Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelahiran Kembali
“Sayyidah!”
Suara tangis yang lirih tapi terus-menerus membuat kepalanya terasa berdenyut.
Sayyidah Yasmeen Azmira Al Nayyirah bint Zahir berusaha membuka matanya. Berat. Seolah kelopak matanya direkatkan pasir. Dengan sisa tenaga, ia hanya sempat menggeram pelan, “Diam…”
Namun bisikan itu justru disambut dengan jeritan lega.
“Sayyidah bicara! Sayyidah sudah sadar!”
“Ya Allah, akhirnya Sayyidah membuka mata juga!”
Yasmeen mengerutkan alis. Di akhirat pun, ia tidak bisa mendapat sedikit ketenangan, rupanya. Ia menarik napas panjang dan tiba-tiba membuka mata lebar.
Dua wajah muda langsung menyambut pandangannya dari jarak sangat dekat. Seorang gadis berwajah bulat dengan mata merah seperti kelinci, dan satu lagi dengan hidung berair, buru-buru mengusapnya dengan punggung tangan.
“Sayyidah sudah sadar!” si gadis bermata merah hampir berteriak gembira.
Yang satu lagi ikut menimpali, “Aku… aku panggil Umm Shalimah!”
“Zahiya, Nasima…” Yasmeen berbisik pelan. Tenggorokannya kering. “Kalian… benar-benar di sini?”
Itu dua dayang kecil yang dulu tumbuh bersamanya di istana Emir Nayyirah di gurun Azhar.
Zahiya, si lincah yang selalu melindunginya, mati demi menyelamatkannya dari pengawal istana.
Nasima, si polos yang menemaninya sampai hari pernikahan, meninggal karena wabah tak lama setelah itu.
Ia mengingat semuanya.
Tapi kenapa sekarang, mereka tampak begitu muda? Sekitar tiga belas, empat belas tahun, usia ketika mereka pertama kali menemaninya masuk ke istana Sultan.
Tiba-tiba, Yasmeen menggenggam tangan Nasima. Hangat.
Ia membeku. Itu… kehangatan tubuh manusia hidup.
Jantungnya berdetak keras.
Tangannya… kecil?
“Zahiya,” katanya cepat. “Ambilkan cermin perunggu milikku.”
Gadis itu menatap bingung, tapi menurut tanpa banyak tanya.
Saat cermin berbentuk bunga delima itu didekatkan, Yasmeen hampir terjatuh.
Di pantulan cermin, bukan wajah wanita berusia tiga puluh lima tahun yang menatap balik, melainkan wajah seorang gadis kecil, kulit seputih mutiara pasir, mata besar hitam pekat, bibir merah alami. Rambutnya hitam mengalir, menyentuh bahu kecil yang belum terbentuk sempurna.
Ia tersentak.
Suara yang keluar dari tenggorokannya pun terdengar lembut, muda… dan asing.
“Sekarang… tahun berapa?” tanyanya pelan, nyaris gemetar.
Zahiya bingung. “Sayyidah, kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu? Apakah tadi bermimpi buruk?”
Nasima meringis kesakitan. “Sayyidah… tolong lepas dulu tangan hamba. Perih…”
Yasmeen baru sadar ia mencengkeram tangan gadis itu terlalu erat. Begitu terlepas, ia melihat pergelangan Nasima memerah, padahal ia merasa hanya memegang ringan.
Semua ini… nyata?
Ia menarik napas panjang. “Kalian keluar dulu. Panggilkan Umm Shalimah.”
Dua dayang muda itu menunduk dan keluar dengan langkah cepat.
Sesaat kemudian, seorang wanita paruh baya masuk. Wajahnya teduh, tubuhnya ramping, mengenakan gamis sederhana warna gading. Aroma minyak gaharu lembut menguar setiap kali langkahnya bergerak.
“Sayyidahku, kau sudah bangun?” suara Umm Shalimah bergetar lembut. “Apakah kau mimpi buruk lagi?”
Yasmeen tak tahan. Air matanya jatuh begitu saja. Tanpa pikir panjang, ia memeluk pengasuh itu erat, seolah takut wanita itu akan hilang lagi.
