu ruangan masih belum terbuka.
“Gimana, Ris? Udah lu hubungi semuanya?” tanya Jesika.
“Udah. Mereka semua udah otw ke sini,” jawab Risa singkat.
Tap tap tap tap...
Suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar memenuhi koridor rumah sakit. Momy dan Dedy Alea tiba dengan wajah cemas, diikuti oleh Darren dan yang lainnya.
“Risa... hiks... gimana keadaan Alea, Ris? Lea baik-baik aja, kan?” tanya Momy Alea sambil berjalan cepat ke arah Risa. Air mata sudah mengalir deras.
“Lea masih di dalam, Mom. Dia lagi diperiksa dokter. Kita juga udah nunggu dari tadi,” jawab Risa, mencoba tenang.
“Dedy... hiks... anak kita, Ded... Alea... hiks... anak kita...” ujar Momy Alea dengan suara bergetar, kemudian memeluk erat suaminya.
“Tenang dulu, Mom. Lea lagi diperiksa dokter. Dia pasti kuat, Mom. Lea gadis yang tangguh,” kata Reymond Wijaya, suami Elena Rosalina, berusaha menenangkan istrinya yang larut dalam kesedihan.
“Ris, coba jelasin... kenapa Lea bisa kecelakaan?” tanya Darren Millano, yang selama ini sudah dianggap sebagai seorang kakak oleh Alea.
Dengan hati-hati, Risa menceritakan dari awal bagaimana Lea ikut balapan hingga peristiwa kecelakaan tersebut terjadi. Momy Alea yang mendengarkan cerita itu tak mampu membendung tangisannya. Anak satu-satunya harus melalui cobaan seberat ini.
“Lea gadis yang kuat. Dia adik gue yang paling tangguh... Dek, kamu harus kuat, ya...” bisik Kenzo Davidson, yang juga sudah dianggap seperti kakak oleh Alea.
“Dek, Abang yakin kamu pasti bisa bertahan,” gumam Darren di tengah kesunyian penuh duka.
“Sayang, kamu kuat. Dedy percaya itu,” bisik lirih Dedy Alea kepada dirinya sendiri, mencoba meyakini harapan terakhir mereka.
Tak lama kemudian, pintu ruangan itu akhirnya terbuka. Sang dokter keluar dengan wajah lesu, yang langsung membuat kegelisahan semakin memuncak.
“Dok... hiks... gimana keadaan anak saya?” tanya Momy Alea terbata-bata.
“Iya, Dok. Tolong jelaskan keadaan anak kami,” sahut Dedy Alea dengan nada penuh harapan.
Semua orang berdiri, menunggu jawaban dokter tersebut dengan hati yang tegang.
“Begini, Pak... Ibu... kami mohon maaf sebesar-besarnya. Tuhan lebih menyayangi Nona Alea. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuhan berkehendak lain. Nona Alea tidak bisa kami selamatkan,” ucap sang dokter dengan kepala tertunduk dalam kesedihan.
DEG.
Seakan disambar petir di siang bolong, dunia mereka seketika runtuh. Hancur sudah hati mereka mengetahui kabar itu. Mereka kehilangan anak perempuan satu-satunya, sahabat yang begitu mereka cintai.
“Tidak… nggak mungkin… putri saya pasti masih hidup! Anda bohong!” teriak Momy Alea histeris sambil berlari masuk ke dalam ruangan untuk memastikan putrinya hanya sedang tidur.
Semuanya pun mengikuti masuk ke dalam ruangan. Di sana, mereka melihat Alea terbaring kaku dan pucat, tak lagi bergerak.
“Dedy... bangunin Lea, Ded… hiks… hiks… dia pasti cuma bercanda sama kita. Lea nggak mungkin pergi. Ini semua pasti hanya mimpi buruk,” ujar Momy Alea seraya memeluk erat tubuh dingin putrinya.
“Lea… bangun… Le! Hiks… hiks… lu jahat! Lu tahu kita semua sayang banget sama lu...” ujar Nabila, menangis di sisi tubuh Alea yang sudah tak bernyawa.
“Hiks… hiks… kenapa lu giniin kita, Le? Bangun... kamar ini sepi tanpa suara lu! Bangun, Lea!!! Hiks... jangan tinggalin kita...” isak Jesika sambil memegangi tangan dingin sahabatnya itu.
Risa hanya berdiri diam dengan tatapan kosong, memandang Alea yang terbaring tak berdaya. Hatinya hancur berkeping-keping. Kehilangan sahabat yang selama ini selalu mengisi hari-harinya adalah pukulan besar baginya.
Kenzo juga berdiri diam, pandangannya penuh kehampaan. Alea, yang sepanjang hidupnya ia anggap seperti adik sendiri, kini pergi untuk selamanya.
Di sisi lain, Darren memilih keluar dari ruang perawatan. Ia berdiri di lorong rumah sakit yang sepi, memukul dinding dengan keras sambil menangis, meluapkan rasa kehilangan yang begitu mendalam.
“Kenapa harus kamu, Dek? Kenapa ninggalin Abang?!” lirih Darren sambil terus memukul-mukul tembok dan terisak.
Tak lama kemudian, Azka Mahendra tiba bersama dua sahabat Alea lainnya, Alvaro Adiwijaya dan Gilang Winanta. Ketiganya segera menghampiri Darren yang masih larut dalam kesedihannya.
“Bang, gimana keadaan Lea? Dia baik-baik aja, kan, Bang?” tanya Azka dengan harapan yang teramat besar.
“Masuk aja ke dalam. Lihat sendiri,” jawab Darren singkat, tanpa mengangkat kepalanya yang tertunduk.
Dengan perasaan tak menentu, mereka bertiga bergegas memasuki ruangan Alea. Namun, pemandangan di depan mereka membuat hati tercengang dan hancur seketika.
Sungguh—tak ada yang menyangka, salah satu dari mereka harus berpulang secepat ini.
Sementara itu, Momy Alea jatuh pingsan karena tak sanggup menerima kenyataan pahit bahwa putri tercintanya telah tiada. Kesedihan menyelimuti hati semua orang yang hadir saat itu. Akhirnya, keluarga dan kerabat dekat mulai mempersiapkan pemakaman untuk Alea.
Prosesi berjalan dengan lancar. Semua orang hadir—teman-teman, sahabat, keluarga, hingga kerabat dekat—turut mengiringi kepergian Alea untuk terakhir kalinya. Berita meninggalnya Alea benar-benar membawa duka yang nyaris tak terperi bagi mereka yang mengenalnya.
Elena Rosalina memandang papan nisan bertuliskan nama putri satu-satunya: Azalea Drenda Wijaya.
“Maafkan Momy ya, Sayang...
Maaf karena Momy nggak bisa jagain kamu dengan baik. Momy sayang banget sama kamu, Lea...” isaknya pelan, sambil mencium nisan putrinya sebelum berpamitan pulang dengan berat hati.
Semoga cerita ini bisa memberikan kesan untuk kalian semua. Hehehe... maaf ya kalau ceritanya masih banyak kekurangan. Aku baru belajar nulis soalnya. Kalau kalian suka, jangan lupa tinggalin komentar, ya!