“Umm…” suaranya pecah. “Aku… merindukanmu…”
Umm Shalimah terkejut tapi segera membalas pelukan itu, mengusap punggung Sayyidah kecilnya dengan lembut.
“Tenang, Sayyidah kecilku. Tidak ada yang akan menyakitimu di sini. Umm ada di sisimu.”
Yasmeen memejamkan mata.
Ia mengingat jelas, di kehidupan sebelumnya, Umm Shalimah mati karena demam tinggi, tak sempat menemaninya ke istana.
Dan setelah itu…
semuanya hancur.
Sayyid Zahir Al-Muntasir, Abīnya, menyuruhnya menikah dengan Emir Harith demi perdamaian dua negeri.
Ia patuh dan meninggalkan lelaki yang dicintainya.
Namun, Harith justru mati muda, meninggalkan Yasmeen menjadi janda muda di usia dua puluh.
Ia menolak menikah lagi, membesarkan putranya sendiri.
Namun, ketika putranya dewasa, ia justru dihukum mati karena fitnah tidak suci dan racun itu… diberikan langsung oleh tangan anak yang ia besarkan dengan penuh cinta.
Kehidupan yang lalu berakhir dalam darah dan air mata.
Sekarang… Tuhan memberinya kesempatan lagi?
Yasmeen menghapus air matanya. “Umm, aku tidak apa-apa.” Ia memaksa tersenyum kecil. “Mulai hari ini, aku tak akan menangis lagi.”
Nada suaranya tenang, tapi sorot matanya tajam, dewasa, terlalu dalam untuk anak seusianya.
Umm Shalimah menatapnya lama, agak cemas. “Sayyidah?”
Namun, Yasmeen hanya menunduk pelan, seolah menyembunyikan sesuatu.
Ia berjanji dalam hati, kali ini, tak akan ada lagi pengkhianatan.
Ia akan merebut kembali kehormatan yang dulu dirampas. Ia akan membuat mereka semua membayar.
Tok… tok… tok…
Ketukan lembut di pintu.
“Yasmeen, abuki datang,” suara lembut tapi tegas terdengar dari balik tirai.
Napas Yasmeen tercekat.
Umm Shalimah beranjak membuka pintu.
Seorang pria berusia sekitar tiga puluh masuk. Jubahnya hitam berbordir emas, mata cokelatnya tenang dan tajam. Ia tampak begitu terhormat, seorang bangsawan sejati dari gurun Azhar.
“Sayyidahku,” katanya lembut, “kau sudah sembuh?”
Sayyid Zahir Al-Muntasir. Abīnya..Lelaki yang di kehidupan lalu menjerumuskannya ke lingkaran racun istana, dengan wajah penuh kasih seperti ini.
Yasmeen menatapnya lama, senyumnya tipis dan dingin.
Dalam hati, ia berbisik pelan.
Baiklah, Abī. Mari kita mulai lagi dari awal.
---
Sayyid Zahir Al-Muntasir berasal dari keluarga bangsawan kecil di Kota Agung Azhar, bukan darah utama, hanya cabang jauh dari Klan Al-Muntasir yang dulu berjaya.
Sejak muda, dia rajin belajar, dikenal tenang dan cerdas.
Saat berusia tujuh belas, ia sudah lulus ujian kesultanan dan sempat menjadi juru tulis muda di kantor pengadilan.
Setahun kemudian, ketika sedang melakukan perjalanan belajar ke Emirat Nayyirah, ia menginap di Masjid Al-Baidha, tempat yang terkenal dengan aroma gaharu dan burung merpati putih yang memenuhi kubahnya.
Hari itu, di bawah sinar mentari yang menembus jendela kaca berwarna, seorang gadis datang untuk berdoa.
Gadis itu mengenakan kerudung tipis warna biru langit, kulitnya pucat seperti mutiara pasir, dan matanya hitam berkilau.
Sayyid Zahir menatapnya, dan di antara aroma gaharu yang membubung, pandangan mereka bertemu.
Satu detik, dua detik…
Gurun berhenti berhembus.
Itu pertama kalinya dia bertemu Sayyidah Ameera, putri tunggal Emir Nayyirah, perempuan yang kelak menjadi seluruh hidupnya.
Emir Nayyirah saat itu adalah paman dari Sultan Al-Rashid, bangsawan kuat yang memegang kekuasaan di selatan.
Sayyidah Ameera adalah satu-satunya anak yang ia miliki, gadis rapuh yang sejak kecil sering jatuh sakit. Karena itu, sang Emir menyayanginya melebihi apa pun.
Ketika Sayyidah Ameera bersikeras ingin menikah dengan Zahir, sang Emir sempat marah besar.
Namun, demi kebahagiaan putrinya, ia akhirnya menyerah.
Tak mungkin seorang putri turun derajat menikahi lelaki tanpa gelar, jadi mereka sepakat untuk menjadikan Zahir sebagai menantu masuk, gelar yang di gurun sama saja dengan “tamu yang diangkat menjadi keluarga.”
Tak terlalu terhormat, tapi cukup untuk mengikat dua nama besar.
Keluarga Zahir tak banyak bicara. Bagi mereka, mendapat menantu dari keluarga Emir adalah anugerah yang tak terbayangkan.
Setelah Zahir resmi menikah dan masuk ke istana Emirat Nayyirah, keluarga besarnya bahkan rajin mengirim hadiah tiap tahun, seolah ingin terus menunjukkan rasa syukur mereka.
Pada awalnya, kehidupan pernikahan itu indah.
Zahir mencintai Ameera dengan tulus. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan dua tahun. Saat melahirkan, Ameera mengalami pendarahan hebat dan tak pernah bangun lagi.
Zahir hancur. Dia jatuh sakit lama, dan ketika sembuh, tak lagi sama. Walau masa berkabung hanya diwajibkan setahun, dia mengenakan pakaian hitam selama tiga tahun penuh, katanya untuk mengenang istrinya.
Melihat kesetiaan itu, sang Emir pun tergerak. Ia bahkan menghadiahkan salah satu pelayan pribadi putrinya, seorang gadis muda bernama Mehra, untuk mengurus kebutuhan Zahir.
Namun, tak lama kemudian, Mehra mengandung.
Zahir sangat senang, karena akhirnya memiliki keturunan.
Ketika anak laki-laki itu lahir, ia menamakannya Zain, berharap kelak bisa menjadi pewaris sejati yang membawa keberuntungan bagi keluarga.
Tapi sang Emir berkata tegas,
“Anakku Ameera sudah memiliki garis keturunan sendiri. Jangan ambil yang bukan hakmu. Kelak, yang akan meneruskan namanya adalah darah dagingnya sendiri.”
Zahir tak mengerti maksudnya. Namun tak lama kemudian, surat dari istana datang.
Sang Sultan menyetujui permintaan Emir Nayyirah:
menobatkan cucunya, Sayyidah Yasmeen Azmira, menjadi Putri Emirat Nayyirah, mewarisi nama dan kedudukan keluarga ibunya.
Nama Sayyidah Yasmeen Azmira Al Nayyirah bint Zahir pun tercatat dalam daftar resmi keluarga kerajaan, menjadikannya satu-satunya putri yang boleh membawa garis keturunan ibunya.
Mehra melahirkan lagi setahun kemudian, kali ini seorang anak perempuan.
Zahir lalu menempatkan mereka bertiga di sisi barat istana, jauh dari pusat kediaman Yasmeen.
Di depan umum, Mehra dan anak-anaknya jarang terlihat.
Saat Jaddīnya wafat, Yasmeen baru berusia sepuluh tahun.
Zahir hampir setiap hari datang menemaninya, menunjukkan wajah seorang Abī yang penuh kasih. Ia selalu berkata lembut, tak pernah mengizinkan Mehra atau anak-anaknya mendekati Yasmeen.
Anak sekecil itu… bagaimana mungkin menaruh curiga pada kasih sayang Abīnya sendiri?
“Yasmeen,” kata Zahir lembut suatu malam, “Permaisuri Hazarah dari istana ingin memeliharamu di dalam tembok suci kerajaan. Itu kehormatan besar.” Ia tersenyum, membelai rambut anaknya yang halus. “Di sana kau akan diajar dengan benar, dilindungi dari lidah-lidah keji yang membicarakan masa lalu ibumu dan kelak, kau akan mendapat jodoh yang jauh lebih layak.”
Yasmeen yang kecil menatapnya dengan mata berkaca. Ia mengira Abīnya benar-benar memikirkan masa depannya.
Beberapa bulan kemudian, ia meninggalkan Emirat Nayyirah dan menuju Kota Agung Azhar.
Zahir, dengan langkah ringan, menjadi penguasa baru istana Nayyirah, rumah besar yang seharusnya diwariskan untuk Yasmeen.
Ketika Yasmeen akhirnya menikah dan menerima enam puluh peti perhiasan sebagai mas kawin, semua orang memujinya.
Hanya dia yang tahu, itu semua hasil kerja keras Jaddīnya dan sekarang, segalanya telah menjadi milik keluarga Zahir.
Semua tanpa perebutan, tanpa tipu muslihat. Hanya karena satu hal: kekuasaan seorang Abī.
Ia memejamkan mata.
Darahnya mendidih, kenangan itu terasa seperti bara di dada.
Dia membenci Abīnya… tapi lebih dari itu, ia membenci dirinya sendiri. Karena telah menutup mata, dan menyerahkan segalanya atas nama “kasih sayang seorang Abī.”
Namun kali ini berbeda. Langit memberinya kesempatan kedua.
Bunga bisa mekar dua kali.
Manusia pun bisa lahir kembali.
Ia menggenggam selimutnya erat.
Kali ini, nasibnya tidak akan dipermainkan siapa pun.
---
Ketika Sayyid Zahir masuk ke kamar putrinya, langkahnya mantap seperti biasa.
Tapi begitu melihat Yasmeen menatapnya, dadanya mendadak bergetar.
Tatapan itu… dingin.
Bukan milik anak sepuluh tahun, tapi seperti milik seseorang yang telah melewati jalan kematian.
Ia mencoba tersenyum. “Sayyidah kecilku, Permaisuri Hazarah mengirim utusan. Mereka sudah memasuki wilayah selatan. Aku berencana pergi sendiri menyambutnya di gerbang kota.”
Yasmeen menatapnya datar.
“Tidak perlu, Abī. Suruh saja Wazir Khalid yang berangkat bersama para pengawal. Itu sudah cukup.”
Zahir mengernyit. “Wazir Khalid orang sibuk. Tak pantas membiarkan tamu kehormatan datang tanpa sambutan dari keluarga Emir.”
Yasmeen menatap lurus ke arahnya. “Utusan Permaisuri datang dari istana. Abī bukan pejabat, tidak memiliki gelar. Jika Abī yang menyambut, justru tampak tidak sopan di mata mereka. Wazir Khalid adalah pejabat resmi, dan itu lebih pantas.”
Zahir membeku. Urat di lehernya menegang, wajahnya memerah.
Ya… dia memang bukan siapa-siapa. Bukan bangsawan sejati.
Hanya menantu yang diangkat.
Namun selama ini ia sudah mulai merasa nyaman dengan kekuasaan barunya. Ia mengira bisa memainkan peran penguasa, sampai anak kecil ini menamparnya dengan kalimat lembut yang mematikan.
“Yasmeen…” suaranya bergetar. “Abī melakukan semua ini untukmu.”
Gadis itu menatapnya, tersenyum samar. “Aku tahu, Abī. Namun, aku juga tahu apa yang seharusnya menjadi bagianku.”
Zahir terdiam. Dadanya sesak oleh sesuatu yang ia sendiri tak bisa jelaskan, rasa malu, marah, dan ketakutan bercampur jadi satu.
Sementara Yasmeen hanya menunduk ringan. Di balik senyum lembutnya, matanya berkilat seperti bilah pisau yang disembunyikan di balik kain sutra.
Permainan ini baru dimulai.
📌NOTE:
Abī \= Ayah
Abuki \= Ayahmu (ditujukan kepada perempuan)
Umm \= Ibu
Jaddī \= Kakek